Assalamu’alaikum wr. wb;
Amma ba’du
Setelah kemerdekaan suatu negara, maka musibah terberat bagi rakyat negara tersebut adalah berkuasanya al-huthamah (pemimpin diktator).
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ شَرَّ الوُلاَةِ الحُطَمَةُ»
“Sesungguhnya seburuk-buruknya para penguasa adalah al-huthamah (diktator).” (HR. Al-Bazzar).
Dalam negara modern, al-huthamah (pemimpin diktator) tidak hanya bertindak zalim, menggunakan politik tangan besi terhadap rakyatnya, seperti kita kenal di masa orba. Tetapi lebih sistematis dan terprogram, melalui penyalahgunaan kekuasaan mereka demi kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Ada kalanya penguasa diktator berkolaborasi dengan pengusaha untuk tujuan ini. Ia tidak terikat oleh undang-undang atau mekanisme pengawasan yang biasa ada dalam sistem demokrasi atau pemerintahan berdasarkan hukum.
Disebutkan dalam hadits Nabi Saw. Dari Abu Layla al-Asy’ari bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«وسَيأتي أُمَرَاءُ إنْ اسْتُرْحِمُوا لَمْ يَرْحَمُوا، وإنْ سُئِلُوا الحَقَّ لَمْ يُعْطُوا، وإِنْ أُمِرُوا بالمَعْرُوفِ أَنْكَرُوا، وسَتَخَافُوْنَهُمْ وَيَتَفَرَّقَ مَلأُكُمْ حَتى لاَ يَحْمِلُوكُمْ عَلى شَيءٍ إِلاَّ احْتُمِلْتُمْ عَلَيْهِ طَوْعاً وَكَرْهاً، ادْنَى الحَقِّ أَنْ لاَ تٌّاخُذُوا لَهُمْ عَطَاءً ولا تَحْضُروا لَهُمْ في المًّلاَ»
“Dan akan datang para pemimpin jika mereka diminta untuk mengasihani (rakyat), mereka tidak mengasihani; jika mereka diminta untuk menunaikan hak (rakyat), mereka tidak memberikannya; dan jika mereka disuruh berlaku baik (adil), mereka menolak. Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan; dan memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani kalian dengan suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa, baik kalian suka atau tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak mengambil pemberian mereka, dan tidak menghadiri pertemuan mereka.” (HR. Thabrani).
Viral di medsos, video pernyataan Menhan RI tentang doktrin hukum rimba kekuasaan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengutip ucapan sejarawan Yunani Thucydides C. (460 SM – 395 SM) yang berbunyi : “The strong will do what they can and the weak suffer what they must,” (Yang kuat dapat berbuat sekehendaknya dan yang lemah harus menderita).”
“Kenapa ajaran ini jarang diajarkan di Indonesia. Saya yang selalu bawa-bawa ini di kalangan sekolah tentara,” kata Menhan bangga saat menggelar rapat kerja perdana bersama Komisi I DPR RI, Senin 11 November 2019.
Nubuwah rasulullah ini menjadi peringatan. Dari Abu Hisyam as-Silmi berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ يَمْلِكُوْنَ رِقَابَكُمْ وَيُحَدِّثُوْنَكُمْ فَيَكْذِبُونَ، وَيَعْمَلُوْنَ فَيُسِيؤُونَ، لا يَرْضَوْنَ مِنْكُمْ حَتَّى تُحَسِّنُوا قَبِيْحَهُمْ وَتُصَدِّقُوْا كَذِبَهُمْ، اعْطُوْهُمُ الحَقَّ مَا رَضُوا بِهِ»
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara (benjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, tapi pekerjaan mereka sangat buruk. Mereka tidak senang dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji) keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi pada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani).
Kesabaran rakyat Indonesia, kini benar-benar sedang diuji, terutama setelah Presiden Joko Widodo mengklaim
bahwa dirinya boleh berkampanye dan berpihak pada paslon tertentu dalam pemilu. Bagaimana dengan menteri, apakah bisa menjadi tim sukses salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden?
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak,” katanya saat bicara di depan prajurit TNI di pangkalan AU Halim, Jakarta, Rabu 24 Januari 2024.
Padahal UU Pemilu pasal 283 ayat 1 Tahun 2017 terdapat larangan kepada pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Sebagai kepala negara, memang tidak etis menjadi partisan politik pemilu, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi negara RI.
Jelas dan tegas disebutkan pada pasal 299 ayat 1 UU No. 7 tahun 2017 berbunyi: “Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon; calong anggota DPR, DPD, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.”
Dalam rentang sejarah berbangsa dan bernegara, Pemimpin diktator memang cenderung berambisi melanggengkan dinasti kekuasaan, yaitu regenerasi kekuasaan yang mengistimewakan keluarganya sekalipun dengan melanggar konstitusi, aturan hukum, maupun etika bernegara.
Figur Jokowi sendiri, oleh para buzzer istana, secara lebay dipersonifikasi seperti Umar bin Khathab, khalifah Islam ke-2, sekalipun tak ada secuil pun sifat dan karakteristik Umar bin Khathab melekat pada dirinya.
