Oleh Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – Sebagai partai politik, eksistensi PKI di Indonesia sudah kedaluwarsa terhitung sejak meletusnya tragedi G30S/PKI. Yaitu, gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965.
Akibat pemberontakan itu sungguh dahsyat. Tujuh orang jenderal TNI dibunuh, disayat-sayat tubuhnya, ditembak kepalanya sehingga terburai otaknya. Lalu mayatnya dilemparkan ke dalam sumur Lubang Buaya yang terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Selain itu ribuan ulama, santri dan rakyat Indonesia yang membenci PKI dieksekusi mati.
Kebiadaban PKI sudah dirasakan oleh para korban, dan menjadi tragedi traumatis bagi keluarga, istri dan anak-anak mereka yang masih hidup. Namun, kini bukan saja mereka tidak merasa bersalah atas pemberontakannya terhadap NKRI, tapi justru orang-orang PKI ini mengaku sebagai korban kekejaman TNI.
“PKI tidak salah, yang salah Soeharto, tentara dan Orde Baru,” tuduh mereka.
Menimpakan kesalahan sendiri pada pihak lain yang tidak bersalah, khas karakter PKI. Untuk itu, para pewaris ideologi PKI gencar menuntut pemulihan nama baik, permintaan maaf dari pemerintah RI. Puncaknya, ingin mencabut TAP MPRS Nomor 25/1966 tentang pembubaran dan larangan PKI agar mereka dapat eksis kembali. Selain itu, tanpa rasa malu, minta konpensasi atas nama korban HAM.
Jika UU larangan PKI dicabut, tentu saja mereka ingin leluasa tampil formal, tidak menjadi hantu yang bergentayangan di sejumlah parpol. Keinginan mereka untuk bangkit itu ada dan nyata.
Tidak seperti diklaim Syafii Maarif, yang tidak percaya kebangkitan PKI benar-benar terjadi. “Apa (isu kebangkitan komunis di Indonesia) itu bukan mimpi di siang bolong. Saya nggak begitu percaya, ndak tahu ya,” kata Buya Syafii saat menemui rombongan dari Humas Polri di masjid Nogotirto, Senin (19/9/2017).
Alasannya, “Dimana-mana sudah runtuh, dulu mengapa PKI itu kuat tahun 50an-60an itu karena ada bosnya terutama Rusia, China,” tuturnya.
Terkait dengan kasus seminar pelurusan sejarah 65 di LBH Jakarta, Buya menilai seminar itu baik-baik saja. “Untuk dikhawatirkan akan mengancam negara, saya kira nggak, saya ndak melihat. Massa (yang membubarkan seminar) itu siapa, mungkin kelompok radikal juga, mereka merangkap sebagai polisi swasta, itu yang harus diantisipasi,” katanya mencurigai massa anti PKI.
Berbeda dengan Buya Syafii, adalah mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat ABRI itu, Kivlan Zein. Di sela Simposium Nasional ‘Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain’ yang digelar di Balai Kartini, September 2017 lalu, Kivlan tegas menyatakan bahwa kebangkitan PKI di Indonesia ada yang memfasilitasi.
Kivlan bahkan menyebut kegiatan para kader dan simpatisan PKI telah menyusup ke lembaga negara. Beberapa di antara mereka, kata Kivlan, kini telah menjadi anggota DPR RI dan bergabung dengan partai berkuasa.
“Anak PKI, Ribka Tjiptaning, dia tetap menjadi anggota DPR. Dia terang-terangan bangga sebagai anak PKI masuk DPR,” katanya. Dia menyebut PDI Perjuangan sebagai partai yang ikut memfasilitasi kegiatan PKI selama ini.
Selain itu, menurut Kivlan, kebangkitan PKI juga ditandai dengan maraknya sejumlah propaganda dan penerbitan majalah Historia. “Mereka sudah keluarkan brosur-brosur, majalah Historia, lalu Asvi Warman Adam menyatakan PKI enggak salah. Majalah Tempo coba baca, pemberontakan dilakukan oleh Soeharto, bukan oleh PKI. (Kebangkitan) itu sudah jelas,” kata Kivlan.
Kivlan juga mengatakan PKI telah menentukan kembali susunan kepengurusan partai dari pusat hingga daerah. Kivlan menambahkan, kantor lama PKI yang terletak di samping Hotel Acacia Jakarta akan segera direnovasi. “PKI ini sudah bangkit”. Apalagi sekarang, “mereka (simpatisan PKI) sudah bisa jadi kepala desa, bupati, walikota, gubernur, presiden, menteri,” kata Kivlan meyakinkan.
