Oleh Irfan S Awwas
(Arrahmah.com) – Kita tidak tahu pasti latar belakang persepsi negatif Ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang mempertentangkan antara Agama dan Pancasila, antara Islam dan ke Indonesiaan. Sebagaimana kita juga tidak tahu persis, apakah teks pidato yang dibaca dalam sambutannya pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-44 PDIP di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2017), hasil pikirannya sendiri ataukah konsep orang lain.
Siapapun konseptor pidatonya, statemen yang disampaikan Megawati terkait ideologi tertutup, jelas bersifat rasis dan pelecehan terhadap agama yang meyakini adanya kehidupan akhirat. Disengaja ataukah diperalat, Megawati telah menjadi korban propaganda komunis.
Berikut sebagian dari pernyataan yang mengundang reaksi sekaligus kecurigaan umat beragama di Indonesia, apakah Megawati seorang nasionalis ataukah komunis.
Pertama, tentang ideologi tertutup. “Apa yang terjadi di penghujung tahun 2016 dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila untuk mendeteksi segala likus tameng proteksi terhadap tendensi hidupnya idiologi tertutup yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-citanya yang hidup di dalam masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh masyarakat.
Mereka memaksakan kehendak sendiri. Tidak ada dialog apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter dan dijalankan dengan totaliter pula. Bagi mereka teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan.
Selain itu demokrasi dan keberagaman, dalam ideologi tertutup tidak ditolerir. Karena kepatuhan total masyarakat jadi tujuan. Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaan kita. Itulah yg muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini.
Terhadap pernyataan Megawati ini, kita ingin bertanya, jika yang dimaksudkan ideologi tertutup dan bersifat dogma adalah Islam. Lalu menjadikan Pancasila sebagai alat detektornya. Pancasila yang mana? Sebab di bawah rezim Jokowi, berkembang dua macam Pancasila, yaitu Pancasila 18 Agustus 1945, dan pancasila inkonstitusional 1 Juni yang membonceng bangkitnya ideologi komunis.
Pancasila yang dicetuskan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI yang ingin merumuskan dasar negara Republik Indonesia, pada tanggal 1 Juni 1945, teridiri dari lima prinsip yang ditawarkannya dalam sidang tersebut yang terdiri dari : 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. 5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bandingkan dengan rumusan sila-sila Pancasila yang ditetapkan oleh PPKI dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan sila-sila Pancasila tersebut adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akan tetapi, secara konstitusional, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersamaan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara. Pancasila yang diakui sebagai UUD adalah Pancasila 18 Agustus 1945, bukan 1 Juni.
Sementara PDIP telah mendeklarasikan kembali pada pancasila 1 Juni, dan mendapat dukungan dari PBNU pimpinan Said Aqil Siraj.
Presiden Jokowi bahkan secara sepihak, tanpa persetujuan DPR/MPR, menetapkan 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Selain itu, setiap tanggal tersebut diliburkan. Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres).
“Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah. Dengan bismillah, dengan Keppres tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila,” kata Jokowi dalam peringatan Pidato Bung Karno di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/6/2016).
Di masa orde lama, Presiden Soekarno saja menerima rumusan Pancasila keputusan PPKI, dan tidak menuntut berlakunya Pancasila 1 Juni. Apakah Jokowi lebih Pancasilais daripada Bung Karno? Apakah RI di bawah rezim Jokowi-PDIP, didesign untuk melanggar konstitusi dan mengembalikan situasi Nasakom? Jika hal ini yang terjadi, seharusnya TNI dan Polri segera bertindak untuk melengserkan Jokowi dan membubarkan PDIP.
Kedua, “para pemimpin yang menganut idiologi tertutup pun memposisikan diri mereka sebagai pembawa “Self Fulfilling Prophecies (Para Peramal Masa Depan)” mereka dengan fasih meramalkan yang akan terjadi di masa datang termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana (akhirat). Padahal notabena mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya,” ujar Megawati.
Adanya kehidupan setelah kehidupan yang fana, yaitu akhirat adalah ajaran Islam, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Apakah Megawati menganggap Rasulullah Saw sebagai peramal kehidupan akhirat. Mereka yang tidak mempercayai berita Al-Qur’an tentang kehidupan akhirat, tidak percaya adanya surga dan nerara, maka dia telah kafir.
Firman Allah: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mempercayai bukti-bukti kekuasaan Tuhan mereka, dan tidak meyakini hari pertemuan mereka dengan Tuhan mereka. Oleh karena itu, sia-sialah semua amal mereka, dan pada hari kiamat kelak Kami tidak akan menyelamatkan mereka dari adzab. Neraka Jahanamlah balasan bagi orang-orang kafir karena kekafiran mereka. Mereka telah menjadikan Kitab-kitab suci-Ku dan para rasul-Ku sebagai sasaran ejekan.” (Qs. Al-Kahfi [18]:105-106)
Sejarah Indonesia mencatat, pendiri Boedi Oetomo, Dr. Soetomo pernah menghina ibadah haji. Dalam tulisan-tulisannya di surat kabar, Soetomo mempertanyakan manfaat naik haji, dan menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji ke Mekah. Menurutnya, naik haji hanya “menyembah berhala Arab”, lalu dia menganjurkan orang Islam untuk pergi ke Demak saja daripada ke Mekah.
Maka gegerlah umat Islam. Menyaksikan reaksi dahsyat umat Islam, Soetomo ketakutan lalu berkilah bahwa ia dan ayahnya juga seorang muslim dan sering menyumbang kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Pernyataan itu disindir oleh Tokoh Persis, M. Natsir, dalam Majalah Pembela Islam disebut sebagai ‘syahadat model baru’.
Ketiga, dalam sambutannya pada peringatan HUT PDIP ke-44 Megawati juga mengatakan, dengan mengutip ucapan Bung Karno, ‘Kalau kamu mau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau kamu mau menjadi orang Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau kamu mau jadi orang Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Ucapan ini jelas rasis dan sikap anti agama. Megawati memang tidak mengerti agama Islam, tapi akan lebih baik baginya bila dia belajar dan memahami Islam daripada mengingkarinya. Islam sama sekali tidak identik dengan Arabisme.
Buktinya, sebelum Islam datang, miras, judi, mengundi nasib, riba, telah menjadi budaya Arab. Kemudian Islam mengharamkannya. Terdapat banyak kebiasaan dan adat istiadat Arab jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Maka jika menggunakan logika sesat Megawati, menanggalkan Islam jika ingin menjadi orang Indonesia. Sama saja dengan mengatakan: Jika ingin menganut komunisme jangan menjadi orang Indonesia. Karena Indonesia berdasarkan Ketuhanan YME, yang bertentangan dengan atheisme.
Maka aneh, ketika FPI kerjasama latihan bela negara dengan TNI banyak orang ribut. Tapi PDIP kerjasama dengan pemerintah komunis Cina, diam saja.
Jika ingin menjadi orang Indonesia, jangan menjadi orang Belanda. Tapi mengapa, setelah 72 tahun Indonesia merdeka, hukum yang berlaku masih mengadopsi hukum kolonial Belanda?
(*/arrahmah.com)