BANGUI (Arrahmah.com) – Muslim hanya layak diberitakan saat “berada dibelakang senjata”, bukan di depannya.
Jurnalisme modern terus menegaskan kembali dasar ini berkaitan dengan krisis domestik dan, bahkan mungkin lebih dari itu, bencana hak asasi manusia internasional.
Penargetan secara sistematis terhadap Muslim di Republik Afrika Tengah (CAR), bangsa yang dilanda perselisihan sejak Maret 2013, kini berubah menjadi pembersihan etnis dalam skala besar, sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera, Selasa (18/8/2015).
Namun, masyarakat di luar negara Afrika dan di luar komunitas HAM kurang menyadari krisis kemanusiaan ini.
Dalam beberapa minggu terakhir, milisi bersenjata telah bergerak melalui bagian barat negara itu, mengintimidasi dan melakukan tindakan brutal terhadap Muslim.
Anti–Balaka, milisi ekstrimis yang tediri dari animis dan Kristen, melarang ummat Islam beribadah, menghapus pakaian agama, dan memaksa untuk pindah agama di bawah todongan senjata.
Anti-Balaka di CAR telah meneror sebanyak 750.000 Muslim, yang membentuk 15 persen dari populasi negara itu.
Tujuan dari anti–Balaka adalah sangat mengerikan: menyingkirkan bangsa penduduk Muslim, dengan cara apapun.
Terorisme anti–Muslim di CAR yang telah merenggut sedikitnya 6.000 jiwa, memaksa sebanyak 30.000 ummat Islam untuk hidup di kantong-kantong yang dilindungi PBB, dan menyebabkan sejumlah masjid hancur, tetap menjadi ancaman besar yang tidak diketahui.
Outlet media mainstream telah lama mengabaikan nasib kemanusiaan korban bangsa kulit hitam, terutama di benua Afrika.
Pasukan anti–Balaka memiliki manfaat yang sangat besar dari kurangnya pemberitaan terkait sepak terjang mereka. Jumlah mereka semakin berkembang, dan kekerasan yang mereka lakukan semakin menjadi-jadi.
Selain Muslim dipaksa untuk pindah agama dan masjid-masjid yang dirobohkan, laporan tentang Muslim yang harus membayar sejumlah uang dalam jumlah besar kepada milisi anti–Balaka juga sudah tersebar luas.
Militan anti–Balaka secara intensif membunuh mereka dan memaksa sejumlah besar dari mereka untuk pindah agama selama Ramadhan terakhir, yang terbukti berbahaya, dan bahkan bisa fatal.
Saat tragedi Rwanda, kameramen dan wartawan datang berbondong-bondong saat semuanya sudah terlambat. Ketika mereka tiba, genosida telah terjadi hampir di semua target.
Sejak itu, sejumlah cendekiawan, pendukung hak asasi manusia, negarawan dan berpendapat bahwa perhatian media yang tepat waktu bisa menciptakan tekanan yang dibutuhkan untuk memacu intervensi kemanusiaan yang lebih komprehensif.
Ribuan nyawa, dan generasi masa depan Tutsi, bisa diselamatkan.
Seperti yang terjadi di CAR, tak juga mengambil pelajaran dari tragedi Rwanda, sedangkan populasi Muslim semakin terancam punah, dan milisi anti–Muslim bersenjata memiliki lampu hijau untuk melanjutkan pembunuhannya.
Tapi karena Muslim berada di depan pistol bukannya sebagai pihak yang mengacungkan, cerita ini akan terus absen dari berita utama.
(ameera/arrahmah.com)