(Arrahmah.com) – Ada yang rutin ditemukan pada ‘khazanah’ tradisi di Indonesia selama mengisi sepuluh hari bulan Muharram. Na’am, beberapa perhelatan massal kerap ditemui rutin di beberapa kota besar. Acara yang digelar tiap tahunnya ini diikuti oleh hampir sebagian besar umat muslim, baik di perkotaan maupun di pelosok dengan usungan tradisi yang berbeda-beda nama. Sebut saja dua macam yang mewakilinya, yaitu perayaan Tabot di Bengkulu dan perayaan Tabuik di Padang, Sumatera Barat.
Dua jenis tradisi ini sangat dikenal di masyarakat dan selalu menyedot antusias masyarakat. Uniknya, hal ini sudah dibakukan menjadi salah-satu ‘aset’ yang memiliki nilai daya-jual dalam mengundang minat para wisatawan agar bertandang ke daerah yang telah mencanangkan diri sebagai tujuan obyek wisata tersebut. Wajar bila instansi pemerintah yang terkait, juga ‘turun-tangan’ dalam program yang bisa mendongkrak popularitas budaya dan pariwisata daerahnya tersebut.
Hal ini sesuai pernyataan Kadin Perhubungan Komunikasi & Informatika—Eko Agusrianto, seperti yang dilansir ANTARA Bengkulu (rabu, 7/11/2012), bahwa pemerintah propinsi Bengkulu menyediakan dana sebesar 800 juta rupiah untuk membantu pemerintah kota Bengkulu dalam menggelar festival Tabot, dikatakannya, “Seperti tahun sebelumnya, pemerintah propinsi Bengkulu dan pemerintah kota Bengkulu akan berperan maksimal untuk menyukseskan agenda tahunan ini.” Festival yang akan diadakan pada 14-24 November 2012 tersebut memang diharapkan mampu untuk mengangkat khazanah budaya dan pariwisata di Bengkulu.
Serupa dengan Bengkulu yang tengah bersiap mempercantik daerahnya, perayaan Tabuik juga dikatakan selalu ‘laku’ dalam menarik minat masyarakat. Terbukti dari setiap tahunnya, perayaan bernuansa religi ini tak pernah sepi kunjungan. Konon, dahulunya perayaan yang sudah dimulai tahun 1824 ini dilakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari Aceh, Bengkulu, India, bahkan negeri Arab.
Berikut sedikit info tentang kedua perayaan massal tersebut;
Perayaan Tabot
Perayaan Tabot dimaklumatkan para tetua masyarakat Bengkulu kepada tiap keturunannya.Masyarakat Bengkulu mengenal perayaan Tabot sebagai upacara tradisional warisan leluhur mereka. Konon dahulunya perayaan ini dimulai oleh Syaikh Burhanuddin dan para keturunannya sehingga mereka pun dijuluki keluarga Tabot. Namun ada juga yang mengatakan diprakarsai oleh para pedagang Islam yang berasal dari Aceh, Bengkulu, India, bahkan negeri Arab.
Selain itu, yang lain mengatakan pula bahwa adat tersebut diperkenalkan oleh para ahli bangunan yang saat itu bekerja dalam membangun benteng Marlbourght di Bengkulu. Mereka yang juga disebut masyarakat Sipai, berasal dari daerah Madras dan Bengali. Dari sebagian mereka yang ‘kerasan’ berkehidupan di Bengkulu lah tradisi perayaan Tabot bermula.
Kata ‘Tabot’ berasal dari bahasa Arab yaitu التَّابُوْتُ yang berarti sebuah kotak atau peti. Seperti tertera keterangan di surat al-Baqarah di ayat ke-248 bahwa tabut adalah sebuah peti yang berisikan kitab Taurat yang dapat membawa ketenangan kepada kaum nabi Musa as yaitu bani Israil. Kala itu bani Israil sangat mempercayai bahwa tabut akan mampu memberikan kebaikan selama berada di kekuasaan pemimpin mereka, namun bila tabut itu raib, maka kegoncangan dan bala-bencanapun diyakini akan menimpa kehidupan mereka. Oleh karena itulah, mereka amat menjaga tabut ini dan menjadikannya sebuah ritual hingga kini.
