ANKARA (Arrahmah.com) – Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan kepada salah satu media Turki pada Rabu (31/7/2019) bahwa mengutuk Cina atas perlakuannya terhadap minoritas Muslim Uighur “tidak akan merubah apapun”.
Mahathir ditanya dalam sebuah wawancara oleh koresponden TRT World mengapa Malaysia dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya lambat untuk berbicara menentang kebijakan Beijing terhadap Uighur, dan mengapa Kuala Lumpur tidak bergabung dengan 22 negara yang menandatangani surat kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang mengutuk penahanan massal Tiongkok terhadap Uighur.
“Kami melakukan apa yang kami bisa. Kami tidak membenturkan kepala ke dinding batu hanya karena ada di sana,” jawab Mahathir.
Pemimpin Malaysia itu mengatakan dia membutuhkan lebih banyak informasi tentang nasib orang Uighur sebelum menjatuhkan hukuman kepada Cina. Dia menggambarkan Cina sebagai negara kuat yang harus diperlakukan seperti itu.
Pihak berwenang di Daerah Otonomi Xinjiang Uighur Cina (XUAR) telah menahan hingga 1,5 juta orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya yang dituduh menyembunyikan “pandangan agama yang ekstrim” dan “pandangan politik yang berbeda” di kamp-kamp interniran sejak April 2017.
Sekretaris Negara AS Mike Pompeo menggambarkan tindakan Beijing di Xinjiang sebagai krisis kemanusiaan seperti yang terjadi “pada tahun 1930-an” merujuk terhadap kebijakan Hitler di Jerman dan Stalin di Uni Soviet. Dia juga menyebut penahanan itu sebagai “noda abad ini.”
Mahathir mengatakan mengutuk Cina tidak akan menyelesaikan masalah ini.
“Saat ini kami perlu memverifikasi hal-hal tertentu dari apa yang mereka tuduhkan. Tentu saja mereka menyangkal,” katanya dalam wawancara tersebut.
“Kami percaya bahwa pendekatan itu tidak harus konfrontatif. Hal itu harus dilakukan melalui negosiasi dan paparan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Cina.”
“Kita bisa mengutuknya [Cina] tetapi kenyataannya adalah bahwa hal itu tidak akan merubah apapun,” tandasnya. (rafa/arrahmah.com)