Umar bin Khathab menggunakan kekuasaan pemerintahan untuk menegakkan syariat Islam. Dan dalam rangka itu, beliau anti dinasti kekuasaan, karena Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu paham benar betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin.
Diriwayatkan oleh Ibn Al Jauzi dalam Manaqib Amirul Mukminin Umar ibn Al Khaththab, bahwa Umar RA memegang sebuah prinsip menghindarkan memberi jabatan karena pertalian kasih sayang atau kekerabatan.
Ia berkata, “Barang siapa memberikan jabatan kepada seseorang dikarenakan pertalian kasih sayang atau kekerabatan dan dia tidak mengangkatnya, kecuali atas dasar hal itu semata, maka dia benar-benar telah mengkhianati Allah, rasul-Nya, dan kaum muslimin.”
Adapun Presiden Jokowi justru sebaliknya, memanipulasi kekuasaan dan melestarikan nepotisme dengan mengistimewakan keluarga dan kerabatnya untuk meraih jabatan strategis di pemerintahan. Bukan karena prestasi dan kompetensinya, melainkan adanya koneksi ordal (orang dalam).
Menolak Politik Dinasti
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Masyhur dalam sejarah Islam, sikap anti dinasti kekuasaan Umar RA ditunjukkan dengan cara menjauhkan anggota keluarganya dari perlakukan istimewa demi menjaga integritasnya sebagai khalifah.
Karena itu sahabat Rasulullah Shalallahu Alahi Wassalam tersebut ketika jelang wafatnya usai ditikam seorang Majusi dari Persia, melarang anak-anaknya untuk menjadi penerusnya sebagai pemimpin negara atau khalifah.
Dilansir dari buku ‘Umar ibn Al-Khaththab oleh Khalid Muhammad Khalid, pemilihan untuk penerus kekhalifahan terjadi saat Umar RA berada di penghujung ajalnya. Namun, ia menentang keras saat nama anaknya diorbitkan sebagai calon pengganti khalifah.
Meski diusulkan berulang kali, Umar RA tidak memasukkan nama putranya ke dalam daftar formatur enam orang sahabat kandidat khalifah. Sebab, menurutnya, latar belakang Abdullah ibn Umar yang membawa nama anak khalifah menutup peluang yang lain untuk mendapatkan haknya.
Ketika ditanya, apa alasan Umar RA menolak hal itu? Ia berkata, “Cukuplah satu orang saja dari keluarga Umar yang akan menghadapi hisab di akhirat karena urusan kekuasaan,!” jawabnya tegas.
Para sahabat dan kaum muslimin berusaha meyakinkan khalifah: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya putra anda adalah orang yang shalih dan bertakwa. Apakah dosa dirinya jika dia ditakdirkan sebagai putra Amirul Mukminin? Atau apakah dosa kaum muslimin yang menghendaki putra anda menjadi pemimpin bagi mereka?”
Umar RA kemudian menjawab sekaligus mengingatkan rakyat muslimin, bahwa putranya bukan satu-satunya muslim yang adil, shalih, dan bertakwa. Masih banyak muslim lain yang memiliki keadilan dan ketakwaan seperti putranya, yang lebih pantas dipilih jadi khalifah pengganti dirinya.
Pengadilan Rakyat
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Manuver al-huthamah melawan rakyatnya sendiri harus dihentikan. Sebab, tidak hanya melanggar konstitusi, tapi lebih tragis melanggar etika berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, Pilpres 2024 ini merupakan momentum bagi pengadilan rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka yakini dapat menyelamatkan Indonesia dari ancaman rezim diktator, kejam dan manipulatif.
Apabila kita ingin menyelamatkan negara ini, maka pada saat pemilihan tanggal 14 februari nanti, pengadilan rakyat yang akan menggagalkan bangunan politik dinasti. Saatnya Indonesia berubah kearah yang lebih baik, adil, makmur, dan sejahtera untuk semua.
Semoga Allah Swt berkenan membukakan jalan kemenangan kepada pemimpin yang beriman, jujur, cerdas dan amanah; dan menutup jalan kemenangan bagi pemimpin yang korup, pembohong, curang, dan menzalimi rakyatnya.
Pemimpin beriman, apabila berkuasa niscaya dia akan melakukan amal shalih sebagaimana firman Allah Swt.
اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ
“Orang-orang yang ketika Kami beri kekuasaan di muka bumi, mereka melaksanakan shalat, membayar zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Di akhirat kelak, hanya Allah lah pemberi balasan atas semua amal manusia.” (QS Al-Hajj (22) : 41).
Dari ayat ini kita dapat memahami, bahwa seorang pemimpin yang diberi kekuasaan oleh Allah, baik melalui pilihan rakyat atau lainnya, kemudian dia menjalankan perintah Allah, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar, berlaku adil dan bertanggungjawab, niscaya akhir dari kekuasaannya akan baik dan bermanfaat bagi rakyatnya. Sebaliknya, seseorang yang berkuasa dengan tangan besi dan menjalankan kekuasaannya berdasarkan hawa nafsu, sungguh babak akhirnya tidak akan baik, kepemimpinannya tercela, dan akan menghasilkan kerusakan yang merugikan diri sendiri dan rakyatnya sekaligus.
بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
Yogyakarta, Jum’at 2 Februari 2024
Irfan S. Awwas