Di setiap perayaannya, jumlah tabut yang diusung tak hanya satu, namun bisa mencapai puluhan yang biasanya terdiri dari belasan peti yang dianggap sakral dan puluhan peti yang dikreasikan dengan bentuk bebas. Yang menjadi daya-pikatnya adalah kemasannya yang sangat attractive dan dibentuk sedemikian rupa dengan berbagai ornamen warna-warni yang amat mencolok-mata—membuat center-piece inipun disukai masyarakat yang tetap mengikutinya hingga perayaan berakhir.
Selain itu, pengarakan tabut-tabut yang penuh kemeriahan inipun disandingkan dengan perayaan hari kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib, salah-seorang cucu Rasulullah saw yang tewas pada 10 Muharram 681 M dalam menghadapi pasukan Ubaidullah bin Ziyad di daerah Padang Karbala, Irak.
Diyakini oleh masyarakat Bengkulu yang aktif mengikuti perayaan ini bahwa perayaan Tabot memiliki ragam nilai, baik dari segi agama, sejarah, sosial, maupun budaya. Ditilik dari sudut agama katanya ritual ini merupakan ikut bersuka-citanya akan kehadiran bulan Muharram, selain itu menanamkan rasa cinta sekaligus duka-cita yang mendalam atas terbunuhnya Husain ra. Dari sudut sejarah, ia mengingatkan akan peristiwa Asyuro’ di Padang Karbala yang sangat menyayat hati dan mengundang kemurkaan. Sementara jika dilihat dari sisi sosial, perayaan Tabot dipercaya dapat menumbuhkan sikap kebersamaan serta rasa solidaritas yang tinggi. Dan untuk sisi budaya, ia merupakan aset kebanggaan yang menjadi salah-satu ciri perkembangan tradisi di Bengkulu sejak ratusan tahun lalu.
Karena ditinjau dari alasan itulah, maka kegiatan tahunan ini juga mendapat perhatian serius dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata propinsi Bengkulu. Seperti dikatakan Buyung Asril–sekretaris dinas lembaga pemerintah daerah tersebut yang dilansir Info Publik (5/12/2011) bahwa festival Tabot tersebut sudah mendapat dukungan lembaga pemerintah setempat yang salah-satu bentuk dukungannya adalah dengan penggalangan dari sudut promosi untuk disyiarkan melalui media massa sehingga gaungnya semakin meluas. Dikatakannya pula bahwa perayaan Tabot menjadikan adanya ‘hubungan emosional’ dengan dunia internasional, yaitu Irak dengan sejarah tragedi di Padang Karbalanya dan Iran dengan pesta Asyura’nya.
Perayaan Tabuik
Serupa dengan perayaan Tabut di Bengkulu, di Padang Sumatera-Barat terdapat perayaan yang konon berawal di tahun 1824 yang dikenal dengan nama Tabuik. Perayaan ini merupakan perayaan terbesar yang masuk agenda tahunan daerah tersebut. Agak sedikit berbeda dengan tabut di Bengkulu, di Padang–bangunan bertingkat seperti menara tersebut diusung oleh patung-patung kuda bersayap yang dimisalkan bouraq namun berkepala wanita. Bangunan ini pun dibuat dari susunan bambu ditambah bentuk-bentuk lain dengan berlapiskan kertas berwarna-warni sehingga menjadi indah dipandangan mata. Para pemuda kemudian bertugas mengarak bangunan Tabuik dengan mengenakan busana daerah yang juga berwarna-warni. Diakui bahwa perhelatan besar-besaran ini merupakan tradisi meratapi kematian Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. Namun seiring pergeseran waktu, perayaan ini akhirnya juga dimaklumatkan sebagai perayaan yang menyatu dengan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat.
