JAKARTA (Arrahmah.com) – Kenyamanan umat Islam dalam mengkonsumsi produk halal ini harus disertai dengan adanya regulasi yang memadai mengenai mekanisme pemberian sertifikasi halal terhadap produk yang akan di konsumsi.
Kenyamanan umat Islam dalam mengkonsumsi produk halal ini harus disertai dengan adanya regulasi yang memadai mengenai mekanisme pemberian sertifikasi halal terhadap produk yang akan di konsumsi. Keseriusan untuk mengggol RUU Jaminan Produk Halal pada akhir 2008, sudah tidak perlu diragukan lagi. Dalam rangka penyempurnaan penyusunan RUU tersebut Komisi VIII DPRRI menerima masukan dari beberapa instansi terkait antara lain, Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM), serta Gabungan Pengusaha Asosiasi Makanan dan Minuman.
Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM) pada dasarnya mendukung sistem sertifikasi halal yang berasaskan pelayanan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal tersebut merupakan cerminan keinginan kuat pemerintah untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi seluruh industri terutama skala kecil dan rumah tangga.
“Berdasarkan data yang ada, selama ini yang memiliki akses reative lebih besar untuk penerapan sistem jaminan produk halal adalah industri skala besar dan menengah,” kata Ketua Umum PIPIMM Suroso Natakusuma dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VIII, di Gedung DPRRI, Jakarta, Selasa (23/9).
Sehingga, menurutnya, dapat dipastikan dalam kurun waktu 10 tahun telah disertifikasi lebih dari 8.000 produk makanan dan minuman yang sebagian besar diproduksi oleh kelompok industri besar dan menengah.
Dalam kesempatan itu, Suroso mengkritisi, pasal 2 ayat 2 huruf c dalam RUU tentang pelaksanaan sidang fatwa yang tidak dapat dilakukan setiap saat, sebab penetapan fatwa dalam sidang komisi fatwa MUI yang dihadiri 40 ulama, dimana akan dilakukan apabila telah terkumpul sejumlah hasil audit dari lembaga pemeriksa.
“Pemerintah harus dapat memberikan biaya yang cukup, agar frekuensi sidang fatwa dapat ditingkatkan” ujarnya
Ia juga meminta agar dalam pelaksanaan UU JPH, secepatnya dibuatkan 9 peraturan pemerintah (PP). Sebab berdasarkan pengalaman selama ini, penyusunan PP memerlukan waktu yang cukup lama.
“Kami dari industri makanan dan minuman mengharapkan agar pemerintah secepatnya merampungkan aturan pelaksanaannya yang paling mendesak, agar UU ini segera dapat memberikan akses seluas-luasnya bagi industri keci dan rumah tangga,” tandasnya.
Berbeda dengan PIPIMM, Asosiasi Perusahaan Produk Halal Indonesia (APPHI) menilai selama ini proses sertifikasi halal produk pangan sudah berjalan baik, dengan tingakt partisipasi masyarakat produsen yang meningkat terus selama 19 tahun, sejak terbentuknya MUI dengan perangkat Komisi Fatwa dan Lembaga pengkaji dan Pemeriksa Obat dan Makanan (LPPOM).
“RUU Jaminan Produk Halal tidak memberikan banyak nilai tambah bagi penyelenggaraan proses sertifikasi, bahkan dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru yang berhubungan dengan birokratisasi proses sertifikasi halal oleh lembaga pemerintah dalam hal ini Departemen Agama,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Produk Halal Indonesia Mukhis Bahrainy dalam tanggapan resmi yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VIII.
Meski demikian, pihaknya mendukung adanya suatu peraturan yang mengatur pengawasan dan pengaturan pencantuman logo halal untuk produk pangan yang sudah disertifikasi, demi tegaknya perlindungan konsumen muslim dalam mengkonsumsi suatu produk yang terjamin kehalalannya. (Hanin Mazaya/Eramuslim)