(Arrahmah.com) – Dalam pandangan Islam, kewajiban seorang pemimpin adalah memastikan bahwa syariat Allah ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, syarat utama menjadi pemimpin negara adalah agamanya, akhlak serta kecakapannya menyelenggarakan kekuasaan negara, bukan berdasarkan etnis atau kapasitas intelektualnya. Itu pula sebabnya, Islam mengharamkan kaum Muslimin memilih orang kafir sebagai kepala negara. Negara merupakan sarana untuk merealisasikan aturan Allah yang terdapat dalam Qur’an dan sunah Nabi Shallahu alaihi wa sallam, dalam segala aspek kehidupan.
Namun tujuan inilah yang selalu ditentang orang kafir, dulu, sekarang, dan yang akan datang. Mereka tidak menginginkan negara menjadi fasilitas menegakan hukum Allah. Sebaliknya, mereka menggunakan negara sebagai alat melaksanakan program kekafiran, menentang ajaran agama yang dibawa oleh para utusan Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai Muhammad, berikanlah perumpamaan kepada penduduk Makkah, bahwa dahulu ada suatu negeri yang kedatangan utusan Allah. Penduduk negeri itu mendustakan dua orang utusan Kami. Kedua utusan Kami itu Kami kuatkan dengan utusan yang ketiga. Mereka berkata kepada penduduk negeri itu: “Kami bertiga adalah utusan Allah kepada kalian.” Penduduk negeri itu berkata: “Kalian hanyalah manusia biasa seperti kami. Tuhan Yang Mahabelas kasih tidak mengutus siapa pun kepada kami. Kalian ini hanya berdusta.” ( Ketiga utusan itu berkata: “Tuhan Kami mengetahui bahwa kami adalah utusan-utusan-Nya yang dikirimkan kepada kalian. Kami hanyalah berkewajiban menyampaikan agama Allah dengan jelas.” (QS Yaasiin (36) : 13-17).
Begitulah pola penghancuran Islam yang dilakukan orang kafir sepanjang masa. Mereka mempercayai adanya Allah, Tuhan YME, tapi menolak ajaran Allah yang disampaikan para nabi dan utusan-Nya. Mereka merendahkan posisi para penyeru agama Allah, menuduh mereka pendusta, dan secara apriori menolak segala kesaksian serta argumentasi mereka. Di zaman sekarang, sikap jelek seperti inilah yang diwarisi oleh kaum musyrik, aliran kepercayaan, kebatinan, klenik, kaum liberal, nasionalis dan yang sepaham dengan mereka. Para penentang agama Allah ini percaya adanya Allah, tapi tidak mau menerima syariat Allah dengan cara menentang, mendustakan para penyeru agama Allah.
Apakah argumentasi para pewaris kekafiran ini? Pada ayat berikutnya, diterangkan alasan penentangan ini, yaitu: “Penduduk negeri itu berkata: “Kami beranggapan bahwa kalian ini hanya pembawa malapetaka kepada kami. Jika kalian tidak mau berhenti menyeru kami dengan agama yang kalian bawa itu, niscaya kami akan merajam kalian. Kami akan menyiksa kalian dengan siksa yang pedih.” Para utusan itu berkata: “Malapetaka yang menimpa kalian itu berasal dari diri kalian sendiri. Apakah jika kami memberi peringatan kepada kalian supaya meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, berarti kami membuat celaka kalian? Bahkan kalian sendirilah kaum yang suka berbuat dosa berlebihan.” (QS Yaasiin (36) : 18-19).
Orang-orang kafir menganggap, seperti juga anggapan kaum nasionalis sekuler, liberal, aliran kepercayaan, para penyembah berhala, bahwa ajaran agama itu pembawa malapetaka, dan para penyeru agama hanya pembawa sial. Agama, dalam pandangan para pengingkar ini, melahirkan suasana intoleran, diskriminatif, menentang HAM. Ketidak percayaan mereka terhadap para nabi utusan Allah, diikuti dengan tindakan penghinaan, tuduhan negatif, intimidasi dan ancaman pembunuhan. Orang kafir gemar menyebar opini dan fitnah, “gara-gara kalian masyarakat kita ditimpa perpecahan. Kalian melarang kebiasaan yang kami warisi dari nenek moyang kami. Kalian mengharamkan ini dan itu, sehingga terjadi permusuhan dikalangan masyarakat. Sebelum kalian datang bawa masalah, kami dulu toleran dengan sesama anggota masyarakat, bebas melakukan apapun yang kami suka. Jika ada yang berbisnis narkoba, prostitusi, judi, miras, kami bebas melakukannya. Masyarakat bebas menyembah berhala, matahari, patung. Kami berbohong, menipu, makan riba, bangkai anjing, tikus dan lainnya tidak ada yang melarang, tidak ada ajaran yang ini halal dan yang itu haram”.