Adapun ritual yang terdapat di dalam perayaan Tabuik ini diantaranya adalah upacara Maatam Panja yang dilaksanakan tanggal 7 Muharram dan ditunaikan setelah sholat dzuhur. Ritual ini dikerjakan dengan mengitari sebuah daraga sambil menangis sebagai tanda duka-cita atas terbunuhnya Husein ra. Ada pula ritual Maarak Panja, yaitu pengarakan sebuah kubah yang terbuat dari bambu dan kertas, dimana kertas ini digambari jari-jari yang terputus, yang diseolahkan jari-jari Husein ra yang telah dipotong pada peristiwa Karbala. Kubah tersebut akan diarak mengelilingi kampung dan mengisyaratkan kesedihan akan tewasnya cucu Rasulullah tersebut. Kemudian di keesokkan harinya ada ritual Maarak Sorban, yaitu pengarakan yang menggambarkan peristiwa kepala Husein ra yang telah dipenggal dan juga memperlihatkan kekejaman Yazid bin Muawwiyah.
Sedianya, bangunan-bangunan bambu tersebut diusung hingga ke laut untuk dihanyutkan di hari terakhir yaitu hari ke-10 Muharram, bertepatan ketika waktu adzan maghrib dikumandangkan. Perhelatan ini tentu saja selalu membuat suasana kota ‘tanduk kerbau’ itu menjadi ramai bahkan padat karena kunjungan. Momen ini juga dimanfaatkan sebagian besar pedagang untuk menjajakan barang dagangan yang mereka beroleh laba karenanya. Para pedagang tampak bersemangat atas hasilnya yang lumayan karena padatnya pengunjung, sehingga merasa adanya ‘berkah’ dari perayaan ini. Apalagi ritual terakhir Hoyak Tabuik yang sisa-sisanya menjadi obyek rebutan massa karena dianggap dapat mendatangkan berkah dan bisa dijadikan ‘penglaris’. Dari sisi lain, salah-seorang tokoh masyarakat kota Pariaman—H. Bagindo Fahmi, menyatakan bahwa perayaan Tabuik merupakan salah-satu tradisi kebanggaan untuk masyarakatnya, bahkan dikatakannya pula bahwa tradisi tersebut telah menjadi alat pemersatu bagi masyarakat daerah tersebut sehingga dibuat komitmen agar tradisi perayaan Tabuik sejatinya akan terus langgeng.
Pesta Asyura’
Hari Asyura’ merupakan hari dimana dahulunya Allah Ta’ala telah menyelamatkan nabi Musa as dari kejaran Fir’aun la’natullah beserta bala-tentaranya. Sebagai rasa syukurnya, nabi Musa as melakukan shaum pada tanggal tersebut, yaitu 10 Muharram. Mengenai perihal ini, terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra,
Artinya, “Sewaktu Rasululloh saw tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi shaum pada hari Asyura’. Lalu beliau bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, hari yang Allah telah selamatkan bani Israil dari musuh mereka. Kemudian, nabi Musa shaum. Lalu Rasululloh saw bersabda, “Aku lebih berhak terhadap nabi Musa dari kalian (orang Yahudi)”. Kemudian, beliau shaum dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Abu Qatadah menyebutkan bahwa Rasulullah saw juga bersabda,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya, “Dan ( dalam) shiyam hari Asyura’, aku berharap kepada Allah agar hal itu dapat menebus dosa dari tahun yang sebelumnya.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dari keterangan tersebut, maka jelaslah apa-apa yang seharusnya dikerjakan umat muslim dalam upayanya mencontoh kehidupan Rasulullah berkenaan dengan tanggal 10 Muharram. Tidak ada satupun perayaan khusus atau peribadahan ritual yang disandarkan kepada adat dan kebiasaan yang ada di daerah mereka seperti yang biasa dirutinkan. Semuanya harus kembali kepada pakem apakah Rasulullah mencontohkannya atau tidak. Bila ternyata tidak, umat harusnya berhati-hati karena hal itu merupakan perangkap setan yang bisa mengundang laknat Allah azza wa jalla. Naudzubillahi min dzaalika.
Bentuk kebid’ahan yang paling pamor di bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan sudah berlangsung lama diantaranya adalah perayaan hari Asyura’ yang diadakan oleh pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu menisbatkan-diri termasuk ke dalam golongan muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’ adalah hari berkabung atas kematian Husain ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan kesedihannya dengan menangis seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri, merobek-robek pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan melukai diri mereka sendiri dengan berbagai alat yang bisa melukai, seperti cambuk, rantai besi, pedang, dan sebagainya. Mereka menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa turut merasakan penderitaan dan kesakitan yang dialami cucu Rasulullah tersebut.
