SOLO (Arrahmah.com) – Baru-baru ini terbit sebuah buku berjudul “Berapa Jumlah Istri Yang Boleh Dinikahi” yang ditulis oleh H. Abdul Matin Salman, Lc., M.Ag. Dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Didalam buku tersebut dijelaskan bahwa bolehnya seorang laki-laki menikahi lebh dari 4 wanita dalam 1 masa.
Dengan karya tulis beliau yang “Kontroversial” itulah yang kemudian membuat beberapa praktisi dakwah dan akademisi mengeluarkan sanggahan dan bantahan serta pelurusan agar masyarakat tidak larut dan ikut dalam tulisan “sesat” yang ada didalam buku tersebut.
Salah satu praktisi dakwah dan akademisi yang peduli dengan nasib umat islam yang sekarang dikoyak-koyak pemikiran ke-islamannya oleh kalangan Liberal adalah Ustadz Abu Zaidan, MA. Salah satu pengajar di Sekolah Tinggi pemikiran dan Peradaban Islam Ibnu ‘Abbas Klaten. Beliau menulis sebuah makalah kecil sebanyak 13 lembar/halaman guna menyanggah dan membuat pelurusan terhadap tulisan nyleneh dan menyesatkan karya Matin Salman tersebut.
Sampai tulisan atau berita ini ditulis, kami sudah berusaha mencari dan menghubungi Matin Salman selaku penulis buku “Berapa Jumlah Istri Yang Boleh Dinikahi” tersebut. tapi karena usaha kami yang masih mentok, kemudian kami meminta tolong kepada Bpk. Zaenal yang merupakan salah satu pengajar di IAIN juga.
Dari keterangan yang kami terima dari beliau melalui pesan singkat (SMS), akhirnya kami mendapatkan penjelasan bahwa H. Abdul Matin Salman memang salah satu pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Disamping itu kami juga mendapatkan nomor telfon Matin Salman dari Bpk. Zaenal.
Berikut ini kami lampirkan juga tulisan Ustadz Abu Zaidan, MA. secara lengkap agar supaya dijaadikan pembanding dan pelurus faham sesat yang ada didalam buku karya Matin Salman
بسم الله الرحمن الرحيم
POLIGAMI BERSAMA SETAN
(KOREKSI TERHADAP BUKU MATIN SALMAN “BERAPA JUMLAH ISTRI YANG BOLEH DINIKAHI”)
Oleh: al-Faqir ila Rahmatil Qadîr Abu Zaidan MA
Muqadimah
Risalah ini ditulis demi ibtigha`i Mardhatillah (menggapai Ridha Allah Swt) dan i’lâ`i Kalimatillah (meninggikan Kalimah Allah Swt); tidak untuk popularitas atau finansial. Maka hak cipta ada pada tiap muslim yang menginginkan tersebarnya haq dan binasanya bathil.
Wallahul Musta’an, wa ‘alaihit tuklan.
(Sekolah Tinggi Pemikiran Peradaban “Ibnu ‘Abbas” Klaten, 14 Mei 2012)
UNTAIAN NASIHAT NABAWI
- Tersebarnya kesesatan termasuk tanda kiamat.
- Mengambil ilmu dari ahli bid’ah termasuk tanda kiamat.
- Bahaya berteman dengan ulama` jahat.
- Bahaya mengucapkan perkataan/pendapat yang dimurkai Allah.
- Bahaya andil dalam penyebaran kesesatan.
- Bahaya fatwa sesat.
- Bahaya menyimpang dari ijma` (kesepakatan) shahabat.
1) Tersebarnya kesesatan termasuk tanda kiamat.
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh termasuk tanda-tanda kiamat adalah: diangkatnya ilmu, kebodohan merata, zina merajalela, minum miras menyebar, kaum lelaki sedikit dan kaum wanita membanyak hingga 50 wanita hanya memiliki 1 pengurus lelaki.” HR Bukhari 5231, dari hadits Anas ra.
2) Mengambil ilmu dari ahli bid’ah termasuk tanda kiamat.
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh termasuk tanda-tanda kiamat, bahwa ilmu dicari pada ashaghir.” Ibnul Mubarak menjelaskan, “Ashaghir (orang-orang kecil) adalah ahli bid’ah.”HR Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dengan sanad jayyid (baik), dari hadits Abu Umayyah al-Jumahi ra. (Silsilah Ahadits Shahihah no. 695)
Karenanya jangan menoleh kepada pendapat syi’ah yang membolehkan poligami 9 istri, atau pendapat khawarij yang membolehkan poligami 18 istri. Syi’ah dan khawarij adalah ahli bid’ah, maka termasuk ashaghir, sehingga tidak cerdas jika mengambil ilmu dari mereka. Wallahul Musta’an.
3) Bahaya berteman dengan ulama` jahat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan teman duduk yang shalih dan teman duduk yang jahat, seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Pasti kau dapatkan dari pedagang minyak wangi: apakah kamu membeli minyak wanginya atau sekedar mendapatkan bau wewangiannya; sedangkan tukang tempa besi akan membakar badanmu atau kainmu, atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap darinya”. HR Bukhari 1959, dari hadits Abu Musa al-Asy’ari ra.
