SERANG (Arrahmah.com) – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendukung pasangan Capres/Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono bukan karena ada kontrak bagi-bagi kekuasaan atau bagi-bagi jatah menteri, kata Hidayat Nur Wahid (HNW).
“PKS dukung SBY-Budiono bukan ada deal bagi-bagi kekuasaan, ” kata Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PKS itu usai melakukan pertemuan dengan puluhan tokoh masyarakat Banten di Hotel Ledian Kota Serang, Banten, Minggu (14/6).
Akan tetapi karena ada kesepakatan bersama antara SBY dengan PKS dalam permasalahan program, antara lain menciptakan negara yang bersih dari korupsi, tidak neoliberalisme serta pro kepada rakyat.
Ia juga membantah koalisinya dengan pasangan SBY-Budiono karena beberapa pengurus PKS kebagian jatah menteri, dan bila sampai terjadi, kader PKS mendapat jatah menteri itu bukan bagian dari pengajuan kontrak politik dari PKS ke SBY-Budiono.
“Tidak ada bagi-bagi menteri, kontrak PKS dengan SBY semata mata ada kesamaan platform dan juga selama pemerintahan Indonesia dipimpin SBY, banyak kemajuan yang dicapai,” ujarnya.
Dibawah kepemimpinan SBY juga umat Islam bebas melakukan aktivitas, tidak ada yang ditekan, tidak seperti era kepemerintahan orde baru.
Jika pada masa orde baru, untuk pengajian saja harus lapor, dan materi ceramah juga harus disortir,tetapi di era pemerintahan SBY semua itu tidak ada.
“Mau pengajian bebas, bikin buletin, majalah Islam tidak disortir dan tidak harus minta izin, sedangkan dimasa orde barukan susah,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan wartawan mengenai isu pecahnya suara kader PKS pada Pilpres 2009 ini, HNW dengan tegas membantah telah terjadi perpecahan ditubuh PKS.
“Tidak benar itu, PKS tetap solid, itu hanya ada orang yang menunggangi isu jilbab saja, seluruh kader PKS tetap mentaati kesepakatan majelis syuro,” kata Nur Wahid.
PKS di Pemilu 2009 ini mendapat ranking empat dari seluruh partai di Indonesia, dan ranking pertama dari seluruh partai berbasis Islam, katanya.
“Sekali lagi saya tegaskan, PKS bukan tanpa sebab mendukung pasangan SBY-Boediono. Tidak karena alasan pragmatis tetapi karena realitas politik,” ujarnya. (Althaf/antara/arrahmah.com)