Sebelum serangan AS ke Iraq pada bulan Maret 2003, para pejabat negara ini menyebutkan berbagai macam alasan untuk menyerang. Alasan-lasan seperti kebradaan senjata-senjata pemusnah massal di Iraq, keharusan penggulingan Saddam yag memimpin secara diktator dan mendukung terorisme. Kini setelah lewat hampir empat tahun penggulingan Saddam dan penjajahan Iraq , terbukti bahwa di Iraq tidak ada senjata kimia atau pembunuh massal apa pun, dan rezim Iraq sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa teror 11 September.
Dengan demikian tak diragukan bahwa gedung putih mengincar tujuan-tujuan lain dalam serangannya ke Iraq. Tujuan-tujuan yang sebelum serangan ini pun sudah diungkapkan oleh sejumlah lembaga independen yang mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Menurut mereka, dengan menjajah Iraq, AS berniat mendirikan pangkalan di Timur Tengah, menguasai sumber-sumber minyak dan kekayaan bawah tanah lain di negara ini, serta memanfaatkan berbagai keuntungan yang datang dari perang ini.
Memperhatikan kinerja AS selama empat tahun di Iraq menunjukkan bahwa tujuan terpenting serangan ke negara ini, ialah memperoleh berbagai keuntungan yang muncul dari agresi militer ini. Masalah ini lebih banyak muncul dari watak imperialis dan ketamakan negara-negara Barat yang mengikuti idiologi liberalisme.
Dalam idiologi ini, mencari keuntungan sebesar mungkin dan kesenangan hidup sebanyak mungkin, merupakan pokok utama idiologi ini. Jika pelaku idiologi semacam ini adalah sebuah negara, maka akibatnya ialah munculnya fenomena penjajahan, imperialisme, dan perampasan kekayaan negara-negara lain.
Oleh karena itu, dalam waktu beberapa abad lalu, berbagai sumber alam negara-negara dunia ketiga, telah dirampok dan dirampas oleh paa imperialis Eropa dan AS. Kini pun, sebagai pemimpin negara-negara liberalis Barat, AS tengah mempraktekkan ajaran idilogi ini dengan merampas kekayaan nasional rakyat Iraq.
Sejak sebelum penjajahan Iraq pada tahun 2003, berbagai perusahaan AS telah bersiap diri untuk hadir di Iraq untuk mengeruk kekayaan dan dan fasilitas yang ada di negara ini. Akan tetapi mereka merahasiakan aksi perampokan ini sedapat mungkin, jangan sampai menimbulkan keraguan dan penentangan.
Berkenaan dengan aktifitas luas berbagai perusahaan AS di Iraq, majalah Global Politician, cetakan AS, menulis,”Sektor swasta AS memainkan peran aktif yang sangat luas di Iraq, mulai dari penyediaan senjata bagi militer AS, penyediaan tenaga sipil, perbaikan jembatan, bendungan, hingga penyediaan alat-alat tulis dan perancangan program-program pendidikan bagi putra-putri Iraq. Dari semua aktifitas tersebut, mereka memperoleh bagian dari hasil-hasil yang dicapai oleh pasukan militer AS di Iraq.”
Dalam perang yang digelar oleh AS, biasanya perusahaan-perusahaan besar produsen senjata, adalah peneriman keuntungan terbesar. Perusahaan Lockheed Martin, produsen terbesar senjata-senjata berat di AS dan di seluruh dunia, dimana 80 persen transaksinya dilakukan dengan Departemen Pertahanan negara ini, sukses menjual berbagai macam senjata kepada Pentagon. Satu tahun sebelum serangan AS ke Iraq, Lockheed sudah meneken kontrak dengan Pentagon dengan nilai sekitar 17 miliar USD, dimana perusahaan ini akan mempersiapkan senjata-senjata yang diperlukan oleh militer AS untuk menyerang Iraq.
