JAKARTA (Arrahmah.com) – Tokoh liberal Ulil Abshar Abdhalla Selasa, 2 Maret 2010, Pukul 19.00 – 21.00 WIB membawakan pidato budaya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pidatonya yang diberi judul, “Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial Keagaman Kita Saat ini” mengemukakan tentang pentingnya menafsirkan kembali teks agama dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Dalam pidatonya, Ulil menyinggung kebangkitan agama dalam gelanggang sosial politik modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Harapan untuk memasukkan kembali agama ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum atau yang biasa disebut sekularisme, dinilainya tak bisa lagi dipaksakan, melainkan harus dihadapi dengan sikap positif sekaligus kritis.
“Positif dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin lagi ditolak. Kritis dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu,” ujarnya di Jakarta, Selasa (2/3).
Ia menyebutkan, ada dua arah kebangkitan agama. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk kembali kepada apa yang disebut pristin yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reintrepertasi dan konstektualisasi ajaran Islam.
Kesalahan fatal, sahut dia, adalah meninjau kebangkitan Islam semata-mata dari aspek kembali ke masa lampau. “Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Al-Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran,” tukasnya.
Atas aliran tersebut, ia menilai ada beberapa kelemahan dalam aliran salaf. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.
Kelemahan kedua adalah anggapan bahwa sebuah teks adalah terang benderang. Kelemahan ketiga adalah adanya kecenderungan ke arah absolutisme penafsiran.
Atas ketiga kelemahan tersebut, ia menilai salafisme bukanlah pilihan yang ideal. “Dalam pandangan saya, kebangkitan agama tidak semata-mata bisa diterjemahkan melalui bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang ingin saya sebut sebagai khalafisme,” tandasnya.
Khalaf artinya era kontemporer. Khalafisme, sahut dia, adalah cara pandang keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokoknya bukan kembali pada Al-Quran dan sunnah, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah.
Bukan Baru
Pidato Ulil ini mendapat tanggapan peneliti muda Islam, Nirwan Syafrin dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta. Menurut Nirwan, apa yang disampaikan Ulil itu bukan hal baru. Menurutnya, sebelum ia berpidato, sosiolog Amerika Serikat (AS), Peter L Berger sudah lama berargumen gagalnya sekularisme jika dipaksakan di dunia Islam.
Bagi Nirwan, pendapat Ulil itu menandakan seolah-olah pendiri JIL itu telah capek setelah melihat fakta dan kenyataan bahwa masyarakat sudah tak mau lagi dengan sekularisme dan bagaimana agama terus berkembang di dunia.
“Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat menolak sekularisme dan agama itu sudah menjadi fitrah manusia,“ ujarnya kepada hidayatullah.com.
Kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, Malaysia ini tak sependapat dengan Ulil yang mengatakan pemahaman salaf tidak cocok atau khalaf (kontemporer) jauh lebih ideal. Menurut Nirwan, jika salaf dalam pengertian yang suka mentakfirkan orang, ia akan banyak dimusuhi masyarakat. Namun jika salaf dalam pengertian kembali ke Al-Quran dan Sunnah, itu sesuai dan wajib bagi umat Islam.
Karena itu, menurutnya, yang baik adalah kombinasi keduanya, antara salaf dan khalaf. Ia mencontohkan tentang perintah shalat dan zakat. Perintah shalat itu tak akan mungkin hilang atau tidak terpakai hanya karena perkembangan zaman, sebagaimana alasan Ulil. Jika pengertiannya seperti itu, nasib agama Islam bisa akan seperti Yahudi. (hid/arrahmah.com)