JAKARTA (Arrahmah.id) – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan melakukan kunjungan diplomatik ke lima negara kawasan Timur Tengah selama sepekan ke depan. Lawatan ini disebutkan bertujuan untuk berkonsultasi dengan para pemimpin regional terkait konflik di Gaza, termasuk rencana evakuasi 1.000 pasien asal wilayah tersebut.
Kelima negara yang akan dikunjungi Prabowo antara lain Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kepedulian Indonesia terhadap tragedi genosida yang menimpa bangsa Palestina. Namun, Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, Pizaro Gozali Idrus, menilai bahwa langkah ini belum cukup kuat untuk menghentikan kekejaman penjajah “Israel.”
“Jika tujuannya evakuasi medis, perlu dicatat bahwa Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab lainnya sejauh ini tidak kekurangan dokter dan peralatan medis untuk menangani pasien dari Gaza,” ujar Pizaro dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Arrahmah.id (10/04/2025). “Saya mendengar ini langsung saat mengunjungi Kairo beberapa waktu lalu. Otoritas Mesir masih mampu menampung para pasien dari Gaza. Mereka tidak terlalu memerlukan bantuan dari tenaga medis negara lain.”
Menurut Pizaro, bila misi kemanusiaan ini murni bersifat medis, seharusnya pemerintah Indonesia lebih banyak memfasilitasi masuknya dokter-dokter Indonesia ke Gaza, bukan sebaliknya.
Ia menilai, akan sangat disayangkan apabila kunjungan Prabowo ke Timur Tengah hanya sebatas pada upaya evakuasi warga Gaza. Sebagai pemimpin negara besar seperti Indonesia, Prabowo diharapkan berpikir melampaui pendekatan diplomasi konvensional.
“Dalam situasi genosida seperti sekarang, kita tidak bisa berpikir biasa. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah diplomasi out of the box,” tegas Pizaro.
Salah satu bentuk langkah luar kotak yang ia maksud adalah mendorong penghentian hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Tel Aviv. Menurutnya, ini akan menjadi tekanan nyata bagi penjajah “Israel.”
Ia mengingatkan langkah heroik yang pernah diambil Arab Saudi pada 1973, saat Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat sebagai respons atas dukungan Washington terhadap “Israel” selama Perang Yom Kippur.
“Prabowo dapat membisiki MBS (Mohammed bin Salman), bahwa keinginan Trump untuk meraup investasi 1 triliun dolar dari Saudi bisa dijadikan alat tawar kepada AS untuk menghentikan genosida di Gaza dan menghentikan bantuan militer kepada Netanyahu.”
Menurutnya, jika skenario itu berhasil, maka nasib Netanyahu akan serupa dengan Assad. Ketika Rusia menghentikan dukungan ke rezim Suriah tersebut, rezim itu langsung kolaps.
Pizaro menegaskan bahwa selama hasil kunjungan Prabowo tidak disertai dengan langkah tegas terhadap penjajah, maka tur Timur Tengah tersebut tidak akan efektif.
“Kita hanya akan terjebak dalam lingkaran genosida yang tak berujung, bahkan jika kita mengevakuasi hingga 100.000 orang sekalipun,” katanya.
Sebaliknya, Prabowo justru bisa memanfaatkan momen kunjungannya untuk menggalang konsensus internasional, termasuk memberikan garis merah kepada penjajah untuk menghentikan genosida.
“Jika ultimatum itu tidak dipatuhi, maka dunia Muslim berhak mempertimbangkan opsi intervensi militer berdasarkan prinsip Responsibility to Protect yang tercantum dalam Piagam PBB demi melindungi rakyat Gaza dari genosida.”
Ia juga mengkritik pendekatan diplomasi yang selama ini hanya berupa kecaman dan resolusi, yang terbukti tidak membuat penjajah gentar. “Pendekatan non-militer terbukti gagal. Hingga kini, hampir 51 ribu warga Gaza telah menjadi korban,” ungkapnya.
Pizaro juga menyoroti laporan dari jurnal medis Inggris The Lancet yang diterbitkan pada Juli 2024. Kajian tersebut mengindikasikan bahwa jumlah kematian sebenarnya di Gaza jauh lebih tinggi, bahkan melampaui 186 ribu jiwa.
Menurutnya, Netanyahu telah memperhitungkan kekuatan negara-negara Arab dan tahu bahwa tekanan dari mereka tidak cukup signifikan. Karena itu, Indonesia harus merangkul negara-negara non-OKI yang berani menentang penjajahan, seperti Afrika Selatan, Bolivia, Irlandia, dan Skotlandia.
“Negara-negara ini lebih bernyali. Afrika Selatan menyeret ‘Israel’ ke ICJ. Bolivia memutus hubungan diplomatik sejak awal genosida. Irlandia konsisten menjadi negara Eropa yang sangat pro-Palestina,” ujarnya.
Pizaro juga menyinggung The Hague Group, yang terdiri dari sembilan negara termasuk Malaysia, Honduras, Chile, Kolombia, dan Senegal. Mereka mendorong sanksi konkret terhadap penjajah, baik melalui ICJ maupun aksi boikot ekonomi.
“Ini lebih bermakna dibanding hanya mengeluarkan kutukan. Surat perintah ICC bahkan telah berhasil mengisolasi Netanyahu. Ia kini hanya mampu berkunjung ke negara kecil seperti Hongaria, dan harus memutar rute sejauh 400 kilometer saat ke Washington demi menghindari risiko pendaratan darurat di negara anggota ICC.”
Ia menambahkan, kondisi politik domestik di “Israel” kini sangat rapuh. Netanyahu menghadapi gelombang protes warga, bahkan dari militer dan lembaga keamanan dalam negerinya sendiri.
“Hampir seribu pilot dan tentara mengajukan petisi mogok perang karena frustrasi terhadap arah perang yang tidak jelas. Banyak di antara mereka tewas atau bunuh diri. Situasi ini membuat militer penjajah saling serang secara internal,” ungkapnya.
Mahkamah Agung “Israel” bahkan membatalkan keputusan Netanyahu yang memecat kepala Shin Bet, salah satu tokoh yang kritis terhadap perang Gaza.
“Netanyahu kini hanya bergantung pada Trump, di tengah ditinggalkannya oleh para pemimpin Eropa. Ia terbang ke Trump sebagai tempat bersandar satu-satunya.”
Menutup pernyataannya, Pizaro menyampaikan harapan. “Sebagai orang Muslim dan masih dalam suasana Syawal, saya ber-husnuzan bahwa semua langkah strategis ini sudah dipikirkan oleh Presiden Prabowo.”
(Samirmusa/arrahmah.id)