LONDON (Arrahmah.com) – Presiden Palestina “boneka” Yahudi, Mahmud Abbas menegaskan tidak memiliki hak untuk kembali ke wilayah Palestina yang saat ini dijajah oleh zionis Yahudi. Pernyataan itu membangkitkan kemarahan enam juta rakyat Palestina.
Wartawan senior dan pimpinan redaksi koran Al-Quds Al-Arabi yang terbit di London, Abdul Bari Athwan, menulis editorial khusus atas hal itu dalam edisi koran tersebut pada Jum’at (2/11). Dalam tulisannya, wartawan kelahiran Palestina itu melayangkan kritikan cukup pedas kepada presiden yang mengkhianati rakyatnya sendiri tersebut. Berikut ini terjemahan editorial tersebut.
Ku mohon Anda tidak berbicara atas nama kami
Ketika presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan bahwa ia tidak akan kembali ke kampong kelahirannya di desa Shafad, kota Jalil dan ia membatasi Palestina sebatas Tepi Barat dan Jalur Gaza, maka sesungguhnya ia telah mempersembahkan kekalahan-kekalahan secara gratis dan menelantarkan prinsip-prinsip baku bangsa Palestina demi menyenangkan orang-orang Israel, dalam sebuah pelecehan yang sangat jelas terhadap bangsa Palestina dan perasaan nasionalisme mereka.
Jika presiden Abbas tidak ingin kembali ke Shafad dan tetap tinggal di Ramlah, atau tinggal di rumahnya di Amman, maka itu adalah keputusan pribadinya. Namun dalam kondisi ini, ia tidak harus berbicara atau mengklaim sebagai wakil bagi enam juta pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai belahan dunia. Apalagi atas warga Palestina di wilayah yang dijajah di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta negara-negara tetangga.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan presiden Abbas akan melindungi hak kembali dengan sungguh-sungguh dan mati-matian jika ia sendiri tidak percaya adanya hak untuk kembali? Dan ia sendiri tidak menginginkan bagi dirinya, anak-anaknya dan cucu-cucunya untuk kembali? Semua ini demi mendapatkan cinta Avigdor Liberman dan meraih restu Benyamin Netanyahu.
Presiden Abbas, jika ia benar-benar ingin menjadi presiden bagi warga Palestina dan berbicara atas nama mereka, maka ia harus menjadi pemimpin teladan yang menghormati perasaan warga Palestina dan menjaga prinsip-prinsip baku mereka, dan menghormati arwah para syuhada’ yang gugur di medan-medan kehormatan dan kemuliaan, sebelum Israel menjajah Tepi Barat dan Jalur Gaza; juga demi membebaskan Shafa, Haifa, Yafa, Al-Quds dan seluruh kota, desa dan pelosok Palestina yang terjajah.
Kita tidak tahu kenapa Abbas melakukan sikap menyerah yang sangat berbahaya ini tentang hak kembali yang merupakan asas dan inti persoalan Palestina. Ia pasti mengetahui bahwa revolusi berawal dari tenda-tenda para pengungsi dan bertujuan mengembalikan hak ini, menegakkan keadilan bagi pemilik hak dan membebaskan tanah yang dirampas dari tangan orang-orang yang merampasnya.
Jika presiden Abbas meyakini meminta bantaun orang-orang Israel dengan cara ini bisa membuahkan hasil untuk meraih simpati mereka, kemudian mempengaruhi hasil-hasil pemilu yang akan datang, maka sungguh ia telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Sebab keruntuhan Arab terdahulu diwakili oleh pengajuan proposal perdamaian yang sangat menghinakan, dan proposal itu benar-benar diterapkan oleh negara-negara Arab. Lalu diadakan kampanye media massa untuk mensosialisasikan proposal tersebut di semua koran Israel dengan alasan menjangkau opini publik Israel di belakang para pemimpinnya. Keruntuhan yang memalukan sebagai pelaksanaan dari nasehat Eropa dan AS itu ternyata memberikan hasil yang bertolak belakang sama sekali. Terbukti suara rakyat Israel dalam pemilu-pemilu terakhir mengalir untuk kemenangan partai Likud pimpinan Netanyahu dan ‘Israel rumah kami” pimpinan Liberman.
