Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Islam Ideologis
Teknologi ada untuk dimanfaatkan demi kehidupan manusia menjadi lebih baik. Tetapi teknologi akan berujung petaka ketika dikuasai dan dimanfaatkan tanpa dibersamai dengan pijakan yang benar. Pijakan terbaik tentu hanya datang dari aturan Sang Pencipta. Karena jika pijakan diserahkan pada manusia sebagai makhluk, berpotensi mengalami perbedaan, kesalahan, dan kerusakan.
Sebagaimana dilansir dari tirto.id (20/1/2024) bahwa di era modern, kejahatan sudah berbasis teknologi. Hal ini diungkap oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol. Susatyo Purnomo Condro. Ia menyebut betapa kejahatan dewasa ini telah bergeser dari serangan psikologis ke teknologi.
Susatyo mengatakan bahwa cyber crime yang merebak menjelang pemilu kerap melakukan aksi kejahatan dengan proses hacking. Modusnya dengan menyebar informasi hoax memakai akun anonim, semi-anonim, hingga akun nyata yang melebur ke grup-grup aplikasi perpesanan.
Selain itu, cyber crime juga menjamur dengan modus love scaming jejaring internasional operasional di Indonesia. Dikutip dari republika.co.id (20/1/2024), Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandani Rahardjo Puro menyampaikan telah menangkap 21 pelaku kejahatan siber bermodus ‘love scaming’. 19 warga negara Indonesia, 16 di antaranya laki-laki dan 3 perempuan. Sisanya 2 laki-laki berkewarganegaraan asing.
Kepolisian melaporkan 1 orang korban asal Indonesia, dan 367 lainnya warga asing. Modus yang dilakukan berupa penipuan via aplikasi kencan Tinder, Bumble, OkCupid, dan Tantan menggunakan karakter palsu perempuan atau laki-laki menarik. Pelaku berpura-pura ingin mencari teman kencan, lalu mengajak korban untuk berkerja sama membuka bisnis toko daring. Mereka merayu korbannya melakukan deposit awal Rp20 juta untuk dibuatkan akun toko online. Dari kejahatan tersebut, polisi menyebut pelaku bisa meraup Rp40-Rp50 miliar per bulannya.
Petaka Teknologi
Teknologi alih-alih menjadi keberkahan untuk kehidupan manusia justru petaka yang dituai. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dianalisis dari persoalan ini.
Pertama, teknologi telah dijadikan sarana meluaskan jangkauan kejahatan. Dengan iman lemah, siapa tak tergiur cuan banyak yang bisa diraih melalui jalan instan, menipu dan melakukan aktivitas peretasan.
Kedua, euforia pesta demokrasi menjadi celah tersendiri bagi para pelaku siber crime berburu cuan melalui jalan hacking. Mereka tak segan memanfaatkan teknologi dan medsos menjadi lahan subur melancarkan aksinya. Halal haram, dosa pahala diterabas tak jadi pertimbangan.
Ketiga, kejahatan berbasis teknologi kian subur di tengah kondisi hidup masyarakat yang sempit dan serba sulit. Sempit dalam meraih kebutuhan hidup, dan sulit mencari pekerjaan. Maka lahan bisnis beraroma kriminal pun mereka ambil sebagai satu jalan “mengais rezeki”.
Keempat, merebaknya gaya hidup hedonistik dan liberal. Nilai-nilai Barat yang telah menginternalisasi lifestyle masyarakat dunia sukses menjadikan manusia saat ini hanya memandang peraihan materi dan kesenangan hidup sebagai tujuan. Aplikasi-aplikasi kencan yang jauh dari adat ketimuran terlebih pakem syariat Islam, juga kebebasan dalam berperilaku dan berekspresi menjadi katalis bermunculannya beragam maksiat, kebohongan, penipuan, kecurangan, dan seterusnya.
Kelima, dari sisi negara. Dengan merebaknya kasus kejahatan siber menandakan abainya negara dalam membina keimanan dan kepribadian rakyat. Alih-alih keimanan dan ketakwaan yang dipupuk, yang ada rakyat disuguhi gempuran peradaban Barat yang rusak semisal budaya permisivisme, hedonisme, liberalisme, dan seterusnya.
Negara juga dalam hal ini abai terhadap kesejahteraan rakyat. Kemiskinan terjadi secara sistemik di tengah masyarakat tanpa negara mampu untuk mengubahnya menjadi kondisi sejahtera.
