BEIJING (Arrahmah.com) – Polisi China telah menembak mati empat belas orang di provinsi yang berpenduduk mayoritas Muslim China di Xinjiang. Masyarakat Muslim Xinjiang mengadu bahwa telah terjadi penindasan Cina terhadap minoritas Muslim di wilayah tersebut.
“Penyalahgunaan kekuatan oleh otoritas di daerah tersebut telah mencabut hak warga Uighur untuk hidup,” Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia yang berbasis di Munich, kepada Agence France Presse (AFP), Senin (16/12/2013).
Menurut laporan singkat dari kantor berita Tianshan, insiden itu terjadi pada larut malam di Shufu County dekat Kashgar, bagian wilayah Xinjiang yang dilanda ketegangan antara Muslim Uighur dan otoritas pemerintah.
Laporan singkat tersebut mengatakan bahwa polisi berusaha untuk menangkap seorang tersangka yang diserang oleh sekelompok “perusuh” dengan bahan peledak dan pisau.
Dua petugas polisi tewas, sementara polisi menembak mati 14 penyerang dan menangkap dua orang lainnya, menurut laporan tersebut. Investigasi atas peristiwa tersebut masih berlangsung, katanya.
Semua 14 orang yang terbunuh oleh polisi adalah Muslim Uighur dan dua dari mereka adalah anak di bawah umur.
Muslim Uighur adalah minoritas dari delapan juta penduduk di wilayah Xinjiang barat laut.
Xinjiang, yang aktivis menyebut sebagai Turkestan Timur, telah otonom sejak tahun 1955 namun terus menjadi subyek tindakan kekerasan dari pemerintah Cina.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang China melakukan penindasan agama terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama terorisme.
Muslim Uighur mengeluhkan tentang penindasan Cina terhadap mereka, dan masalah di Xinjiang jarang didokumentasikan dalam media pemerintah China.
Dalam sebuah buku yang disebut “Memahami Xinjiang,” yang didistribusikan pada sidang tahunan parlemen China bulan Maret ini, satu bagian berjudul “pribumi Xinjiang yang riang”, mereka mengklaim sistem otonomi daerah China untuk memastikan hak bagi warga Xinjiang untuk memiliki kebebasan dalam menjalani kehidupan dan takdir mereka, sebagaimana yang dilaporkan oleh USA Today.
Warga Muslim mengatakan bahwa pemerintah menempatkan jutaan etnis Han di wilayah mereka dengan tujuan utama untuk menghapus identitas dan budaya Islam.
Para pengamat mengatakan kebijakan mentransfer China Han ke Xinjiang untuk mengkonsolidasikan otoritas Beijing yang telah meningkatkan proporsi Han di wilayah tersebut dari 15 pada tahun 1940 menjadi lebih dari 40 persen sekarang.
Beijing memandang wilayah Xinjiang yang luas sebagai aset yang tak ternilai karena lokasinya yang sangat strategis, yaitu dekat Asia Tengah dan memiliki cadangan minyak dan gas yang besar. (ameera/arrahmah.com)