Pendukung dan Penumpas
Di masa orde lama, dukungan Presiden Soekarno terhadap PKI, dengan melibatkannya dalam pemerintahan di bawah naungan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) menyebabkan konflik politik yang berakhir pada pemberontakan PKI.
Nasakom, akronim dari nasionalisme diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), sedang Agama merujuk pada ormas Nahdhatul Ulama (NU). Dan komunisme yang dimaksud adalah PKI.
Membelenggu agama dalam belitan Nasakom, mendapat penolakan dari ulama Islam, kecuali sebagian ulama NU yang kemudian menyeret ormas tersebut ikut bergabung dalam kabinet kaki tiga dan menjadi loyalis ideologi Nasakom.
Pilihan politik “berteman dengan PKI” berakibat fatal bagi NU. Puluhan ribu kyai, santri, dan warga Nahdhiyin di bantai oleh PKI. Bagi kaum musyrik komunis, membantai jutaan orang yang berbeda ideologi tidak masalah. Benarlah firman Allah Swt:
“Wahai Muhammad, kamu akan mendapati orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik sebagai golongan manusia yang sangat keras permusuhannya kepada orang-orang mukmin…” (Qs. Al-Maidah [5]:82).
Berteman dengan PKI jelas pilihan yang salah. Oleh karena itu, penolakan ulama Islam terhadap Nasakom, yang diputuskan melalui muktamar tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang, tepat. Muktamar memutuskan bahwa :
- Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
- Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
- Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Keputusan Muktamar Alim Ulama di Palembang tahun 1957 itu membuat Soekarno murka. Karena itu tokoh-tokoh ulamanya dimusuhi, diintimidasi termasuk dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Intimidasi itu berlangsung lama, tidak kurang dari 10 tahun hingga keluarnya TAP MPRS No. XXXIII/1967, yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno oleh MPR RI pada tanggal 12 Maret 1967.
Bayangkan, sekiranya tidak ada peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI dan rezim Soekarno berkuasa sebagai presiden seumur hidup. Lalu diganti lagi oleh Presiden baru yang mewarisi idelogi Presiden sebelumnya, betapa berat penderitaan para ulama dan umat Islam yang istiqamah dengan syariat Islam.
Bukan mustahil pemahaman Islam di negeri ini bertambah rusak, kaum anti agama dan anti Tuhan kian eksis sehingga kemusyrikan kian merajalela. Atas nama Nasakom, akan ada orang mengaku beragama Islam tetapi ideologinya komunis. Seperti terjadi di China, agamanya Kongchucu ideologinya komunis, atau di Myanmar yang membantai umat Islam Rohingya. Agama resmi negara Budha sedang ideologinya komunis.
Lahirnya generasi muda yang anti agama, dan anti Tuhan sangat berbahaya bagi kelangsungan NKRI yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Oleh karena itu, logis bila umat Islam dan TNI sangat khawatir menyaksikan sepak terjang para pewaris ideologi PKI akhir-akhir ini. Apalagi rezim Jokowi sepertinya memberi keleluasaan bagi aktivitas berbahaya dengan alasan pelurusan sejarah 1965/1966.
Para pewaris ideologi PKI ini menuntut dan mencari dukungan bahwa PKI tidak bersalah. PKI hanya korban, yang salah Presiden Soeharto, tentara dan Orde Baru. Padahal, jika PKI bangkit lagi akan terjadi perang saudara, memusuhi ulama, menyerang umat Islam dan membunuh orang-orang yang anti PKI.
Pendukung dan Penumpas
Sebuah buku berjudul Pledoi untuk Bung Karno dan Pemikiran-pemikirannya, yang diterbitkan dan dipublikasikan oleh Fraksi PDI Perjuangan MP RI, 21 Juni 2017, jelas menyiratkan upaya pembelokan sejarah itu.
Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ahmad Basarah tersebut tertulis pembelaan terhadap Bung Karno yang dipecat sebagai presiden RI berdasarkan TAP MPRS No. XXXIII/1967. Tapi yang disalahkan adalah Soeharto.
“Tuduhan Bung Karno berkhianat pada bangsa dan negaranya itu dituangkan dalam dalam konsideran/menimbang Tap MPRS nomor XXXIII tahun 1967 yang menyebutkan bahwa berdasarkan laporan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan, Presiden Soekarno dituduh terlibat memberikan kebijakan yang mendukung dan melindungi pemberontakan G-30-S/PKI. Dan atas dasar tuduhan itulah kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya dicabut oleh MPR RI pada tanggal 12 Maret 1967.