4) Bahaya mengucapkan perkataan/pendapat yang dimurkai Allah.
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridlai Allâh, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allâh mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dimurkai oleh Allâh, suatu kalimat yang ia tidak memperdulikannya, namun dengannya Allâh melemparkannya ke dalam neraka. “HR Bukhari 5997, dari hadits Abu Hirr ra.
5) Bahaya andil dalam penyebaran kesesatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mencontohkan/memulai suatu kebaikan, lalu dia diikuti atasnya, maka dia mendapatkan pahalanya dan seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun; dan barangsiapa mencontohkan/memulai suatu kejelekan, lalu dia diikuti atasnya, maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” HR Tarmidzi 2599, dari hadits Jarir ra; shahih.
6) Bahaya fatwa sesat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allâh mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan“. HR Bukhari 98, dari hadits Ibnu ‘Amr bin ‘Ash ra.
7) Bahaya menyimpang dari ijma` (kesepakatan) Ulama`
“Siapapun menentang Rasul (Muhammad saw) setelah petunjuk itu jelas baginya, dan mengikuti selain jalannya kaum mukminin, niscaya Kami memalingkan dia kepada apa yang dia berpaling kepadanya, dan akan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (Qs. An Nisa’ : 115)
Ayat ini dijadikan ulama` sebagai dalil bahwa ijma` ulama` adalah hujjah. Poligami maksimal 4 istri adalah ijma` ulama`[1]. Siapapun menyimpang darinya, maka ia sesat. [2]
بسم الله الرحمن الرحيم
KEMUNGKINAN ALASAN-ALASAN (LEMBEK)
UNTUK MEMPERBOLEHKAN POLIGAMI DI ATAS EMPAT
Matin salman mengusung pendapat nyeleneh dari kaum tak dikenal [3] atau dari mazhab yang ditolak ulama’, yaitu boleh berpoligami di atas 4 istri (dalam 1 masa). Bisa jadi beberapa point lembek berikut ini, dijadikan alasan bagi pendapat nyeleneh yang sesat dan mengakibatkan dosa bagi penyebarnya [4] tersebut:
1. Hlm. 24 [5] (SALAH MENERJEMAHKAN à SESAT KESIMPULAN)
Tertulis: “Ibnu ‘Abbas berkata: Menikahlah karena sebaik-baik umat Islam adalah yang paling banyak istrinya.”
Pelurusan:
“Menikahlah, karena ORANG TERBAIK DARI UMMAT INI (Rasulullah saw) paling banyak istrinya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya nomor 5069 dan Imam Ahmad dalam Musnadnya nomor 2048.
Jika si penulis mau melihat lafal riwayat Ahmad dan mau merujuk kitab syarah hadits sebelum menerjemahkan hadits ini tanpa ilmu yang mantap, niscaya ia paham bahwa terjemahnya itu salah dan kesimpulannya bisa menyesatkan. Wallahul Musta’an.
2. Hlm. 128
Tertulis: “Rasulullah dan para shahabat beristri lebih dari empat.”
Pelurusan:
Para shahabat beristri lebih dari empat, jika tidak dalam satu waktu maka hal itu memang halal. Jika matin bermaksud “dalam satu waktu”, maka silahkan menyebutkan satu dalil saja yang menunjukkan hal itu. Dalam bukunya itu saya belum dapati matin melengkapi statemennya itu dengan dalil. Wallahu A’lam.
3. Hlm. 128
Tertulis: “Al-Qur’an sama sekali tidak menegaskan pelarangan poligami lebih dari empat istri.
Pelurusan:
Bahwa Al-Qur’an tidak mengatakan secara tegas suatu hal adalah haram, tidak berarti bahwa hal itu halal. Hadits shahih adalah wahyu juga. Rasulullah saw bersabda:
“Tiada lain aku mengatakan sesuatu yang disuruhkan (oleh Allah) untuk kukatakan.” HR Ahmad 5/257, shahih dengan syawahidnya.
4. Hlm. 140
Tertulis: “Menurut al-Qasimi bin Ibrahim, seorang laki-laki boleh menikahi 9 orang istri.
Pelurusan:
Ada 2 kesalahan. YANG AKURAT:
- Al-Qasim (القاسم) bukan al-Qasimi (القاسمي).
- SEMESTINYA DITULIS: KONON al-Qasim bin Ibrahim membolehkan menikahi 9 istri, TETAPI BERITA ITU DIINGKARI IMAM YAHYA.
Bacalah tulisan Syaikh al-Qasimi (bukan al-Qasim) dalam tafsirnya Mahasinut Ta`wil:
“Dihikayatkan juga hal itu (pendapat menikahi 9 istri) dari Qasim bin Ibrahim, namun Imam Yahya mengingkari hikayat tersebut. Pendapat ini juga dihikayatkan oleh penulis al-Bahr dari mazhab zhahiri, dan dari suatu kaum yang majhul (tak dikenal).”
