YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Penyampaian draft Risalah Yogyakarta pada sidang pleno KUII VI, Rabu (11/02/2015) diisi dengan pertentangan dari beberapa anggotanya akibat ada “poin penting” risalah yang tidak ditampilkan. Berikut poin risalah yang dipermasalahkan oleh anggota komisi D tersebut.
“Poin penting” yang menjadi perdebatan (di paragraf kedua pengantar Risalah Yogyakarta) tersebut adalah:
Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang berdasarkan (Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ruh perjuangan umat Islam Indonesia) Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia.
Bagian yang bertanda kurung tersebut di atas, (Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ruh perjuangan umat Islam Indonesia) ternyata tidak ditampilkan dalam pemaparan draft yang dilakukan oleh wakil perumus risalah dari Komisi D yaitu K.H Fadlan Garamatan.
Bereaksi atas hal tersebut, K.H. Bachtiar Nasir dan K.H. Irfan S. Awwas maju ke muka untuk memperjuangkan “klausa sakti” itu. Bahkan, akibat penghilangan kata-kata tersebut, Irfan S. Awwas sempat mengeluarkan kata-kata yang cukup mengagetkan.
Menurutnya, dengan penghilangan “klausa sakti” itu, kongres ini hanya milik MUI saja dan bukan kongres umat Islam.
Pasalnya, sebelum ini [sebetulnya] pada sidang komisi yang dilakukan semalam (Selasa, 10/2) kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa [dst.] masih tercantum dalam risalah yang disetujui bersama oleh seluruh anggota komisi.
“Namun, mengapa tiba-tiba dihilangkan pada pernyataan pagi ini? Apabila tidak kembali dicantumkan maka ini bukan Kongres Umat Islam, namun ini hanya kongres MUI saja,” tegasnya.
(adibahasan/arrahmah.com)