Dua perusahaan besar lainnya, yaitu Boeing dan Rayton, juga berusaha untuk tidak tertinggal dari pesta pora ini, sehingga kontrak-kontrak perusahaan boeing dengan Pentagon, di tahun 2005, mencapai lebih dari 16 miliar USD; sedangkan perusahaan Rayton berhasil menjual lebih banyak rudal-rudal Tomahawk dan Patriot kepada militer AS. Tentu saja, pada akhirnya, rakyat Iraq jugalah yang menanggung semua biaya pembuatan dan pembelian senjata-senjata tersebut, yang kemudian digunakan untuk menghancur leburkan tanah air dan membunuhi sanak saudara mereka.
Termasuk Non-militer
Perusahaan-perusahaan nonmiliter AS pun ikut hadir di meja yang menyajikan pesta pora merenggut kekayaan rakyat Iraq ini, dan ikut pula menikmati bagian yang tidak kecil. Meskipun saat ini Iraq terus menerus dirundung kerusuhan, dan kondisi seperti ini biasanya tidak disukai oleh para investor, namun berkat perlindungan yang diberikan oleh pasukan militer AS, berbagai perusahaan AS ini tetap saja meraup berbagai keuntungan di Iraq. Sebagai contoh, penghasilan perusahaan “Iraqta”, yang merupakan pemasar telepon genggam terbesar di Iraq, melompat dari 333 juta USD di tahun 2005, menjadi 530 juta USD di tahun 2006.
Sementara itu alokasi dana oleh pemerintah AS untuk rekonstruksi Iraq, juga muncul sebagai topik menarik perhatian dan kontrofersif. Karena dalam perang yang kejam dan liar ini, selain membunuhi warga Iraq, pasukan militer AS juga menghancurkan berbagai infrastruktur dan sarana-sarana umum negara ini, dan kini mengklain bahwa untuk membangun kembali semua yang telah mereka hancurkan ini, pemerintah AS telah mengalokasikan sekian miliar dolar. Padahal semua uang itu, dengan berbagai cara dan akal licik mereka, masuk ke kantong para pemilik perusahaan-perusahaan AS.
Belum lama ini telah diumumkan bahwa di masa Paul Bremer, yang sempat menjabat sebagai kepala pemerintahan AS di Iraq, 9 hingga 10 miliar USD dari bujet 56 miliar USD rekonstruksi Iraq, telah lenyap tak berbekas. Skandal yang sedemikian besar, mengisahkan adanya peran perusahaan-perusahaan besar AS yang bermain sulap dengan biaya yang sedianya dianggarkan untuk membangun kembali Iraq itu. Selain itu, ketika perusahaan-perusahaan ini memiliki kemampuan bermain sulap seperti itu terhadap bujet yang katanya dikeluarkan oleh negara mereka sendiri, maka bagaimana pula permainan sulap mereka terhadap harta kekayaan milik rakyat Iraq.
Pada umumnya kontrak-kontrak yang dilakukan oleh berbagai perusahaan AS di Iraq, bersifat monopoli dan memberikan keuntungan besar sepihak. Berlawanan dengan kode etik internasional, kontrak-kontrak ini dibuat tanpa prses tender, dan hanya perusahaan AS dan sejumlah perusahaan Inggris yang mendapat peluang. Dalam kontrak-kontrak ini, asas kerahasiaan akan terjaga, dan sebagian besar kontrak tersebut behkan telah diteken sebelum agresi militer ke Iraq.
Halliburton, perusahaan yang mendapat dukungan luas dari Dick Cheney, Wakil Presiden AS, adalah perusahaan yang paling aktif di bidang rekonstruksi Iraq. Perusahaan swasta ini juga menjual dan menyediakan pelayanan-pelayanan di bidang militer. Bahkan cabang-cabang kecil perusahaan ini, ikut menekan sejumlah kontrak serba menguntungkan di Iraq. Di bidang penyediaan layanan-layanan pendukung militer, termasuk pembuatan penjara, perusahaan Halliburton, meneken kontrak senilai 443 juta USD dengan Departemen Pertahanan AS, untuk menampung warga Iraq lebh banyak dalam tahanan pasukan militer AS.
