YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Sidang pleno rekomendasi keputusan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, Rabu (11/2/2015) berlangsung panas. Beberapa anggota komisi rekomendasi atau Komisi D menolak draft Risalah Yogyakarta yang dibacakan oleh K.H. Fadlan Garamatan yang berasal dari MUI Papua Barat karena menganggap ada “poin penting” yang dihilangkan, sebagaimana dilansir KRjogja.
Bereaksi terhadap penghilangan “poin penting” itu, K.H. Bachtiar Nasir, salah satu anggota komisi D dari Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI) melakukan protes dengan maju ke depan mimbar. Menurutnya, ada kata-kata penting dalam risalah paragraf dua yang tidak dicantumkan.
Ia mengatakan bahwa, “Ini seharusnya ada kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar NKRI, namun menjadi tidak ada. Ada yang tidak jujur dalam forum ini, tidak bisa diterima dan kami meminta pertanggungjawaban.”
Penghilangan poin sepihak
Selain itu, K.H. Irfan S. Awwas dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) bahkan menyatakan pernyataan yang cukup mengagetkan. Menurutnya, [sebetulnya] pada sidang komisi yang dilakukan semalam (Selasa, 10/2) kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa masih tercantum dalam risalah yang disetujui bersama oleh seluruh anggota komisi.
“Namun, mengapa tiba-tiba dihilangkan pada pernyataan pagi ini? Apabila tidak kembali dicantumkan maka ini bukan Kongres Umat Islam, namun ini hanya kongres MUI saja,” tegasnya.
Sementara, K.H. Slamet Effendi Yusuf yang merupakan ketua SC KUII menyatakan bahwa, unsur Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipermasalahkan oleh anggota tersebut sudah tercantum dalam berbagai sumber yang ada di Pancasila dan Undang-Undang Dasar NKRI 1945. Dengan demikian, tidak perlu secara spesifik dicantumkan.
“Sudah ada dan tercakup dalam Pancasila di kelima sila. Pertimbangan penegasnya juga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah umat Islam jadi dasar NKRI sudah jelas Pancasila,” jelasnya kepada pers, Rabu (11/02/2015).
Meski terdapat sanggahan, ketua sidang pleno K.H. Maaruf Amin tetap memutuskan untuk mengesahkan risalah tersebut. “Nanti jika ada revisi dan lain hal akan diselesaikan oleh SC di luar forum ini,” ujarnya disertai pengetokan palu.
Risalah Yogyakarta merupakan hasil dari Kongres Umat Islam Indonesia VI yang seharusnya disepakati bersama seluruh anggota kongres demi kemaslahatan Muslimin Indonesia kelak di kemudian hari. (adibahasan/arrahmah.com)