5. Hlm. 143
Tertulis: “Menurut al-Qadhi ‘Abdul Wahab, seorang laki-laki boleh menikahi berapapun perempuan yang diinginkan, tanpa ada batasan bilangan.”
PERTANYAAN:
- Siapa Qadhi Abdul Wahhab ini?
- Dalam kitab apa pendapatnya itu dapat diketemukan.
Pelurusan:
Mufassirin menegaskan bahwa pendapat boleh poligami tanpa batas, dicetuskan oleh ba’dhunnas (setengah orang) atau ba’dhuhum (sebagian mereka). Jadi tidak jelas siapakah yang berpendapat demikian.Karena itu wajar jika muncul 2 pertanyaan di atas.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/209) setelah menyebutkan mazhab syi’ah yang membolehkan poligami 9 istri, menulis:
“Sebagian mereka berkata: (poligami boleh) tanpa batas.”
Sementara itu Syaikh Tsana`ullah al-Hindi dalam Tafsir Mudzhiri (1/662) menulis:
“Pendapat boleh poligami secara umum (tanpa batas) tidaklah dicetuskan oleh seorang pun dari ahli bid’ah; sebab khawarij membatasi hingga 18 istri, sementara rawafidh membatasi 9 istri.”
Beliau juga menulis:
وحكى عن بعض الناس اباحة اىّ عدد شاء بلا حصر
“Dihikayatkan dari setengah orang, bahwa boleh poligami dengan jumlah yang dikehendaki tanpa batas.”
6. Hlm. 153
Tertulis: “Anggaplah bahwa hadits Ghailan dan hadits Noval itu memang benar, maka hal itu sama saja, tidak dapat dijadikan sebagai penghapus atau pembatas (pengkhususan) bahkan pengecualian yang ada hubungannya dengan poligami yang ada dalam Al-Qur’an.”
Pelurusan:
Ringkasan statemen di atas: Ayat Al-Qur’an tentang poligami yang bersifat umum tidak bisa ditakhshihs (dikhususkan) dengan hadits âhâd.
Statemen ini terjawab oleh penjelasan mufassir sejati, Imam Fakhrur Razi dalam Mafatihul Ghaib 10/38:
“Kami katakan: mengkhususkan keumuman al-Kitab (ayat Al-Qur’an) dengan khabar wahid (hadits âhâd) adalah boleh. Pengukuhan hal ini disebutkan dalam ilmu Ushul.”
7. Hlm. 152
Tertulis: “Rasulullah saw tidak melarang semua shahabat yang beristri lebih dari empat.”
Pelurusan:
- Selalu dalam beberapa tempat si penulis berargumen dengan sesuatu yang tidak ilmiah ini. Mempunyai istri di atas 4, jika TIDAK DALAM SEMASA’, tentu saja halal.
- Bahwa Nabi saw tidak melarang semua shahabat yang beristri lebih dari empat, jika maksudnya adalah shahabat yang mengumpulkan lebih dari 4 istri dalam semasa, silakan berikan 1 saja dalilnya.
- Dari awal hingga akhir bukunya ini, si penulis belum mengungkapkan dalil tersebut, tetapi hanya menulis: “shahabat yang beristri lebih dari empat.” Tulislah secara ilmiah jika membahas masalah ilmiah. Wallahul Musta’an.
8. Hlm. 152
Tertulis: “Tidak ada dalil atau argument yang dapat membuktikan bahwa dengan adanya hadits tersebut, semua shahabat beramai-ramai menceraikan istri-istri mereka. Mungkinkah mereka tidak mengetahui larangan Rasulullah terhadap Ghailan …?”
Pelurusan:
- Tampaknya dalam benak si penulis, mayoritas shahabat Nabi beristri lebih dari 4 orang DALAM SEMASA, sehingga mulutnya bicara: “beramai-ramai menceraikan”.
- Sayang sekali tulisannya tidak ilmiah, sehingga tidak menunjukkan satu pun dalil bahwa mayoritas shahabat beristri lebih dari 4 orang DALAM SEMASA.
- Perhatikanlah hadits shahih berikut:
‘Abdurrahman bin ‘Auf tiba (di Madinah), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memper-saudarakannya dengan Sa’d bin Rabi’ Al-Anshari. Si Anshari itu memiliki 2 isteri, maka ia menawarkan 1 isteri dan setengah dari hartanya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Namun, ‘Abdurrahman berkata, “Semoga Allâh memberkahimu dalam harta dan juga keluargamu. Cukup engkau tunjukkan padaku dimanakah pasar.”HR Bukhari 4684, dari hadits Anas ra.
Hadits ini menunjukkan bahwa istri Sa’d yang terkumpul satu masa saat itu hanyalah 2 orang; bukan di atas 4 orang. Saya tegaskan: BISA JADI mayoritas shahabat berpoligami seperti Sa’d ini, SEBAB SA’D ADALAH ORANG KAYA. Riwayat Bukhari 1908 menyebutkan:
“Sa’d ini adalah orang kaya.”