Dalam pasal 6 diktum putusan Tap MPRS nomor XXXIII tahun 1967 tersebut, telah diperintahkan Pejabat Presiden, Jenderal Soeharto untuk melakukan penyelesaian persoalan hokum yang dituduhkan pada Presiden Soekarno tersebut. Namun, hingga Bung Karno dipanggil pulang ke hadapan Ilahi Rabbi, proses peradilan itupun tidak pernah dilaksanakannya. Bahkan setelah Bung Karno lengser dari kekuasaan presiden pemerintahan pada waktu it uterus melakukan berbagai propaganda politik untuk terus menyudutkan Bung Karno melalui politik desoekarnoisasi”.
Menyalahkan Soeharto atas dilengserkannya Soekarno dari jabatan presiden, tidak cukup sekadar retorika, perlu data dan fakta. Apalagi, di akhir masa hidupnya, kedua mantan Presiden RI yang berbeda posisi, yang satu pendukung dan satunya lagi penumpas PKI, memperlihatkan sikap yang tidak seperti diperkirakan banyak orang.
Adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang mengklarifikasi tentang kontroversi penumpasan PKI, benar atau salah, kepada Bapaknya.
“Mengapa Bapak mengambil inisiatif untuk membubarkan PKI padahal Bung Karno tetap bertahan tidak mau membubarkan PKI ?” tanya Tomy pada Bapaknya.
Dan inilah jawaban Presiden RI kedua itu, seperti diungkapkan Tomy Soeharto di fbnya:
“Sebagai bawahan Bapak wajib melindungi harga diri Bung Karno karena kapasitasnya sebagai pemimpin besar dan juga di akui sebagai pemimpin besar dunia. Bung Karno sudah mengucapkan pemikirannya kepada dunia tentang menyatukan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme melalui sidang Umum PBB. Bung Karno menyebut gagasannya itu “to build a new world” (Membangun duni kembali).
Setelah melontarkan di forum internasional, bagaimana mungkin kemudian Bung Karno mau membubarkan Partai Komunis Indonesia PKI?
“Jadi Bapak berpikir biarlah Bapak yang membubarkan PKI yang semakin merajalela saat itu”.
“Kadang kala bawahan harus mengerti keteguhan seorang pemimpin, karena saat itu jika sampai Bung Karno membubarkan PKI dan menjilat ludah sendiri maka akan di cap apa negara kita ini di mata internasional….”
Bapak mengambil inisiatif karena Bapak juga sudah menyadari risikonya. Tidak masalah bapak disalahkan kelak, namun pasti suatu hari anak cucu bangsa ini akan mengerti dengan sendirinya apa arti kebenaran dan kesalahan di masa – masa perjuangan”.
“Itu jawaban yang saya dengar langsung dari Almarhum Soeharto,” tulis Tomy FB Hutomo Mandala Putra.
Ternyata Bung Karno merespons positif inisiatif Soeharto, bahkan berterimakasih.
“Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu (super semar) dengan baik. Saya mengucap terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal ini,” kata Soekarno. “Gestok kita kutuk! Dan saya….saya mengutuk pula,” tegas Soekarno.
Gestok adalah istilah yang digunakan Presiden Soekarno untuk menamakan peristiwa pengkhianatan PKI. Gestok, adalah Gerakan Satu Oktober, merujuk pada penculikan dan pembunuhan para jenderal oleh PKI yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965, yang dilanjutkan dengan kudeta PKI dan membubarkan kabinet dan MPRS.
Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar), surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan kepada Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu, pasca pengkhianatan PKI pada 30 September 1965.
Setelah mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966, besoknya pada tanggal 12 Maret 1966, atas nama Presiden Soekarno, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Isinya, pertama, membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya.
Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Keputusan presiden tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) terhadap tokoh-tokoh PKI yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 tanggal 5 Juli 1966.
Langkah ini merupakan kebijakan pertama Soeharto setelah menerima Surat Perintah 11 Maret sebagai upaya mengembalikan stabilitas negara.
Atas keberhasilan Soeharto ini, pada peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agutus 1966 Presiden Soekarno menyampaikan terima kasih kepada Jenderal Soeharto, setahun sebelum MPRS melengserkan Bung Karno dari jabatan Presiden.
Lalu, mengapa kini, penggemar komunisme dan para pewaris ideologi PKI, bukannya mengakui kesalahan dan dosa-dosanya? Sebaliknya, justru menyalahkan Soeharto atas pembubaran dan pelarangan komunisme di Indonesia. Karena, “PKI pecundang, PKI cemen,” kata Kivlan Zein di forum ILC TVone, 19 September 2017.
(*/arrahmah.com)