(Arrahmah.com) – Langit menggelap, mentari tenggelam. Saat itu, ifthar Ramadhan telah memasuki hari pertama. Semburat senja yang menusuk jiwa, menarik hati berbahagia melepas dahaga, menikmati basahnya nadi sesuai sunnah disambut adzan Maghrib menggema, beserta do’a.
Segera aku menggayut sandal, lepas berwudhu, betapa sejuknya. Semoga thaharah menjadi pensuci jiwa. Ramadhan, ia begitu berbeda. Ada yang menarik diri ini bergerak ke masjid lebih semangat dari biasanya. Rasanya kakiku tak sesemangat ini menyambut seruan Allah subhanahu wata’ala.
Anak-anak sumringah berderet di shaf-shaf belakang, dekat dengan gundukan ta’jil. Nampak kebahagian mereka telah membatal shaum bersama di masjid. Semangatnya masih ada, terlihat dari sarung-sarungnya yang basah karena wudhu.
Shalat Maghrib berjama’ah di masjid kali ini sungguh istimewa, sebab ini Ramadhan pertama. Beribu do’a dipanjatkan sekuat-kuatnya kepada Allah di tasyahud akhir sambil menghiba. Semoga Allah berkenan mengabulkannya. Berburu barokah “27 derajat” tentu menguntungkan dan berbuah pahala gumamku sambil menyusuri jalan menuju kembali ke rumah Eyang.
Tilawah menggetar udara bagai kawanan lebah terdengar di rumah sambil menunggu Isya, namun tetiba berhenti saat televisi “menyalak”, menayang video rekaman pertandingan Brasil vs Chile di Stadion Mineirao, Kota Belo Horizonte. Ada demam bola disana. Kami yang tak punya kotak itu di rumah sangat terkesima. Lapangan hijau yang terhampar menyedot penantian kami, kiranya siapa yang menjadi pemenang. Si kulit bundar kian kemari dipergilirkan, direbut dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri, demikian terus bergantian.
Masyaa Allah, berat sangat mata ini beralih ketertarikan. Ini bulan suci pekikku di jiwa. Ayo berhenti. Bersihkan matamu. Ayo telingaku, itu suara adzan. Seruan shalat Isya telah dikumandangkan.
Langkah berubah berat, seolah dua kilogram kurma menggelayut di alas kaki. Sayang kalau ini aku lewatkan. Ini pilihan yang menggalaukan. Lanjut menonton sepak bola? Atau tarawih di masjid?
Begitu berat godaan Ramadhan tahun ini. Tak terbayang melewatkan qiyamul lail di sepertiga malam karena kalah bersaing dengan siaran langsung Piala Dunia. Itu pasti lebih sulit lagi.
Wahai jiwaku, janganlah engkau duduk asyik menjadi penonton. Kita ini pemain utama, bukan cadangan! Ada pertandingan lebih spektakuler menghampar indah di hadapan kita. Satu bulan penuh bahkan sudah Allah jadwalkan. Bismillah, kaki aku langkahkan. Kujemput tarawih dengan isyarat keberatan.
Kecuali maut Allah taqdirkan, maka jangan mau kalah oleh si kulit bundar. Buang sebab kantuk di kala Shubuh akibat menonton semalaman. Buat shaummu lebih berkelas nan elegan. Taklukkan bola-bola itu. Shaummu terlalu berharga untuk dikecoh lawan.
Pesta kita terlalu fitri untuk disandingkan dengan pesta bola tingat keduniaan. Pesta kita berpiala dunia akhirat nan menentramkan. Mari, mari kita raih kemenangan. Hindari diving lawan dari beragam arah yang menghangus amalan Ramadhan. Waspada pula akan blunder karena lalai.
Bangkitlah jiwaku. Raihlah piala itu. Piala dengan aroma kesturi, bercahaya bagai lampu berpendar bening bak minyak zaitun murni disoroti mentari. Hentikan sorot matamu dari kotak itu. Ambillah kesempatan emas ini. Biarkan kartu merah jatuh kepada pelali saja. Lanjutkan, lanjutkan pertandinganmu.
Kita jelang laga final di mula Syawwal yang indah. Semoga takbir masih bisa dilantun mengiring kita. Haraplah juga piala ada di tangan kita. Sekali lagi, piala dunia akhirat Ramadhan 1435 Hijriyah. Insyaa Allah.
(adibahasan/arrahmah.com)