Tadabburilah: Mana lebih banyak di antara shahabat Nabi, orang kaya atau orang miskin? Jika yang kaya berpoligami 2 istri DALAM SEMASA, bagaimana dengan yang miskin?
9. Hlm. 156
Tertulis: “Segala sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi, selalu beliau informasikan kepada para shahabatnya.”
Pelurusan:
- Statemen semacam ini perlu dalil. Sekedar dakwaan saja tanpa dalil, tentu semua orang bisa melakukannya.
- Jika ini merupakan statemen ulama`, sepantasnya –jika memang karya ilmiah- disebutkan siapa pemilik statemen tersebut.
- Jika ia merupakan statemen penulis pribadi, maka perhatikanlah apa yang dikatakan oleh mufassir sejati, Imam Syaukani menulis dalam Nailul Authar(2/90):
“Telah menjadi keputusan dalam (ilmu) Ushul fiqh, bahwa Nabi saw jika melakukan suatu perbuatan yang tidak disertai dalil khusus yang menunjukkan diikutinya beliau dalam (melakukan perbuatan) itu, (berarti perbuatan) itu merupakan sesuatu yang dikhususkan untuk beliau dari keumuman ucapan (nash) yang secara lahir mencakup beliau.”
Beliau memberikan contoh (1/270) sebagai berikut:
“Bahwa Nabi saw (tidur dalam keadaan junub) tanpa menyentuh air, tidaklah bertabrakan dengan sabda beliau yang khusus untuk kita, sebagaimana telah kukuh dalam ilmu Ushul. Jadi perbuatan tersebut –jika dianggap bermakna “tanpa berwudhu” juga-, merupakan perkara khusus bagi beliau.”
Dari penjelasan Imam Syaukani ini, jelas bahwa tidak semua khushushiyyah Nabi selalu disampaikan secara jelas oleh Nabi saw kepada umat beliau. Wallahu A’lam.
10. Hlm. 168
Tertulis: “Sehingga, jika dibagi rata-rata, setiap satu orang shahabat memiliki 9 istri.”
Pelurusan:
- “Shahabat” yang dimaksud penulis di sini adalah mubasysyarun bil jannah (10 shahabat yang dijamin masuk Jannah); bukan semua shahabat.
- Memiliki 9 istri memang HALAL JIKA tidak terkumpul 4 istri dalam 1 masa.
- Maka penelitian si penulis di sini tidak ilmiah jika tidak dikatakan berdasarkan hawa nafsu.
- Perhatikan penjelasan ulama` kontemporer Mesir, Syaikh Mushthafa ‘Adawi dalam Silsilatut Tafsir 18/13:
“Tidaklah ada riwayat bahwa seseorang di antara shahabat Rasul saw menikah lebih dari 4 istri (dalam semasa), maka kami menilai adanya ijma` karena hal ini.”
Penjelasan beliau ini tidak salah, karena tentu saja yang dimaksud “tidak ada shahaby yang berpoligami di atas 4 istri” adalah mengumpulkan istri-istri tersebut dalam 1 masa.
11. Hlm. 169 dst
Di situ disebutkan nama-nama bagi:
- 10 istri ‘Umar.
- 9 istri ‘Utsman.
- 9 istri ‘Ali.
Pelurusan:
- Jumlah istri shahabat yang lebih dari 4 orang, tidaklah menunjukkan bahwa mereka memiliki lebih dari 4 istri dalam 1 masa. Ini tampaknya “disembunyikan” oleh penulis, jika tidak dikatakan: bersengaja tidak menulisnya.
- Bahkan boleh saja beristri 100 orang, jika tidak terkumpul 4 istri dalam 1 masa.
12. Hlm. 173
Tertulis: “Pengakuan al-Mughirah, ia telah melakukan pernikahan sebanyak 70x, atau bahkan lebih.”
Pelurusan:
-
Mughirah adalah Mughirah bin Syu’bah, shahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadits tentang mengusap khuff dalam wudhu. Kisah pernikahan 70x itu dapat dilihat dalam kitab Siyar A’lamin Nubala` 3/31:
-
SEMESTINYA DITULIS: “Mughirah sering menikah, hingga 70x atau lebih, NAMUN JUGA SANGAT SERING MENCERAI. TAMPAKNYA INI MENGINDIKASIKAN (SECARA TAK LANGSUNG) BAHWA MUGHIRAH TIDAK MENGUMPULKAN LEBIH DARI 4 ISTRI DALAM 1 MASA.”
