(Arrahmah.com) – Allah Ta’ala menciptakan umat manusia dan menempatkan mereka di atas muka bumi ini untuk bertindak sebagai khalifah, pihak yang mendapat amanah untuk mengelola bumi. Sebagai penerima amanat, manusia bertindak sebatas wewenang yang Allah Ta’ala berikan. Segala kebijakan dan tindakan manusia dalam mengelola bumi ini harus berdasarkan kepada aturan Allah Ta’ala, yaitu syariat Allah; Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dalam praktek dan perjalanan sejarahnya, kebanyakan manusia melupakan status dirinya sebagai penerima amanat dari Allah belaka. Mereka mengelola bumi seakan-akan mereka sendirilah yang menciptakan bumi. Mereka mengelola bumi seakan-akan merekalah Tuhan Yang Maha Berkehendak lagi Maha Mengatur. Mereka melampaui batas kewenangan mereka sebagai penerima amanat Allah. Mereka mengingkari dan meniadakan amanat Allah tersebut, lalu mereka mengelola bumi sekehendak hawa nafsu mereka. Mereka mencampakkan syariat Allah Ta’ala dan menerapkan hasil olah pemikiran akal mereka, yang tidak terlepas dari hawa nafsu dan keterbatasan ilmu.
Oleh sebab itu mereka memisahkan antara kekuasaan di langit dan bumi, antara kekuasaan Allah dan manusia. Mereka mengakui Allah sebagai penguasa di langit dan penguasa urusan akhirat. Namun mereka tidak mau mengakui kekuasaan Allah di bumi dan Allah sebagai pengatur urusan dunia. Bagi mereka, bumi dan semua urusan dunia adalah hak manusia semata —dalam hal ini mereka—. Bagi mereka, mereka memiliki kewenangan mutlak dan kebebasan mutlak untuk mengatur bumi dan urusan dunia sesuai keinginan dan hawa nafsu mereka semata. Bagi mereka, mereka tidak memiliki kewajiban untuk tunduk kepada syariat Allah dalam mengelola bumi dan urusan dunia mereka.
Mereka mengangkat derajat mereka menjadi “Tuhan” di muka bumi. Mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai sekutu dan tandingan bagi Allah Ta’ala di bidang kekuasaan, pemerintahan dan pengelolaan bumi. Atas dasar keyakinan sekuler itulah mereka kemudian menerapkan sistem kehidupan yang mencampakkan syariat Allah. Mereka menerapkan sistem politik demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme, sistem ideologi materialisme, humanisme dan lain sebagainya.
Di tengah kehidupan manusia akhir zaman yang didominasi oleh sistem-sistem kufur dan syirik tersebut, mayoritas umat Islam dibuat tidak mengetahui ajaran Islam tentang politik dan pemerintahan. Umat Islam dibuat, secara sukarela maupun terpaksa, menerima sistem sekuler yang mencampakkan syariat Allah.
Untuk mengenalkan kepada umat Islam aturan syariat Allah dalam bidang politik dan pemerintahan ini, Arrahmah.com akan menampilkan serial tulisan dengan tema “Pokok-pokok ketentuan syariat dalam bidang politik dan pemerintahan”, insya Allah Ta’ala. Sesuai judulnya, pembahasan ini akan diketengahkan secara ringkas dan padat, dengan menyebutkan ringkasan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dalam beberapa bahasan, disertai penjelasan ringkas para ulama Islam pada ayat dan hadits yang memerlukan penjelasan. Tulisan ini disarikan dari karya para ulama Islam dalam bidang siyasah syar’iyah dan al-ahkam as-sulthaniyah. Semoga serial pembahasan ringkas ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du.
Bab I
Mentauhidkan Allah dalam bidang kekuasaan, hukum dan ketaatan
Ketentuan 1
Wajib mengesakan Allah Ta’ala dalam kekuasaan dan kerajaan-Nya dan meniadakan sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan dan kerajaan-Nya
Allah Ta’ala berfirman:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ
“Milik Allah semata kerajaan langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura [42]: 49)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ
“Dan Allah tidak memiliki sekutu dalam kerajaan [kekuasaan-Nya].”(QS. Al-Isra’ [17]: 111)
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Katakanlah [wahai Muhammad]: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, Dia semata yang memiliki kerajaan langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf [7]: 158)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3)
“Katakanlah [wahai Muhammad]: Aku berlindung kepada Rabb manusia, raja manusia, Ilah [sesembahan yang haq] manusia.” (QS. An-Nas [114]: 1-3)
Hadits no. 1:
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ
“Allah menggengam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman: “Saya-lah Raja yang sebenarnya, dimanakah gerangan raja-raja bumi?”
Dan dalam riwayat Ibnu Umar ada tambahan lafal:
أَنَا الْمَلِكُأَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Saya-lah Raja yang sebenarnya, dimanakah gerangan para penguasa diktator? Dimanakah gerangan orang-orang yang menyombongkan diri.” (HR. Bukhari no. 4812 dari Abu Hurairah dan no. 7412 dari Ibnu Umar dan Muslim no. 2787, 2788)
Hadits no. 2:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ وَأَغْيَظُهُ عَلَيْهِ رَجُلٍ كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَلِكَ إِلَّا اللَّهُ
“Orang yang paling dibenci dan paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang dinamai raja diraja [maharaja]. Tiada raja yang sesungguhnya selain Allah.” (HR. Bukhari no. 6205 dan Muslim no. 2143, dengan lafal Muslim)
Hadits no. 3:
Dari Amru bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
لاَقِيلَ وَلاَ قَاهِرَ وَلاَ مَلِكَ إِلاَّ اللهُ
“Tidak ada penguasanya yang sebenarnya, tidak ada pemimpin yang mengalahkan semua lawan yang sebenarnya dan tidak ada raja yang sebenarnya selain Allah.”
Dalam lafal imam Ahmad:
لَا قِيلَ وَلَا مُلْكَ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada kekuasaan dan tidak ada kerajaan yang sebenarnya selain milik Allah.” (HR. Ath-Thabarani dan Ahmad)
Imam Nuruddin Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid wa Mamba’ Al-Fawaid berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dari jalur gurunya Bakr bin Sahl Ad-Dimyathi. Imam Adz-Dzahabi berkata: Orang-orang [ulama hadits] mengkritiknya, kedudukannya adalah menengah. Imam An-Nasai berkata: Ia perawi yang lemah. Adapun para perawi lainnya adalah para perawi kitab Shahih. Ath-Thabarani telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan sanad yang shahih dari dua jalur gurunya yang lain.”
Syaikh Syuaib Al-Arnauth dalam Ta’liq atas Musnad Ahmad berkata: “Hadits ini shahih, meskipun dari jalur ini lemah karena kesamaran perawi dari Amru bin Abasah.”
Syaikh Hakim Al-Mathiri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan dua sanad dan salah satu sanadnya shahih.”
Catatan:
Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata: “Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam [dalam suratnya] menulis: “Kepada Heraclius pembesar Romawi”, dan beliau tidak menulis: “raja [kaisar] Romawi”, karena sesungguhnya ia tidak memiliki kerajaan dan tidak pula orang selainnya, kecuali dengan hukum agama Islam.” [An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12/77, penjelasan hadits riwayat Muslim no. 1773]
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)