JAKARTA (Arrahmah.com) – Kuasa Hukum M Jibril, Yusuf Sembiring membantah tudingan Mabes Polri bahwa Muhammad Jibriel adalah penghubung Al Qaidah yang mengacu pada surat Saefudin Juhri yang ada di laptop Noordin M. Top.
Selain itu, Yusuf pun menuding polisi menyampaikan kesimpulan yang asal-asalan dan prematur.
“Polri terlalu dini menyimpulkan seperti itu. Berarti perwira Polri tidak pernah menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, polisi seharusnya tetap menerapkan praduga tak bersalah kepada siapa pun yang masih menjalani proses hukum. “Jadi ini menurut saya tidak berdasar. Hampir sama dengan kasus KPK,” imbuhnya.
Tudingan bahwa pernyataan Polri prematur, lanjut Yusuf, dilatarbelakangi putusan praperadilan atas penangkapan M Jibril beberapa waktu lalu. “Putusan praperadilan menyebutkan sah sesuai KUHAP, jadi Mohamad Jibril adalah tersangka pidana umum bukan teroris,” jelasnya.
Hal itu juga, tambah Yusuf, sudah diakui polisi melalui repliknya. “Bahwa penangkapan Jibril bukan berasal dari data intelijen. Kalau menangkap tersangka teroris harus ada data lengkap,” ungkap Yusuf.
Penyebutan nama organisasi yang dikaitkan dengan terorisme sebaiknya lebih berhati-hati. Pasalnya terkadang nama organisasi tersebut serupa namun berbeda dengan yang dimaksudkan.
Ketidakhati-hatian ini, bisa berdampak mempengaruhi kredibilitas organisasi yang tidak bersalah namun memiliki kesamaan nama.
Hal tersebut disampaikan Tansil Linrung, aktivis Islam yang aktif di organisasi Komite Organisasi Muslim Penanggulangan Akibat Krisis (Kompak).
Dia membantah bahwa organisasinya bukan yang dimaksudkan sebagai penerima dana dari Al Qaeda untuk aktivitas terorisme di Indonesia, seperti yang disebut Mabes Polri saat merilis isi komputer jinjing Noordin M Top yang didapat saat penggerebekan di Jebres, Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu.
Menurut Tansil, organisasi yang dimaksud dalam laptop itu berbasis di Solo, Jateng. “Saya sudah konfirmasi ke Kasubden 88 Kombes Pol Tito Harnafian. Bukan organisasi saya yang dimaksud,” kata Tansil.
Dia menjelaskan bahwa dana yang diterima organisasinya dari perorangan atau organisasi di Eropa dan Timur Tengah resmi dan melalui jalur kedutaan. Sehingga tidak mungkin disalahgunakan untuk aktivitas melanggar hukum.
Dia juga menandaskan ada beberapa kasus kesalahpahaman terkait tudingan pemerintah negara tertentu terhadap sebuah organisasi yang memiliki hubungan dengan Timur Tengah atau negara Islam lainnya. Dia mencontohkan saat perang Afghanistan dengan Uni Soviet di era 1990-an, banyak organisasi kemanusiaan internasional yang memberikan bantuan untuk rakyat Afghanistan, termasuk pemerintah dari Amerika Serikat dan organisasi Islam di negara itu.
Satu kasus disebutkan Tansil bahwa temannya warga negara AS dituding oleh pemerintah Inggris memberikan bantuan dana untuk organisasi jaringan Al Qaidah di Afghanistan, sehingga dananya yang disalurkan melalui Inggris dibekukan. Namun baru-baru ini pengadilan di London memenangkan kasusnya sehingga dananya dikembalikan setelah hampir 20 tahun tertahan.
Kasus lain adalah penyebutan Yayasan Al Haramain di Indonesia yang dituding menerima aliran dana teroris dari Timur Tengah setelah tragedi serangan 11 September 2001 di AS. Belakangan diketahui organisasi yang saat itu dipimpin Hidayat Nurwahid itu bukan seperti yang dimaksud. Pemerintah AS melalui Duta Besar saat itu langsung menemui Hidayat Nurwahid untuk meminta maaf. (okz/arrahmah.com)