Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik di Surabaya
(Arrahmah.com) – Membincangkan Pilkada dalam sistem demokrasi tiada habisnya. Atas nama demokratisasi, rakyat diajak berpesta meski sering menelan pil pahit. Tak lekang oleh jaman dan tak jengah oleh keadaan. Rakyat sepertinya berada di dasar kebodohan politik. Saat ini merupakan masa kampanye menuju pilkada serentak, Rabu, 9 Desember 2015. Calon Kepala Daerah (Kada) menunjukan kebolehannya. Komunikasi politik pun dibangun untuk menjaring simpati. Aksi kampanye dibuat semenarik mungkin. Bahkan ada yang sampai menciderai kondisi sosial masyarakat. Sungguh apakah ini yang diinginkan dari demokrasi?
Demokrasi Itu demoralisasi
Rakyat seharusnya tahu, demokrasi tak melulu pergantian pemimpin. Bukan pula sekadar coblos kertas lalu jadi kepala daerah. Juga bukan lima menit untuk kesejahteraan. Keikutsertaan rakyat dalam pencoblosan bukan indikasi kedewasaan politik dalam berdemokrasi. Rakyat harus tahu demokrasi sendiri berasaskan kebebasan (liberal). Juga memisahkan agama dan kehidupan. Demokrasi bisa menjadi ajang demoralisasi (merusak moral). Cukup banyak peristiwa yang seharusnya menyadarkan semua? Nah, berikut beberapa peristiwa yang bisa dicermati.
- Kampanye bule bikini
Unjuk rasa kembali digelar Jaring Masyarakat Pengawas (JAMAS) Pemilu Malang Raya, Jumat (27/11/2015), di depan Kantor Panwas Kabupaten Malang. Sambil berorasi, belasan aktifis JAMAS membentangkan poster bergambar bule berbikini saat kampanye untuk Pasangan Calon Nomer Urut 2, Dewanti Rumpoko dan Masrifah Hadi.
Kata Zia, unjuk rasa JAMAS hari ini sebagai panggilan moral. Apa yang dilihat dalam kampanye bule berbikini, sudah melanggar UU nomer 44 tahun 2008 tentang pornografi. “Bahwa mengesankan ketelanjangan itu dilarang. Apalagi ini kampanye. Naik panggung dan mengesankan ketelanjangan dan ini tidak diperbolehkan,” paparnya.(www.beritajatim.com)
- Meneror Kiai
Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Jember meminta aparat kepolisian agar segera mencari pelaku teror terhadap KH Imam Haramain, Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Jember dan pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah, Desa Karangharjo, Kecamatan Silo. Haramain adalah pendukung pasangan calon bupati Sugiarto dan Moch. Dwikoryanto.
“Saya ingatkan kepada para pelaku untuk tidak mengulangi perbuatan mereka, karena Kiai Imam Haramain ini tokoh NU dan PKB,” kata Ayub . Ayub yakin aksi teror dilakukan orang yang berada di Silo atau dekat dengan daerah tersebut.
“Potensi konflik di sana memang agak panas. Kami sangat menyayangkan pihak-pihak tak bertanggungjawab melakukan itu, karena akan merugikan kita semua,” katanya (www.beritajatim.com).
- Menyobek bendera Parpol
Ratusan kader PDI Perjuangan Kabupaten Sidoarjo mengecam aksi pembakaran bendera PDI Perjuangan yang dilakukan Mukhlison Kades Banjar Asri Kecamatan Tanggulangin, Rabu (25/11/2015).
Sikap protes itu dituangkan dalam aksi turun jalan yang dilakukan oleh para kader banteng moncong putih itu di Mapolres Sidoarjo. Mereka menuntut dan meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas pelakunya untuk diproses secara hukum. (www.beritajatim.com)
Masih banyak peristiwa lainnya yang bahkan lebih mengerikan seperti pembacokan Calon Bupati Lamongan, ketidakpuasan pendukung: warga laporkan KPU Kediri ke Panwaslu, incumbent Mojokerto melaporkan pasangan lain karena diduga rekomendasi palsu, dan lainnya. Untuk menghadapi itu semua yang pontang-panting adalah pihak kemanan dari unsur TNI dan Polisi.
Kalaupun sudah ada nota kesepakatan untuk Pilkada damai dari Kepala Daerah yang menjabat maupun kontestan Pilkada, itu hanya di atas kertas. Sesungguhnya mereka tak mampu mengendalikan massa pendukungnya. Mengingat semua memiliki kepentingan sesaat dan duniawi. Maka bisa dikatakan demokrasi begitu merusak moral manusia. Akhirnya kekerasan dan perasaan emosi dikendalikan nafsu menjadi pilihan penyelesaian masalah. Benar adanya jika demokrasi itu ‘demoralisasi’. Lantas apakah ini yang dinamakan pendidikan politik menjelang Pilkada? Lalu, apakah harus mempertahankan sistem rusak ini?
Tata ulang Pilkada
Sejak awal perencanaan Pilkada serentak sudah bikin gaduh. Regulasi bergonta-ganti. Bahkan daerah sudah menyiapkan skenario dua model pemilihan. Secara langsung dipilih rakyat dan dipilih DPRD. Elit politik nasional dan lokal memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Demokratisasi atas nama otonomi menjadi bandul memunculkan konflik di akar rumput. Rakyat sejatinya manut, hanya elit politik yang diwakili partai, legislatif, dan eksekutif memiliki tujuan sendiri. Ujungnya berebut kue kekuasaan dan meneguhkan keegoan.
Untuk menata ulang Pilkada dibutuhkan sistem politik selain demokrasi. Politik islam memiliki gagasan yang sempurna. Hal mendasar politik Islam yaitu mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Suatu kepemimpinan dilandasi kesadaran hubungan dengan Allah Swt. Kepemimpinan bukan semata jabatan prestis dan menjanjikan untuk usaha bisnis. Kepemimpinan lebih dimaknai sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat.
Kepala daerah dalam politik Islam bermakna wali. Khalifah yang berhak memilih wali untuk menjalankan pemerintahan di daerah. Konsep ini bukan berarti meniadakan aspirasi rakyat. Justru peran dari khalifah penting untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Rakyat turut serta dalam mengoreksi ketika ada penyimpangan dari syariah islam. Inilah pendidikan politik sesungguhnya. Kondisi itu berbeda jauh dengan politik demokrasi yang mendidik politik untuk rakyat dengan materi. Dibakar egonya menjadi jiwa pemberontak ketika pasangannya kalah. Rakyat juga tak tahu mekanisme untuk memilih pemimpin yang sempurna.
Keunggulan politik Islam dalam sistem Khilafah untuk memilih kepala daerah tak diragukan lagi. Pemimpinnya amanah karena menjalankan syariah. Rakyatnya sejahterah karena diurusi dengan baik keperluannya. Rakyat pun diajak untuk kritis dan solutif dalam menyampaikan gagasannya. Tak perlu biaya mahal jika hanya urusan pemilihan. Ideologi pun akan terjaga karena tidak disandarkan pada kekuasaan uang. Masihkah kita tidak sadar bahwa demokrasi itu demoralisasi?
(*/arrahmah.com)