Di sisi lain, sistem sanksi yang diberlakukan masih demikian lemahnya. Eskalasi kejahatan berbasis teknologi yang terus meluas dan meningkat setiap waktunya mengonfirmasi akan hal ini. Sepanjang 2022 saja, Pusiknas.polri.go.id mengabarkan bahwa sebanyak 8.831 kriminal siber telah ditindak kepolisian. Angka tersebut adalah 14 kali lipat melebihi tahun sebelumnya.
Keniscayaan di Alam Kapitalis Sekuler
Semua hal di atas adalah satu keniscayaan di alam kapitalistik sekuler. Sistem kapitalisme menempatkan peraihan materi dan kepuasan ragawi sebagai tujuan hidup yang terus dikejar.
Terlebih dengan asas sekuler yang dianut telah membuang tata syariat dalam menghukumi: baik buruk, benar salah, hingga terpuji tercela. Maka dosa pahala tak jadi pertimbangan dalam berbuat, hanya materi dan kesenangan yang terus diburu. Hal ini tak berbeda, baik pada skala individu, masyarakat, maupun negara.
Teknologi dalam Timbangan Syariat
Islam sebagai agama yang sempurna mengatur bukan sebatas ibadah mahdhah bagi pemeluknya, melainkan juga ibadah ghair mahdhah. Jenis kedua ini berisikan tata aturan yang mengatur relasi manusia dengan dirinya sendiri (hablum minannafsihi) dan dengan sesamanya (hablum minannas).
Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk dalam membentuk kepribadian Islam yang kuat. Dan untuk hablum minannafsihi dan hablum minannas ini mencakup urusan: pengaturan berpakaian, makanan minuman, adab dan akhlak, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai pertahanan keamanan baik level individu, masyarakat hingga bernegara.
Penjabarannya untuk urusan teknologi bahwa negara menjaga agar penggunaan teknologi tidak salah arah dan membahayakan rakyat. Sementara rakyat wajib berpegang pada aturan syariat dalam berteknologi.
Teknologi dipandang syariat sebagai wasilah (sarana) berupa madaniah (bentuk-bentuk fisik) yang digunakan dalam memudahkan kehidupan masyarakat. Syariat mempersilakan umat untuk menciptakan dan memanfaatkan teknologi selama tidak bertentangan dengan pakem Islam.
Negara juga diamanahkan oleh syariat untuk membangun sistem perlindungan yang kuat baik untuk keamanan data maupun keselamatan rakyat. Dalam hal ini hacking yang berujung penipuan, penyebaran hoax, dan kriminalitas lain berbasis teknologi menjadi ranah negara dalam menyetopnya.
Ahli IT, kepolisian siber, dan sarana prasarana berteknologi canggih akan disediakan oleh negara untuk memastikannya. Hal ini dikarenakan keamanan adalah satu di antara beragam urusan rakyat yang wajib dipenuhi oleh penguasa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. berkenaan dengan tugas penguasa (negara).
“Imam (Khalifah) adalah raa’in. Ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Raa’in bermakna mengurus, tak terkecuali urusan menjaga keamanan dan kenyamanan rakyat dari peretasan dan aksi kriminal.
Individu-individu masyarakat semua mendapat pembinaan terstruktur dari negara baik dalam bentuk formal, informal, dan nonformal. Pembinaan iman dan takwa, sekaligus menyetop semua arus pemikiran, budaya, gaya hidup, dan informasi yang berseberangan dengan syariat.
Dengan semua upaya preventif berlapis di atas niscaya teknologi hanya akan berkembang dan digunakan untuk urusan kebaikan saja. Namun ketika pun masih ada kriminalitas yang muncul, maka negara memiliki sistem sanksi yang tegas berdasar syariat. Dari bentangan sejarah, sanksi yang berdasarkan syariat terbukti bersifat jawazir (berefek jera bagi pelaku maupun pribadi lainnya) sekaligus jawabir (penebus dosa atas maksiat kejahatannya).
Upaya-upaya negara di atas disokong oleh pembiayaan berbasis syariat. Dimana harta untuk memenuhi semua urusan rakyat di atas tersedia secara melimpah karena negara memberlakukan sistem ekonomi Islam. Harta kekayaan alam yang melimpah terkategori milik umum. Ia dikelola negara untuk dikembalikan hasilnya untuk mengurus semua urusan rakyat, termasuk membangun sistem teknologi tangguh beserta pendukungnya.
Dengan syariat, teknologi mustahil berbuah petaka. Sebaliknya ia akan menghasilkan maslahat yang luar biasa bagi setiap insan. Wallahualam bissawab.