HONGKONG (Arrahmah.com) – Pemeritah RI belakangan ini tidak hanya dituntut di dalam negeri atas beberapa permasalahan penting. Di Hongkong, pemerintah RI dituntut untuk segera Memulangkan Ratusan TKI Terlantar di Arab Saudi dan Memberikan Perlindungan Sejati Bagi Seluruh TKI Diluar negeri.
Seruan Perlindungan Dari Hongkong
Ini sebuah seruan agar pemerintah lebih memperhatikan warganya yang bekerja di negara orang, khususnya di Arab Saudi. Sudah menjadi rahasia umum nasib TKI di Arab Saudi sangat mengenaskan, dan salah satunya akibat sikap acuh pemerintah.
“Para TKI di Arab Saudi terlantar karena sikap lepas tangan pemerintah Indonesia, yang lebih mementingkan penempatan daripada perlindungan. Mereka terlunta-lunta karena pemerintah RI tidak memberikan pelayanan dan perlindungan yang selama ini mereka butuhkan sehingga akhirnya terpaksa mencari solusi sendiri dengan tidur dibawah kolong Jembatan.”
Pernyataan ini disampaikan Umi Sudarto, juru bicara Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR), di demonstrasi di depan kantor Konsulat RI di Hong Kong menuntut pemulangan TKI dibawah jembatan di Arab Saudi pada hari Minggu, 23 Januari 2011).
Aksi solidaritas ini dimulai pukul 03.30 PM – 04:30 diikuti sekitar 300 orang BMI di Hong Kong. Para demonstran memakai pakaian hitam sebagai tanda duka yang mendalam atas sikap prihatin mereka terhadap nasib para BMI yang terlantar ini sekaligus kritikan keras terhadap sikap abai pemerintah Indonesia terhadap nasib rakyatnya di luar negeri.
“Pemerintah Indonesia sendiri mengakui TKI yang tidak berdokumen (overstay) terpaksa nekad hidup di bawah jembatan Kandara Jeddah sudah lama terjadi dan banyak dari mereka adalah korban kekerasan, pelanggaran kontrak seperti upah tidak dibayar. Tapi mengapa hingga kini, pemerintah tidak bertindak sama sekali. Pemerintah seharusnya membantu kasus mereka dan memulangkan sehingga mereka tidak sampai terlunta-lunta. Tapi lebih dari itu, pemerintah juga harus meyakinkan TKI di Arab terlindungi dengan menciptakan MOU dan kontrak kerja standar ” tegas Umi.
Umi menambahkan berkumpulnya para TKI di bawah Jembatan tersebut dalam rangka memaksa pemerintah Arab mengijinkan mereka pulang meski tanpa surat ijin dari majikan. Untuk diijinkan meninggalkan Arab Saudi, TKI harus memiliki paspor/surat perjalanan resmi, tiket dan surat lepas/rilis dari majikan/perusahaan yang mempekerjakannya. Tanpa itu, mereka tidak akan diijinkan pulang.
“Kita sudah tahu bahwa hukum di Arab Saudi sangat kejam dan memperbudak. Tapi mengapa pemerintah hanya mengirim TKI ke sana tanpa meyakinkan perlindungan mereka?”
Umi menjelaskan banyak dari mereka TKI di Arab Saudi datang lewat visa turis untuk menghindari biaya calo/PJTKI dan dipaksa tinggal di penampungan. Biaya ini lahir karena pemerintah Indonesia mengharuskan agar semua TKI masuk PJTKI untuk bisa ke luar negeri. Padahal ujung-ujungnya, TKI akan dikenakan biaya amat mahal (resmi atau tidak resmi) dan gajinya dipotong berbulan-bulan seperti yang kami alami di Hong Kong. Menurut informasi, seorang TKI bernama Halimah Binti Kohar asal Cianjur, Jawa barat yang ingin dipulangkan ke tanah air akhirnya meninggal dunia di bawah Kolong Jembatan Kandara pada tanggal 3 Agustus 2009 lalu.
