Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember
(Arrahmah.com) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan untuk tetap menggelar pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020, di 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pendaftaran pilkada dibuka 4-6 September 2020. Kemudian 23 September 2020, penetapan paslon, dan 26 September-5 Desember 2020 ditetapkan sebagai masa kampanye.
Kata Mahfud MD, pilkada harus tetap digelar karena dua alasan:
Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia dipimpin oleh pelaksana tugas, itu jumlah yang besar, kata Mahfud.
Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan? Sampai Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak.
Terkesan ngotot, karena banyak kalangan yang meminta pilkada ditunda. Di antaranya Komnas HAM, mengadakan diskusi daring yang diikuti lebih 700 peserta, dari seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri, dari berbagai profesi. Begitu juga Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) dan lainnya. Meminta agar pilkada ditunda karena tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada.
Dirut Indo Barometer Mohammad Qadari, meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai klaster Covid-19 bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19.
Berdasarkan hitung-hitungan matematika, jika jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta pemilih tetap (DPT) × 77,5% = 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari H mencapai 82,15 juta orang × 19% = 15,6 juta orang.
Itulah alasan, mengapa minta pilkada ditunda. Karena waktu yang tersedia tidak cukup untuk melaksanakan sejumlah syarat untuk mencegah penyebaran Covid-19, ujar Qodari.
Padahal, sudah terbukti banyaknya pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon. Masyarakat yang masih suka berkerumun, tidak bisa menjaga jarak, abai tidak menggunakan masker. Namun, tetap ngotot aspirasi publik ditolak oleh rezim.
Dampaknya akan terjadi peningkatan, ibarat bom waktu akan melipatgandakan angka positif Covid-19. Akibatnya, kesehatan, keselamatan dan ekonomi rakyat terancam bertambah memburuk dan terpuruk. Anehnya, sebuah tamparan keras dengan diblokir oleh 59 negara tidak membuatnya berpikir.
Hal tersebut jelas membuktikan, bahwa logika demokrasi mati akal dan mematikan hati nurani, karena mengabaikan pertimbangan kesehatan. Bahkan nyawa pun dipertaruhkan. Rakyat tidak akan lupa, justru ingatannya makin kuat dan segar. Pilpres 2019 telah merenggut nyawa 700 orang lebih ketua KPPS. Lagi dan lagi rakyat dipakai tumbal untuk kepentingan elit politik.
Sejujurnya, pesta demokrasi apakah pilpres, pileg dan pilkada bukan untuk rakyat tapi untuk kalangan pejabat dan konglomerat.
Dalam sistem demokrasi sulit untuk mendapatkan pemimpin yang jujur tegak lurus seperti yang disampaikan di sebuah video viral oleh Bupati Jember Faida yang menyebutkan, “Butuh uang miliaran rupiah demi mendapatkan rekomendasi dari partai politik untuk maju di pilkada serentak 2020. Biaya yang sebesar itu membuat seorang kepala daerah sulit menjadi pemimpin yang tegak lurus.” (Kompas.com.25/8/2020)
Hal tersebut nyata terbukti dengan adanya skandal korupsi. Menurut Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja mengungkapkan, sejauh ini ada 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi. (Kompas.com.3/9/2016)
Belum lagi besarnya anggaran untuk biaya pilkada serentak. Menurut Kemendagri Syarifudin bisa mencapai lebih dari Rp15 triliun. Jumlah yang fantastis. Sangat ironis, mengapa tidak dialokasikan untuk memutus penyebaran Covid-19. Kok ngotot menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi. Betul-betul mati akal dan tidak punya hati serta berbuat zalim.
Masihkah demokrasi kita pertahankan? Sistem yang terbukti rusak, menyengsarakan dan menzalimi rakyaknya. Saatnya kita buang, dan kembali ke sistem Islam.
Islam agama yang diridai Allah. Agama yang sempurna, berasal dari Zat Yang Maha Sempurna. Jadi aturannya pun jelas sempurna. Aturan yang mencakup semua lini kehidupan, termasuk bagaimana mekanisme cara memilih seorang pemimpin.
Pemimpin dalam Islam disebut imam atau khalifah. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Syariat Islam, mengatur pemilu harus berdasarkan akidah Islam. Artinya pemimpin yang terpilih harus menerapkan hukum-hukum Islam. Di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Kesadaran itulah yang melahirkan pemimpin amanah, yang lahir hanya dari sistem yang baik berasal dari Allah Yang Maha Baik.
Allah sangat membenci pemimpin yang dibenci rakyatnya, atau sebaliknya pemimpin yang membenci rakyatnya dengan berbuat zalim.
“Allah tidak pernah melupakan tindakan orang zalim.”
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat azab).” (QS. Ibrahim [14]: 42)
Demikian pula Islam sangat menghargai nyawa manusia. Di sisi Allah, hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Wallahu a’lam bishshawab.
(*/arrahmah.com)