Apa untungnya presiden Abbas meraih simpati segelintir orang Israel sementara ia sendiri akan kehilangan dukungan bangsa palestina? Ini pun seandainya ia bisa meraih simpati segelintir orang Israel. Sekalipun kita yakin sepenuhnya bahwa sikap-sikap mengalah Abbas ini akan direspon dengan penghinaan dan perasaan kasihan, dan diinterpretasikan sebagai bukti kelemahan dan kegagalan.
Barangkali yang lebih berbahaya dari semua sikap mengalah tersebut adalah janji presiden Abbas untuk mencegah timbulnya intifadhah (gerakan perlawanan rakyat muslim Palestina, pent) yang ketiga di wilayah yang dijajah. Hal ini berarti Abbas akan memerangi rakyatnya sendiri, berdampingan dengan pasukan Israel. Hal itu merupakan akhir yang tidak kita inginkan bagi penutupan sejarah politik Abbas.
Barangkali akan bermanfaat jika presiden Abbas diingatkan bahwa presiden Husni Mubarak memiliki satu juta aparat keamanan, presiden Tunisia Zainal Abidin bin Ali memerintah Tunisia dengan dukungan aparat keamanan yang terkuat di kawasan (Afrika Barat), hal yang sama juga terjadi pada diri presiden Bashar Asad yang memiliki 17 dinas intelijen yang namanya melejit berkat kekejaman dan teror yang dilakukannya. Meski demikian tidak seorang pun di antara mereka mampu mencegah intifadhah (gerakan perlawanan) rakyat yang menuntut kebebasan, kehormatan dan perubahan yang demokratis.
Memang benar bahwa presiden Abbas dan perdana mentrinya Salam Fayyadh telah menerapkan perdamaian ekonomi, menjadikan rakyat Palestina di Tepi Barat dan sebagian besar wilayah Jalur Gaza sebagai budak gaji yang dibayarkan oleh keduanya pada akhir bulan kepada lebih dari 160 ribu pegawai. Namun “perbudakan” ini tidak akan berumur panjang. Lihatlah rakyat Kuwait yang terhitung bangsa paling kaya dan makmur di muka bumi, kini sedang bangkit dan menuntut reformasi politik, menolak proyek Amir Kuwait yang hendak membatalkan putaran-putaran pemilu dan memaksakan sistem satu suara.
Bangsa Palestina tidak mungkin, bahkan tidak wajib menerima penghinaan seperti ini, di saat bangsa-bangsa Arab lainnya sedang bangkit menuntut hak-hak mereka, sementara bangsa Palestina dalam waktu bersamaan merasakan dua penghinaan; penghinaan gaji dan penghinaan penjajahan.
Presiden Abbas, sejak dua puluh tahun, telah mempersembahkan sikap mengalah demi sikap mengalah kepada orang-orang Israel. Ia mengajukan dirinya sebagai kawan yang moderat, namun demikian ia hanya mendapatkan penghinaan demi penghinaan orang-orang Israel. Berapa kali ia meminta izin mereka untuk mengunjungi tanah kelahirannya, Shafa, namun mereka tidak mau memberinya izin?
Saya sendiri, dan bersama saya enam juta pengungsi Palestina, atau begitulah yang saya yakini. Kami katakan kepada presiden Abbas, “Kami ingin kembali ke kota-kota kami dan desa-desa kami di tanah Palestina yang terjajah yang saat ini bernama Israel. Kami tidak akan mengalah walau hanya satu milimeter meski diganti dengan satu milyar meter di belahan dunia lainnya. Inilah tanah kami. Inilah hak kami.”
Oleh karenanya kami menuntut dia untuk tidak berbicara atas nama kami selama ia tidak ingin menjadi salah seorang dari kami.
(muhib almajdi/arrahmah.com)