Namun tentu saja si penulis takkan menulis demikian, karena ini tidak sesuai pendapat nyeleneh (meminjam istilah dia sendiri) yang dia pilih. Wallahul Musta’an
-
Bukti bahwa Mughirah sangat mudah mencerai istri:
“Ibnul Mubarak berkisah, “Mughirah bin Syu’bah memiliki 4 istri, lalu beliau membariskan mereka di hadapannya dan berkata, “Kalian adalah para wanita berbudi mulia, berleher panjang (cantik); akan tetapi aku seorang lelaki tukang cerai, maka kalian semua kucerai.” (Siyar 3/31)
-
Keterangan bahwa Mughirah tidak mengumpulkan istri lebih dari 4 dalam semasa:
Mughirah sangat sering menikahi wanita, dan dia berkata, “Pemilik 1 istri, jika istrinya sakit dia ikut sakit, dan jika istrinya haid dia ikut haid. Sementara pemilik 2 istri berada di antara dua api yang menyala.” Adalah KEBIASAAN MUGHIRAH, menikahi 4 istri secara serempak, dan MENCERAI 4 ISTRI tersebut secara SEREMPAK pula.
13. Hlm. 167
Tertulis:
- “Bisa dipastikan, bahwa SEMUA shahabat Nabi berpoligami.”
- “KECUALI SATU orang saja, yaitu Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah.”
- “Selain TERKENAL satu-satunya shahabat yang memiliki satu orang istri, Abu ‘Ubaidah juga terkenal paling minim DALAM SEGALA HAL, karena hanya memiliki DUA ANAK saja, BERBEDA dengan shahabat-shahabat yang lain.”
PELURUSAN & SOAL:
- Memastikan sesuatu harus dengan dalil. Tanpa dalil, bagai fatamorgana.
- Dalam kitab apa disebutkan Abu ‘Ubaidah terkenal satu-satunya shahaby yang monogamy?
- Apa maksud “minim dalam segala hal”? Hal dunia atau agama?
- Siapa dua anak Abu ‘Ubaidah jika benar hanya dua?
- Benarkah tiada shahaby lain yang hanya dikaruniai 2 putra (atau kurang)? Apa buktinya?
PERHATIKANLAH:
-
Ada shahaby yang memiliki 1 anak saja. Usdul Ghabah 1/135 menyebutkan:
تميم بن أوس بن خارجة بن سود بن خزيمة يكنى: أبا رقية بابنته رقية، لم يولد له غيرها
“Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Khuzaimah, kun-yahnya Abu Ruqayyah karena putrinya bernama Ruqayyah; dia tidak dikarunia putra selain Ruqayyah.”
SOAL: Siapa lebih minim putra, Abu ‘Ubaidah atau Tamim bin Aus?!
-
Ada shahaby yang tidak dikarunia putra. Usdul Ghabah 3/114 menulis:
يحيى بن الحنظلية وكان ممن بايع تحت الشجرة، وكان عقيماً لا يولد له – فقال: والذي نفسي بيده لأن يولد لي ولد في الإسلام واحتسبه أحب إلي من الدنيا بما فيها.
“Yahya bin Hanzhaliyyah, termasuk mereka yang berbai’at di bawah pohon (bai’atur Ridhwan yang terkenal), dan dia ini mandul, tidak dikarunia putra, maka dia berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh jika aku dikaruniai seorang putra di masa Islam, dan aku mengharap pahala darinya, hal itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”
SOAL: Siapa lebih minim putra, Abu ‘Ubaidah atau Ibnul Hanzhaliyyah?!
Tentang Abu ‘Ubaidah, Imam Dzahabi menjelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala` (1/13 dsk):
-
Abu ‘Ubaidah TERKENAL dengan PEKERTI MULIA, sifat aris, dan tawadhu`. Beliau menulis:
وَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَوْصُوْفاً بِحُسْنِ الخُلُقِ، وَبِالحِلْمِ الزَائِدِ، وَالتَّوَاضُعِ.
Sama sekali beliau tidak menulis bahwa Abu ‘Ubaidah terkenal monogamy, dalam kitab beliau yang terdiri dari 26 jilid ini (naskah saya). Maka wajar jika muncul pertanyaan, dari mana statemen penulis di atas bersumber?
-
Tentang keturunan Abu ‘Ubaidah:
قَالَ الزُّبَيْرُ بنُ بَكَّارٍ: قَدِ انْقَرَضَ نَسْلُ أَبِي عُبَيْدَةَ، وَوَلَدُ إِخْوَتِهِ جَمِيْعاً، وَكَانَ مِمَّنْ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ الحَبَشَةِ.
Zubair bin Bakkar berkata, “Keturunan Abu ‘Ubaidah telah PUNAH, demikian juga semua putra bagi saudara-saudaranya.”
-
Tentang kelebihan (kebalikan dari “keminiman”) Abu ‘Ubaidah:
وَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَعْدُوْداً فِيْمَنْ جَمَعَ القُرْآنَ العَظِيْمَ.
“Adalah Abu ‘Ubaidah terhitung dalam kumpulan para pengumpul (PENGHAFAL) Al-Qur’an Al-‘Azhim.”
قَالَ عُمَرُ لِجُلَسَائِهِ: تَمَنُّوْا. فَتَمَنَّوْا، فَقَالَ عُمَرُ: لَكِنِّي أَتَمَنَّى بَيْتاً مُمْتَلِئاً رِجَالاً مِثْلَ أَبِي عُبَيْدَةَ بنِ الجَرَّاحِ
‘Umar berkata kepada para rekan duduknya, “Beranganlah kalian.” Mereka pun berangan-angan, lalu ‘Umar berkomentar, “Akan tetapi aku mengangankan sebuah rumah yang penuh para lelaki SEMISAL Abu ‘Ubaidah bin Jarrah.”
كَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ رَأْسَ الإِسْلاَمِ يَوْمَ وَقْعَةِ اليَرْمُوْكِ؛الَّتِي اسْتَأْصَلَ اللهُ فِيْهَا جُيُوْشَ الرُّوْمِ ، وَقُتِلَ مِنْهُم خَلْقٌ عَظِيْمٌ.
Abu ‘Ubaidah adalah KOMANDAN ISLAM di hari perang Yarmuk di mana Allah menghancurkan tentara romawi secara tuntas, dan terbunuh dari mereka suatu jumlah yang besar.
-
Tentang kesederhanaan (bukan kemiskinan/keminiman) Abu ‘Ubaidah:
قَالَ عُمَرُ: غَيَّرَتْنَا الدُّنْيَا كُلَّنَا، غَيْرَكَ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ
‘Umar berkata, “Dunia telah mengubah kami semua, SELAIN ANDA wahai Abu ‘Ubaidah.”
Lalu Imam Dzahabi berkomentar:
وَهَذَا -وَاللهِ- هُوَ الزُّهْدُ الخَالِصُ، لاَ زُهْدُ مَنْ كَانَ فَقِيْراً مُعْدِماً.
“Hal ini demi Allah, inilah sikap zuhud yang murni; BUKAN zuhudnya orang yang FAKIR PAPA.”
Kesimpulan dari kutipan-kutipan di atas adalah bahwa Abu ‘Ubaidah ra. terkenal sisi pekerti mulianya, bersikap zuhud padahal tidak fakir, dan memiliki banyak keistimewaan lain. Adapun “keminiman” beliau, adalah punahnya keturunan beliau. Wallahu A’lam.
BEBERAPA KOREKSI UMUM
1) CONTOH SALAH BACA TULIS
- Hlm. 69
Tertulis: “Dhuhak dan Suddy”.
YANG LURUS:
Dhahhak, tulisan Arabnya: الضحاك . Beliau adalah Imam adh-Dhahhak bin Muzahim, seorang ahli tafsir yang dinilai dha’if dalam periwayatan hadits. (Siyar A’lamin Nubala` no. 238)
- Hlm. 130
Tertulis: al-Jami’ baina fanni.
YANG AKURAT: fannai, karena ini adalah bentuk mutsanna dari kata “fann”.
- Hlm. 130
Tertulis: pengindikasian atau pilihan, penjumlahan.
KOREKSI: mungkin yang benar: BUKAN PENJUMLAHAN.
- Hlm. 140
Tertulis: “an-Nakh`I dan Ibni Abu Laila.”
YANG AKURAT: an-Nakha’i; beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais bin Aswad bin ‘Amr an-Nakha’I Abu ‘Imran al-Kufi, seorang ulama` tenar yang sangat menakjubkan sisi wara’nya, dan beliau tidak suka popularitas. Lihat: Taqribut Tahdzib no. 270.
- Hlm. 141
Tertulis: kaum suddy.
YANG AKURAT: kaum SADDA.
Suddy adalah nama mufassir tenar bernama Isma’il bin ‘Abdirrahman al-Kufi al-A’war al-Imam, murid Ibnu ‘Abbas ra., Anas ra., dll. Lihat Siyar A’lam no. 124.
Sementara Sadda adalah nama kota dekat kota Zabid di Yaman. Lihat: Mahasinul Ta`wil karya al-Qasimi, dan al-Qamus (al-Muhith) karya Fairuz Abadi.
Terkadang salah baca & tulis semacam ini menunjukkan kedangkalan ilmu syar’I, atau ketidaktelitian. Ketidaktelitian jika diterapkan dalam pembahasan hukum syar’I, dapat menelurkan fatwa yang sesat dan menyesatkan. Wallahul Musta’an.
- Hlm. 169
Tertulis: “Umu Kaltsum”.
YANG LURUS:
Ummu Kultsûm. Bagi pembaca kitab-kitab Arab kaum salaf, hal ini sangat gamblang.
2) CONTOH TERJEMAH TAK AKURAT
- Hlm. 108
Tertulis: “Apabila meninggal salah satu di antara mereka, ingatlah semua kebaikannya.”
YANG AKURAT:
“Bila sahabat kalian meninggal, maka biarkanlah (JANGAN MENYEBUTKAN KEJELEKAN-KEJELEKANNYA).”
Antara “mengingat kebaikan” dengan “jangan menyebut kejelekan” tentu jauh berbeda; bagi orang-orang yang berpikiran cerdas. Wallahul Musta’an.
3) PENYEBUTAN HADITS DHA’IF TANPA PENJELASAN
- Hlm. 145
Tertulis: (Rasulullah saw bersabda): “Nikahilah perempuan-perempuan (berpoligamilah) kamu sekalian, karena mereka akan mendatangkan banyak rejeki untuk kamu.”
