(Arrahmah.com) – Beberapa waktu lalu militer Turki mendirikan pos pengamatan ke-12 di wilayah Suriah, itu merupakan pos pengamatan terakhir yang didirikan Turki. Berikut adalah wawancara dengan Syaikh Abu Fath Al-Farghali hafidzahullah, anggota dewan syariah Hai’ah Tahrir Syam (HTS) mengenai permasalahan tersebut.
Tanya: Bagaimana hukumnya mengizinkan pos-pos observasi Militer Turki masuk ke wilayah-wilayah yang telah dibebaskan? Syaikh Abu Fath Al-Farghali sebelumnya telah menyebutkan bahwa mereka (Turki) masuk dengan syarat-syarat tertentu, lalu apakah persyaratan tersebut masih dipenuhi oleh Turki? Dan apakah Jihad ini masih berlangsung?
Jawab: Segala pujian hanyalah semata milik Allah. Saya telah menyebutkan sebelumnya bahwa persyaratan dan garis merah (batasan) yang ditetapkan oleh Hai’ah Tahrir Syam mengenai masuknya pos-pos pengamatan Turki (berdasarkan pendapat dewan Syar’i dan orang-orang yang memecahkan masalah dan memutuskan perjanjian) ditetapkan dengan tiga syarat.
Pertama: Bahwa kekuatan militer di wilayah-wilayah yang dibebaskan tetap di tangan Mujahidin dan bukan di tangan tentara Turki sekuler.
Kedua: Bahwa Turki tidak campur tangan dalam pemerintahan atau administrasi wilayah-wilayah yang dibebaskan dengan cara atau bentuk apapun (tujuan dari persyaratan ini adalah agar hukum Syari’ah tetap tidak tersentuh di dalam wilayah-wilayah yang dibebaskan).
Ketiga: Bahwa keputusan perdamaian dan perang di wilayah yang dibebaskan tetap berada di tangan Mujahidin, bukan di tangan Militer Turki (tidak seperti di daerah lain yang dimasuki oleh mereka).
Setiap kali jumlah keputusan untuk menambah pos pengamatan disetujui, Dewan Syura dan Dewan Fatwa bermusyawarah untuk memastikan bahwa persyaratan dan garis merah tetap utuh.
Kami tidak pernah gagal dalam masalah ini kecuali dua pos yang mereka masukkan ketika kami disibukkan dalam pertempuran melawan Bughat (JTS). Ketika itu mereka memasuki wilayah yang tidak di bawah kendali Hai’ah Tahrir Syam dan sulit untuk mengontrol masuknya mereka tidak seperti ketika dalam situasi aman. Meskipun begitu pada waktu itu Hai’ah Tahrir Syam masih mampu – dengan izin Allah – untuk mengarahkan pos (Turki) ke posisi yang paling tidak berbahaya (bagi HTS).
Setelah tentara Turki menempati posisi yang kedua belas dan itu adalah posisi terakhir yang kami berikan wewenang kepada mereka, kami menyimak apakah mereka benar-benar memenuhi persyaratan dan berkomitmen pada batasan yang sah, hingga sampai pada kesimpulan –dengan izin Allah- mereka memang memenuhinya dan tidak melanggar perjanjian.
Selain itu kami masih memiliki kendali militer atas pos-pos observasi Turki yang masuk, karena pos-pos tersebut tidak memiliki hubungan langsung secara geografis dengan tentara utama (di Turki). Demikian juga jalan masuk pengganti mereka (perubahan shift) dan jalan keluar yang melewati wilayah kami, dan posisi mereka juga memungkinkan kami untuk memegang kendali atas mereka.
Sampai saat ini Turki juga tidak memiliki wewenang untuk mengatur masalah administratif di wilayah yang dibebaskan (Idlib). Hingga pada akhirnya, keputusan untuk memulai operasi baru atau menghentikan operasi militer apapun, ia dilakukan semata-mata demi keuntungan agama, dan tetap sepenuhnya berada di tangan Mujahidin – dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala-.
Namun tetap ada satu hal yang sangat penting pada semua Mujahidin, ia adalah kewajiban individu atas mereka semua: mereka harus terus mempersiapkan senjata dan memperkuat kekuatan mereka dan memegang teguh kesatuan barisan mereka, sehingga Jihad akan terus berlanjut. Sehingga Kalimah Allah akan ditegakkan di atas semua wilayah yang diduduki orang-orang kafir dan rezim Nushairiyyah.
Dan tidak ada daya atau kekuatan kecuali dari Allah. (umarmukhtar/arrahmah.com)