Orang kafir, sekuker, liberal, tidak rela jika hukum Allah dilaksanakan. “Jika syariat Islam dilaksanakan, bagaimana nasib agama lain. Bagaimana nasib peternak babi, bank ribawi, pabrik rokok, pabrik bir, lokalisasi pelacuran, penyabung ayam, mucikari dllnya, yang kesemua itu diharamkan Islam. Bukankah bila berlaku syariat Islam akan terjadi malapetaka, berapa banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, jadi pengangguran karena perusahaan dan bisnis mereka bangkerut,” kilah mereka.
Begitulah, para penentang agama Allah, memosisikan agama dan penyeru kebaikan sebagai penghambat kemajuan, intoleran, merasa paling benar, pemecah belah, pemicu radikalisme, dan berbagai tuduhan dan stigma negatif lainnya. Indonesia, termasuk salah satu negara, yang berupaya menghancurkan Islam menggunakan kekuasaan negara. Dedengkot nasionalis sekuler, mulai dari Sukarno, Suharto, Habibi, Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang Jokowi, memosisikan ajaran agama Allah persis seperti anggapan orang kafir, musyrik dan penyembah berhala. Mereka percaya pada Tuhan, tapi tidak percaya pada sytariat-Nya. Mereka lebih percaya pada Sabdo Palon dengan darmogandulnya, Mao Tsung dengan komunismenya, George Washington dengan demokrasinya, daripada Alqur’an dan Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak percaya Alqur’an membawa kebaikan, kedamaian, mengajak hidup bersih, membangun masyarakat sejahtera. Bahkan segala kejahatan, musibah, kekerasan yang terjadi di masyarakat, penyebabnya dituduhkan pada agama.
Pada 1965, dalam rapat umum PKI, pemuda rakyat mendemonstrasikan pesta makan daging tikus, untuk melecehkan syariat Islam, sekaligus propaganda anti agama. Peristiwa ini menggemparkan sehingga dipersoalkan dalam sidang DPA yang dipimpin Sukarno. Menag merangkap anggota DPA, Saifuddin Zuhri, duduk di sebelah kanan tokoh PKI, DN Aidit. Dengan sinis Aidit bertanta pada Sukarno:
“Saudara ketua, tolong tanyakan pada menteri agama yang duduk di sebelah saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?” Spontan dan dengan tangkas Saifuddin Zuhri menjawab, “Saudara Ketua, tolong beritahukan pada si penanya di sebelah kiriku ini, bahwa aku sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng. Karenya, jangan dibelokkan rakyat untuk makan daging tikus”.
Aidit ingin mengejek, bahwa beragama hanya akan mempersulit kehidupan masyarakat dengan berbagai perintah dan larangannya. Tapi, sikap dan alasannya menjadi bumerang bagi dirinya akibat kebodohan dan kebenciannya.
Walaupun kejahatan dan antipati kaum kafir terhadap agama dan para nabi luar biasa, namun para penyeru agama Allah tidak putus asa, tidak dendam, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Pada ayat berikutnya, dikisahkan seorang utusan lagi, yang oleh para mufassir disebut murid Nabi Isa As bernama Habib An Najjar, datang mengingatkan masyarakat agar tidak apriori terhadap ajaran yang diserukan para utusan Allah itu.
“Kemudian datanglah seorang laki-laki berlari dari pinggir kota. Laki-laki itu berkata: “Wahai kaumku, ikutilah orang-orang yang menjadi utusan Allah ini. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah dari kalian. Mereka ini orang yang diberi petunjuk oleh Allah.” (QS Yaasiin (36) : 20-21).
Aneh, orang-orang sekuler yang memegang kekuasaan negara membebani rakyat dengan pajak, berbagai pungutan liar, mencekik rakyat dengan riba/rentenir, membiarkan mayarakat berkubang dalam kemungkaran, menjerumuskan generasi muda pada dekadensi moral, masih dipercaya akan membawa kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Tapi tidak percaya pada Alqur’an dan Sunah Rasulullah.
Persoalannya kemudian, siapa ulama, tokoh organisasi dan partai Islam yang berani bertindak seperti utusan Habib An Najjar itu. Untuk meyakinkan pemerintah dan masyarakat, bahwa syariat Islam bukan seperti yang dibayangkan orang kafir, nasionalis sekuler dan liberal itu. Dan lebih penting lagi, buktikan bahwa para penyeru kebaikan dan pejuang syariat Islam, bukan penjual agama, yang mengorbankan keyakinannya untuk cari jabatan dan memburu duit haram. Yakinkan masyarakat, bahwa:
“Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang sangat besar barakahnya yang Kami turunkan kepada manusia. Wahai manusia, ikutilah Al-Qur’an ini dan taatilah supaya kalian mendapat rahmat.” (QS Al-An’aam (6) : 155)
“Al-Qur’an ini Kami turunkan kepadamu bukanlah untuk menjadikan kamu sengsara”. (QS Thaahaa (20) : 2)
Serial Kajian Malam Jum’at, 8 April 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta.
Petaka menolak Syariat Allah
Al Ustadz M Thalib, Amir Majelis Mujahidin
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)