KOREKSI:
- Adab menyampaikan hadits dha’if –jika tidak disebutkan sanadnya agar dapat diketahui kedha’ifannya- adalah disertai dengan penjelasan bahwa hadits tersebut dha’if, dan tidak digunakan shighat jazm (misal: Rasulullah saw bersabda), tetapi digunakan shighat tamridh (misal: Diriwayatkan dari Rasulullah saw).
- Karena itulah Imam Nawawi mengkritik Imam Ghazali yang menukil hadits dha’if dengan shighat jazm. Imam Nawawi menegaskan, “Dengan ini Ghazali menyelisihi para ulama` pakar hadits.” (Lihat: muqadimahsyarah kitab al-Wajiz lil Ghazali)
- Hadits tersebut di atas adalah dha’if. Lihat keterangan sebab dha’ifnya dalam: Silsilah Ahadits Dha’ifah no. 3400.
Tambahan:
- Hlm. 129
Tertulis: “Analisis para ulama tafsir harus ditempatkan, tanpa harus memperhatikan siapa, di mana dan mengapa hal itu terjadi.”
Pelurusan:
-
Saya kurang paham apa maksud statemen di atas.
-
Maka jika maksudnya adalah: “Analisis ulama tafsir harus ditempatkan tanpa memperhatikan siapa dia, di mana dia menganalisisnya dst”, maka sadarilah bahwa ulama` ada 2 macam: علماء السوء dan علماء الخير (ulama` jahat dan ulama` baik), atau dengan kata lain: ulama` dunia dan ulama` akhirat.
-
Riwayat tentang ulama` jahat atau ulama` maling:
إذا رأيت العالم يخالط السلطان مخالطة كثيرة؛ فاعلم أنه لص. (ضعيف رواه الديلمي 1/1/57)
“Jika kau lihat seorang ulama` bergaul sangat sering dengan penguasa, maka ketahuilah bahwa dia maling!”
Riwayat ini dinilai Imam Munawi dalam Faidhul Qadir: Sanadnya jayyid (baik), namun Syaikh Albani menegaskan bahwa derajatnya dha’if, rawi dari Zuhri tidak tertulis (kosong) dalam kitab Dailami yang meriwayatkannya. Lihat: Silsilah Ahadits Dha’ifah 6/37.
Tentang Ijma` Ulama`
Mufassirin sejati menegaskan: Poligami maksimal 4 istri adalah ijma` ulama`.
-
Imam Baghawi menegaskan dalam Tafsirnya (2/161):
وهذا إجماع أن أحدًا من الأمة لا يجوز له أن يزيد على أربع نسوة،
“Ini merupakan ijma` bahwa seorang pun dari umat ini tak boleh poligami lebih dari 4 istri.”
-
Syaikh Tsana`ullah dalam Tafsirnya (1/662) menegaskan:
وعلى حصر الحل فى اربع انعقد الإجماع وقول بعض الناس فى مقابلة الإجماع باطل
“Tentang pembatasan halalnya poligami hingga 4 istri, telah terjadi ijma`. Adapun ucapan setengah orang yang melawan ijma’ ini adalah bathil.”
-
Syaikh Rasyid Ridha dalam Tafsirnya (4/306) menegaskan:
وَمَا قِيلَ مِنْ أَنَّ الْإِجْمَاعَ عَلَى تَحْرِيمِ الزِّيَادَةِ عَلَى أَرْبَعٍ لَا يَتِمُّ مَعَ مُخَالَفَةِ الشِّيعَةِ فِي ذَلِكَ ، أُجِيبَ عَنْهُ بِأَنَّ الْإِجْمَاعَ قَدْ وَقَعَ قَبْلَ أَنْ يَقُولُوا مَا قَالُوا فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ .
“Perkataan bahwa ijma’ tentang keharaman poligami di atas 4 itu tidak sempurna karena kaum syi’ah menyelisihi ijma` ini, terbantah karena ijma` telah terjadi sebelum mereka mengungkapkan pendapat mereka, maka ijma’ tersebut merupakan hujjah atas mereka.”
-
Syaikh al-Qasimi dalam Tafsirnya Mahasinut Ta`wil menulis:
هذا الخلاف مسبوق بالإجماع على عدم جواز الزيادة على الأربع ، كما صرح بذلك في ” البحر ” .
“Penyelisihan ini telah didahului oleh ijma` bahwa tidak boleh poligami di atas 4 istri, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Bahr.”
وقال في الفتحات فقال علماء على أن من خصائصه صَلّى اللهُ عليّه وسلّم الزيادة على أربع نسوة يجمع بينهن
“Al-Hafizh berkata dalam kitab Fat-hul Bari, “Para ulama` sepakat bahwa termasuk kekhususan beliau saw adalah berpoligami di atas 4 istri yang terkumpul (dalam 1 masa).”
