JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membatalkan putusannya usai melegalkan pernikahan beda agama.
“Terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya. Artinya ketika memeriksa dan memutuskan sepatutnya Pengadilan Negeri membatalkan pernikahan tersebut,” kata Amirsyah dalam keterangan resminya di laman resmi MUI dikutip Rabu (22/6).
PN Surabaya mengesahkan pernikahan pasangan beda agama pada Senin (20/6) lalu. Pernikahan tersebut telah tercatat dalam penetapan Nomor 916/Pdt./2022/PN/Sby.
Amirsyah menjelaskan, pernikahan beda agama bertentangan dengan aturan yang dibentuk negara, yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada pasal Pasal 2 (1) UU tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Amirsyah menambahkan, lpernikahan beda agama di Indonesia juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
“Dengan perkawinan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan,” terangnya.
PN Surabaya menyatakan baru pertama kali mengabulkan permohonan pernikahan warga yang berbeda agama usai Dispenduk capil menolak melakukan pencatatan.
Humas PN Surabaya, Suparno mengatakan kasus serupa juga pernah terjadi tapi di Jakarta. Sedangkan di Surabaya baru pertama kali.
“Kalau setahu saya, ini pertama kali,” kata Suparno, Selasa (21/6).
Suparno mengatakan pertimbangan yang diambil oleh hakim tunggal Imam Supriyadi yakni pernikahan atau perkawinan berbeda agama bukan merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
(ameera/arrahmah.id)