Pemerintah (Negara) Seharusnya Lindungi Rakyatnya
“Sikap pembiaran yang dilakukan pemerintah selama bertahun- tahun ini terhadap TKI di Arab Saudi dan negara-negara tujuan lain adalah cerminan dari UUPPTKILN. No 39/2004 yang lebih mementingkan penempatan daripada perlindungan. Pasal-pasal di UU ini dan kebijakan turunannya lebih mengatur bagaimana TKI ditempatkan keluar negeri daripada mengatur bagaimana TKI terlindungi ketika bekerja di luar negeri. Ini semakin menunjukan niat utama pemerintah yang hanya mengejar keuntungan semata” tambah Umi.
Dari satu jenis biaya saja yaitu Biaya Pembinaan/Perlindungan sebesar US$15 (sekitar Rp 140.000) yang diwajibkan kepada setiap TKI yang berangkat keluar negeri, pemerintah Indonesia sudah meraup keuntungan sebesar 600 miliar.
Belum lagi dari biaya-biaya lain seperti pembuatan paspor, ujian, kartu, asuransi, dan lain sebagainya. Namun ironisnya, meski biaya yang ditarik amat banyak dan mahal, tapi kondisi TKI diluar negeri tidak membaik dan bahkan semakin parah.
“Atas nama perlindungan, kami harus membayar biaya macam-macam tapi pelayanan yang diberikan kantor Konsulat/KBRI di luar negeri sangat mengecewakan. Dari pengalaman kami di HK dan Macau, setiap TKI melapor ke KJRI malah dimarahi dan membela majikan/agen. Kenapa itu banyak TKI yang enggan lapor dan memilih mencari bantuan lain atau bahkan memilih terlantar di kolong jembatan. Kalau di HK, minimal banyak organisasi yang mau membantu, tapi bagaimana dengan mereka yang di Arab Saudi?” jelas Umi.
Sikap pembiaran ini tidak hanya berlaku bagi TKI di Arab Saudi tapi semua negara tujuan. Di HK, KJRI melarang TKI di HK untuk mengurusi kontraknya sendiri (kontrak mandiri) dan memaksa untuk diproses oleh agen-agen. Sekali lagi, dalih KJRI memaksa TKI diproses agensi adalah demi perlindungan tapi kenyataannya justru TKI diperas melalui biaya proses yang amat mahal dan ditahan paspor serta kontraknya. Mentalitas semacam ini lahir karena bagi pemerintah, TKI hanyalah barang dagangan, bukan manusia.
“Kami menuntut pemerintah Indonesia untuk melakukan semua cara agar bisa segera memulangkan para TKI terlantar di Arab Saudi dan membuka kantornya agar para TKI terlantar lainnya bisa segera minta pertolongan. Demi meyakinkan pemenuhan hak-hak TKI, pemerintah harus membuat MOU dan kontrak kerja standar dengan pemerintah negara-negara tujuan.
Pemerintah juga harus mengijinkan TKI di HK dan negara-negara lain memproses kontraknya sendiri dan jangan paksa kami terus masuk agensi” tegas Umi.
Aksi kali ini rencananya akan dilanjutkan di Indonesia oleh Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Jakarta pada hari Selasa, 25 Januari 2011, mendatang.
“Yang bisa menentukan baik buruknya kondisi TKI di luar negeri hanyalah Pemerintah Indonesia. Selama pemerintah tidak merubah orientasi, dari memeras menjadi melayani, maka kondisi kami di luar negeri akan terus menerus terlantar. Tapi kami tidak akan menyerah sampai pemerintah Indonesia menghormati hak-hak kami dan sungguh-sungguh melindungi. Kami akan terus menggerakan para buruh migran di HK dan negara-negara tujuan lain sampai tuntutan kami tercapai” tutup Umi, selaku Ketua PILAR (Persatuan BMI Tolak Overcharging).
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)