JAKARTA (Arrahmah.id) – Ancang-ancang pemerintah mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Untuk itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS, Muhammad Kholid mendesak Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani menunda rencana tersebut.
“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019, menjadi 47,85 juta pada 2024. Artinya, dalam 5 tahun kita kehilangan sekitar 9,5 juta kelas menengah. Rencana menaikkan PPN 12 persen harus ditinjau ulang atau dibatalkan,” kata Kholid, Jakarta, dikutip Rabu (20/11/2024).
Badan Pusat Statistik (BPS), kata Kholid, mencatat pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal III-2024 melambat di level 4,95 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Pemicunya, konsumsi rumah tangga melambat. Hanya naik 4,91 persen, atau lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen. Sebelumnya terjadi deflasi 5 bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
“Pertumbuhan ekonomi nasional melambat. Daya beli melemah. Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen jelas bukan kebijakan yang tepat. Karena semakin memukul daya beli,” kata juru bicara PKS itu.
Pun demikian dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober 2024 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) berada di level 121,1. Atau turun dari IKK bulan sebelumnya, sebesar 123,5. Artinya, ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Data Kemenaker, per Oktober 2024, ada sebanyak 59.796 orang di-PHK, naik 31,13% dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024, proporsi pekerja penuh waktu (bekerja minimal 35 jam seminggu), turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen. Sementara, setengah pengangguran (bekerja kurang dari 35 jam seminggu) naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Sri Mulyani, kata Kholid, pernah mengatakan pemerintah tetap akan menaikkan PPN karena itu adalah amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
Untuk itu, Kholid menyampaikan dalam UU yang sama pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Di pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah dengan persetujuan DPR, memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen,” kata dia.
“Masih ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal 2025,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)