Bechtel, satu lagi perusahaan AS yang berkat hubungan dekatnya dengan sejumlah pejabat gedung putih, berhasil meneken beberapa kontrak di Iraq, dan berhasil menggaet keuntungan bersih lebih dari 700 juta USD. Cukuplah kita ketahui bahwa pejabat kantor pengawas kontrak-kontrak rekonstruksi Iraq, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan perusahaan Bechtel. Kontrak senilai 600 juta USD untuk rekonstruksi infrastruktur Iraq, seperti bandara-bandara, jalan-jalan raya dan sistim-sistim saluran air dan listrik, ditangani secara khusus oleh perusahaan Bechtel.
Kini sudah empat tahun lewat, tapi tak satu pun dari sekian banyak kontrak itu yang sudah rampung dikerjakan. Perusahaan Dincrup, yang memiliki rapor merah dalam program rekonstruksi Bosnia, juga dilibatkan dalam rekonstruksi Iraq. Personil perusahaan ini telah melakukan korupsi dan penyimpangan seks di Bosnia, tapi tak satu pun dari mereka yang dituntut karena kejahatan mereka itu. Kini mereka muncul lagi untuk membenahi kerusakan di Iraq. Para pejabat Iraq telah melimpahkan sebuah proyek yang sangat sensitif kepada perusahaan bersejarah hitam ini, yaitu merekonstruksi pasukan polisi Iraq. Untuk melaksanakan tugas ini, mereka melibatkan pula para perwira dan pejabat militer rezim Ba’ats Iraq, sehingga menimbulkan protes luas di tengah rakyat dan pejabat Iraq saat ini.
Berbagai perusahaan lain AS juga meneken dan menangani proyek-proyek lain di Iraq, yang sebagiannya memiliki posiis sangat sensitif. Program-program untuk membenahi urusan pendidikan, perbaikan di Departemen Kesehatan, juga pengelolaan bandara-bandara, kontrol terhadap seluruh program di bidang perminyakan dan pengelolaan kekayaan alam Iraq, semuanya berada di tangan perusahaan-perusahaan AS, bekerja sama dengan pasukan militer negara ini. Dengan demikian, penjajahan Iraq memberikan keuntungan kepada perusahaan-perusahaan militer dan nonmiliter AS. Mungkin untuk itulah AS tidak bersedia mengakhiri penjajahannya atas Iraq.
Pampasan Perang
Tahun 2003, beberapa saat pasca serangan ke Iraq. Seorang pakar perminyakan Bachrawi Sanusi pernah mengatakan, selain tujuan politik, serangan Bush ke Negeri 1001 mimpi itu juga dimungkinkan karena dendam dan kepentingan duit.
Ia menilai adanya dendam Bush terhadap Iraq, terutama sejak menjelang terjadi perang Oktober 1973 di Timur Tengah, saat Iraq berhasil melakukan nasionalisasi Iraq Petroleum Co (IPC) senilai 350 juta dolar AS. IPC itu terdiri atas perusahaan minyak asing seperti British Petroleum Co Ltd, Cie Francaise des Petroles (CFP), Shell Petroleum Co Ltd, Near East Development Corp ( 50-50 Exxon Copr Mobil Oil Corp.)
Terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah juga sebenarnya karena keberhasilan pihak AS yang membujuk Israel untuk menyerang Mesir dan Suria, serta pihak AS mampu memberi angin adu-domba kepada negara-negara Arab pengekspor minyak, khususnya Arab Saudi, agar melakukan embargo. Akibatnya, harga minyak dunia yang hingga bulan September 1973 hanya di bawah 2,50 dolar AS per barel terus melonjak menjadi belasan bahkan di atas 30 dolar AS per barel.
Dengan kenaikan harga ini, berarti ladang-ladang Migas, khususnya yang sudah ditemukan di Laut Utara/Laut Dalam, menjadi sangat ekonomis.
