SEMARANG (Arrahmah.com) – Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Margiono, menilai isi majalah Playboy edisi Indonesia termasuk hasil karya jurnalistik sehingga jika terjadi pelanggaran harus diselesaikan sesuai Undang-Undang Pers. “Majalah Playboy adalah hasil karya jurnalistik, namun edisi-edisi (majalah Playboy, red.) yang dipersoalkan memang melanggar kode etik jurnalistik,” katanya saat mengisi materi Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) di Semarang, Jumat (15/10/2010).
Menurut dia, pelanggaran yang terjadi dalam hasil karya jurnalistik tidak bisa diselesaikan secara pidana menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana yang dilakukan terhadap majalah Playboy tersebut. “Kalau hal ini dibiarkan, seperti pemidanaan terhadap hasil karya jurnalistik majalah Playboy, maka dikhawatirkan jika terjadi pelanggaran kode etik atas karya-karya jurnalistik lainnya juga akan dipidanakan,” katanya.
Karena itu, kata dia, pihaknya bersama Dewan Pers akan memperjuangkan agar pelanggaran kode etik yang dilakukan majalah tersebut tidak dipidanakan dengan KUHP, sebab langkah pemidanaan produk jurnalistik memang tidak tepat. Ia mengakui permasalahan tersebut merupakan dilema, sebab di satu sisi pemidanaan produk jurnalistik tidak tepat, sebagaimana pemakaian pasal 282 ayat 3 KUHP untuk menjerat Pemimpin Redaksi Playboy, Erwin Arnada.
Namun, kata dia, di sisi lain, hasil karya jurnalistik majalah Playboy yang dipersoalkan tersebut memang melanggar kode etik jurnalistik yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan pembelaaan. Terkait kode etik jurnalistik, Margiono mengatakan lembaga pers memang diharuskan menaati kode etik dalam menghasilkan karya jurnalistiknya untuk menjaga kualitas dan standar karya jurnalistik yang dihasilkan.
“Karena itu, kami bersama Dewan Pers terus berupaya melakukan perbaikan dari dalam, terkait pemenuhan kualitas karya jurnalistik sesuai standar yang ditetapkan, salah satunya dengan pendidikan jurnalistik semacam ini,” kata Margiono.
Sementara itu, anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho yang juga menjadi pembicara dalam kesempatan tersebut mengatakan sanksi atas pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik memang lebih bersifat moral. “Namun, sanksi moral sendiri sebenarnya lebih berat dibandingkan sanksi hukum, sebab berkaitan dengan perasaan malu di hadapan masyarakat. Itu jauh lebih memalukan daripada sanksi yang bersifat hukum,” kata Bekti. (rep/arrahmah.com)