-
DR Wahbah Zuhaili dalam Tafsirnya (4/238) menegaskan:
ويرده إجماع الصحابة والتابعين على الاقتصار على أربع، ولم يخالف في ذلك أحد.
“(Pendapat poligami 9 istri) itu tertolak oleh ijma` para shahabat dan tabi’in untuk membatasi pada 4 istri, dan tiada seorang pun yang menyelisihi dalam hal ini.”
-
Syaikh Mushthafa ‘Adawi dalam Tafsirnya (18/13) menegaskan:
هناك مسائل لا يسعكم فيها إلا أن تذعنوا للإجماع ، وإلا أتيتم بمحدثٍ من القول مبتدعٍ ، كما في مسألة تعدد الزوجات إلى أربع؛
“Terdapat beberapa masalah yang tidak memungkinkan bagi kalian selain tunduk terhadap ijma`. Jika tidak, berarti kalian mendatangkan suatu pendapat baru yang bid’ah! Contohnya adalah masalah poligami 4 istri.”
Sementara itu Hasibuan yang bukan mufassir bahkan bukan ulama`, menulis via SMS (Senin, 14/05/2012): “Mana ada ijma` seperti itu? Baca Tafsir Ibnu Katsir an-Nisa` 3 soal perbedaan pendapat para ulama` (baca: ulama` khair dengan ulama` sû’/jahat). Mereka yang takut ta’addud (poligami) karena takut ‘istri tua’ adalah musyrik.”
والله تعالى أعلم وعلمه أتم والحمد لله على ما علّم
Maraji’:
- Al-Qamus al-Muhith.
- Mafatihul Ghaib.
- Mahasinut Ta`wil.
- Musnad Ahmad.
- Nailul Authar.
- Shahih Bukhari.
- Shahih Muslim.
- Shahih wa Dha’if al-Jami’is Shaghir.
- Silsilah Ahadits Dha’ifah.
- Silsilatut Tafsir.
- Siyaru A’lamin Nubala`.
- Sunan Abi Dawud.
- Sunan Nasa`i.
- Sunan Tarmidzi.
- Syarhul Wajiz.
- Tafsir al-Mannar.
- Tafsir al-Munir.
- Tafsir Baghawi.
- Tafsir Ibni Katsir.
- Tafsir Muzh-hiri.
- Tafsir Qurthubi.
- Usdul Ghabah.
- Dll.
KESIMPULAN BAHASAN:
- Ijma` ulama`ahlussunnah: Poligami di atas 4 istri adalah haram.
- Ulama` syi’ah (ulamâ`us sû` ahli bid’ah): Boleh poligami hingga 9 istri.
- Ulama` khawarij (ulamâ`us sû` ahli bid’ah): Boleh poligami hingga 18 istri.
- Pendapat boleh poligami 9 istri dihikayatkan juga dari: Mazhab zhahiri. Al-Qasim bin Ibrahim.
- Poligami di atas 4 istri HALAL jika tidak mengumpulkan 4 istri dalam semasa. Ini dilakukan oleh Mughirah bin Syu’bah, yaitu biasa menikah 4 istri secara serempak, lalu mencerai mereka secara serempak pula, sebagaimana disebutkan Imam Dzahabi.
MATIN SALMAN (PENULIS)
Menyelesaikan program S1 di al-Azhar Mesir jurusan, S2 di ??, dan sedang menempuh S3 di ??.
[1] Lihat: Tafsir Baghawi 2/161, Tafsir Muzh-hiri karya Syaikh Tsana`ullah 1/662, Tafsir al-Mannar karya Syaikh Rasyid Ridha 4/306, Mahasinut Ta`wil karya al-Qasimi, Tafsir al-Munir karya DR Wahbah Zuhaili 4/238, dll.
* Jangan terkecoh dengan tulisan Hasibuan (Senin, 14/05/2012): “Mana ada ijma` seperti itu? Baca Tafsir Ibnu Katsir an-Nisa` 3 soal perbedaan pendapat para ulama` (baca: ulama` khair dengan ulama` sû’/jahat). Sedangkan mereka yang takut ta’addud (poligami) karena takut kepada istri tua adalah musyrik.”
[2] Lihat: Tafsir Adhwa`ul Bayan karya Syaikh Syanqithi 1/223, dan Silsilatut Tafsir karya Syaikh Mushthafa ‘Adawi 18/13.
[3] Baca selengkapnya risalah ini hingga terbukti kebenaran ungkapan tersebut.
[4] Menyebarkan kesesatan mendapatkan dosa sebagaimana pelaku/pencetus/pengusung kesesatan tersebut. Semoga Allah swt menyelamatkan kita dari “mengira berbuat kebajikan padahal sesat usaha amalnya” (Q.S. al-Kahfi [18]: 104). Silakan tadabburi dengan hati suci: surah an-Nisa` (4): 85.
[5] Halaman dalam buku “Poligami, Berapa Jumlah Istri yang Boleh Dinikahi” karya Matin Salman, penerbit poligami center Jakarta, Cet. I, Mei 2010. (bilal/fai/arrahmah.com)