Karena itu, masih menurut catatan pengajar Universitas Trisakti Jakarta itu, salah satu hasil dari perang Oktober 1973 di Timur Tengah, terutama bagi Inggris dan Norwegia, adalah perubahan dari yang semula negara pengimpor minyak berbalik menjadi negara-negara pengekspor minyak hingga sekarang dan bahkan masa mendatang.
Walaupun perang Oktober 1973 juga berhasil membangkitkan berbagai energi alternatif, termasuk energi nuklir dunia, bangkitnya berbagai mesin-mesin yang serba hemat BBM, meningkatkan moneter/ekonomi negara-negara maju, dan lain-lain, namun bagi AS masih ada kerikil tajamnya. Kerikilnya ketika itu adalah Saddam Hussein yang mampu memengaruhi OPEC dan terutama memengaruhi negara-negara Arab pengekspor minyak. Tidak heran ketika Dr Kissinger yang waktu itu sebagai Menteri Luar Negeri AS berupaya membubarkan OPEC, tetapi tidak berhasil. Kemudian pihak AS berhasil mengadu-domba antara Iraq dan Iran. Bahkan terakhir, Iraq diadu-domba dengan Kuwait. “Semuanya itu telah menghasilkan kehancuran, terutama kehancuran ekonomi migas Iraq.”
Karenanya Bush harus menyingkirkan pemerintahan Saddam lebih dahulu. Karena ia dinilai sebagai penghalang bagi kemajuan perusahaan-perusahaan migas milik Bush beserta keluarga dan rekan-rekannya.
Dilihat dari cadangan minyak mentah dunia pada Januari 1995 sekitar satu triliun barel, dari jumlah ini terdapat di Iraq sekitar 10%, Arab Saudi 26,1%, Persatuan Emirat Arab 9,8%, Iran 8.9%; Kuwait 9,7%, Qatar 0,2% . Semua negara di wilayah Timur Tengah itu tidak bisa berkutik menghadapi Bush, dan hanya Iraq saja. Karena itu, Saddam harus segera digulingkan.
Sebenarnya, kalau saja Iraq tidak berhasil diadu-domba, sehingga terjadi perang antara Iran dan Iraq pada tahun 1980-1988 dan perang dengan Kuwait Agustus 1990 yang berakhir Iraq terkena embargo PBB hingga sekarang, maka potensi ekonomi migas Iraq pasti makin besar. Tetapi karena pihak Bush tidak senang terhadap kebijakan politik Saddam, maka berbagai cara telah dilakukan dalam upaya menggulingkan.
Karena itu, ada alasan penting mengapa AS menyerang Iraq. Salah satunya adalah penopang ekonomi terbesar AS saat ini adalah minyak dari Timur Tengah. Negara-negara Teluk yang saat ini memproduksi hampir 70 persen kebutuhan minyak dunia adalah ‘sumber keuangan’ AS. Saat ini, misalnya, lebih dari 70 persen perusahaan minyak AS beroperasi di Teluk.
Hanya sepekan setelah perang selesai, perusahaan-perusahaan konstruksi AS langsung mendapat order dari Washington untuk membangun kembali Iraq. Perusahaan-perusahan konstruksi AS, khususnya Halliburton yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga Bush, langsung mendapat proyek miliaran dolar AS untuk rekonstruksi Iraq. Uangnya dari mana? Dari pampasan perang Iraq. Uang minyak Iraq pun dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang telah dihancurkan AS sendiri dengan biaya yang amat mahal, tiga sampai empat kali lipat, jika dikerjakan perusahaan lokal. Uang minyak Iraq juga dipakai untuk membiayai tentara AS yang kini bercokol di sana.
Dari gambaran itu saja, dapat disimpulkan, ekspansionisme AS ke Iraq tak lebih merupakan strategi AS untuk men-survive-kan perekonomiannya. [irib, cha, berbagai sumber]