JAKARTA (Arrahmah.com) – Dr. Ing Nengah Sudja, mantan Sekretaris Komisi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mengatakan pembangunan PLTN tidak layak baik secara ekonomis maupun dari keselamatan.
“PLTN secara ekonomis tidak layak apalagi setelah Fukushima (kebocoran PLTN Fukushima di Jepang akibat gempa bumi),” kata Nengah dalam seminar “PLTN di Indonesia: Aspek Kesejahteraan dan Keselamatan, yang diadakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Hotel Aryaduta, Kamis (12/5/2011).
Nengah menjelaskan bahwa dari segi ekonomis, biaya pembangunan PLTN mahal terutama biaya untuk antisipasi keselamatan. Berdasarkan laporan terakhir (tahun 2009) biaya pembangunan PLTN pada beberapa negara mencapai 3.500 dolar AS hingga 5.500 dolar AS/KW.
“Kecelakaan Chernobyl, Fukushima menunjukkan PLTN bisa distruktif sekaligus sangat mahal,” kata Nengah.
Indonesia juga tidak memiliki sumber daya manusia industri terampil, ahli dan memadai. Indonesia juga kekurangan dana investasi biaya pembangunan proyek, infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Untuk membangun PLTN juga membutuhkan waktu lima hingga sepuluh tahun, sementara umur PLTN antara 22-25 tahun.
Dari studi kelayakan PLTN dan pengalaman pembangunan pusat listrik fosil di Indonesia diketahui biaya pembangunan PLTN sebesar tiga kali biaya pembangunan PLTU Batubara atau empat kali biaya pembangunan PLTGU Gas Bumi. Biaya pembangkitan PLTN dua kali lebih besar dari biaya pembangkitan PLTU Batubara.
Nengah menyarankan Indonesia tetap melanjutkan penggunaan teknologi konvensional dan sumber daya energi dalam negeri seperti gas alam, batubara. Untuk membangun PLTN juga membutuhkan penerimaan dari publik.
Hal tersebut bertentangan dengan yang diungkapkan oleh Pakar Ilmu Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Prof Dr Emriadi MS yang mengatakan, jika dilihat dari kebutuhan energi listrik negara, pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sangat manguntungkan bagi Indonesia.
“Saat ini kebutuhan energi listrik di Indonesia semakin meningkat, PLTN bisa menjadi jawaban untuk mengatasi krisis listrik yang tengah dihadapi Indonesia,” katanya di Padang, Rabu (!2/5).
Menurut dia, konsumsi listrik Indonesia setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan kebutuhan listrik dikemudian hari yang diperkirakan dapat tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun hingga 2020.
Komsumsi listrik Indonesia yang begitu besar akan menjadi masalah bila dalam penyediaannya tidak sejalan dengan kebutuhan. Kebutuhan pasokan energi listrik yang terus-menerus dan berkualitas menjadi tuntutan yang harus dipenuhi oleh negara, katanya.
Untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan listrik, maka dapat dilakukan dengan pembuatan pembangkit baru yang memiliki daya yang mampu untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional yang semakin besar. PLTN dapat menjadi salah satu solusi, disamping alternatif lainnya yang juga mungkin dapat diupayakan oleh negara.
Sebagaimana yang ditulis Antara, Ia mengatakan, energi nuklir saat ini merupakan energi yang sangat berpengaruh dalam produksi listrik berbagai negara. Selain itu, ditinjau dari dampak polusi lingkungan, energi nuklir relatif lebih ramah lingkungan.
Ia menambahkan, yang sangat penting bagaimana Indonesia belajar dari pengalaman negara-negara lain yang lebih dahulu telah menggunakan PLTN guna memberi jaminan rasa man kepada masyarakat.
Pertanyaannya, sudah siapkah Indonesia dengan adanya PLTN? Baik dari segi SDM, biaya, maupun teknologinya? (rasularasy/arrahmah.com)