Bagi pemeluk agama Syi’ah, peristiwa terbunuhnya Husein ra merupakan peristiwa besar yang sangat digung-agungkan. Begitupun dengan Padang Karbala yang telah dijadikan tempat sakral mereka dalam melakukan peribadahan melebihi kota Mekkah dan Masjidil Haram. Mereka justru lebih memuliakan tempat itu ketimbang dua tempat yang telah dimuliakan Allah Ta’ala tersebut.
Ritual yang dilaksanakan di hari Asyura’ yang mereka yakini diantaranya dengan mengenakan busana berwarna hitam dengan saling mengucapkan kalimat bela-sungkawa yang ditujukan kepada Husain ra. Mereka mengadakan Manakib Husainiyah atau aksi arak-arakan kubah Husain yang terbuat dari kayu ke jalan-jalan sambil melakukan niyahah. Sesekali terdengar teriakan keras mereka memekikkan nama Husain ra. Sementara itu bagi mereka yang kebetulan membawa-serta anak-anaknya, tampak mengajarkan ritual itu agar anak-anak tersebut dapat turut menangis saat mengikuti jalannya prosesi. Seorang ulama’ Syi’ah dalam Man Qatalal Husain menyatakan bahwa meratapi kematian Husein ra dengan berteriak-teriak, hukumnya wajib ‘ain.
Para penganut Syi’ah dewasa yang ekstrimis biasanya unjuk ‘keberanian’ dengan melukai anggota tubuh mereka sendiri hingga mengalirnya darah. Aksi ekstrim yang biasanya dilakukan di daerah Karbala ini, mereka tunaikan sebagai bentuk ikut merasakan penderitaan Husain yang terluka kala itu. Ayatullah al-‘Uzhma Syaikh Muhammad Husain an-Nati dalam Man Qatalal Husain hal. 65 mengatakan, “Tidak ada masalah tentang hukumnya menampar pipi dan dada dengan tangan sampai memerah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi memukul pundak dan punggung dengan rantai hingga kulit menjadi kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu sampai mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan menggunakan pedang.”
Ritual penyiksaan ini biasanya terlaksana di negara-negara yang penganut Syi’ahnya mencapai jumlah mayoritas, seperti Iran, Irak, dan India. (Tidak tertutup kemungkinan kelompok Syi’ah di Indonesia akan menunaikan bentuk penyiksaan diri seperti demikian, apalagi isyu berkembangnya aliran sesat ini kian santer di negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini).
Di tengah-tengah perayaan Asyura’ itu, mirisnya mereka juga tak ketinggalan memaki-maki para khulafaur rasyidin yang amat dicintai Rasulullah saw. Wal ‘iyadzubillahi.
Dalam menyambut hari Asyura’ juga beredar hadits-hadits maudhu’, diantaranya yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakai celak di hari Asyuro’, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu.” Atau hadits lain berbunyi, “Barangsiapa yang melebihkan nafkah bagi keluarganya di hari Asyura’, maka Allah akan melapangkan rezekinya selama setahun itu.”
Penganut Syi’ah juga menganggap hari Asyura’ sebagai hari penuh kesialan. Oleh karena anggapan itu, maka mereka banyak menunda berbagai aktivitasnya, seperti menunda pernikahan, tidak melakukan safar, tidak berpakaian bagus, dan sebagainya.
Riwayat shohih tentang peristiwa Karbala
Riwayat yang paling shohih berikut ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no.3748:
Dia mengatakan, “Kepala Husein ra dibawa dan didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Kepala itu ditaruh di bejana, lalu Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas ra mengatakan, “Diantara ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu Husein disemir rambutnya dengan wasmah ( tumbuhan sejenis pacar yang warnanya condong ke warna hitam ).”
Kisahnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekah bersama beberapa para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair. Ketika Muawwiyah meninggal dunia pada tahun 60 Hijriyah, anak beliau Yazid bin Muawwiyah menggantikannya sebagai khalifah. Saat itu penduduk Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali ra menulis surat kepada Husein untuk meminta beliau berpindah ke Iraq. Mereka berjanji akan membai’at Husein sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawwiyah menjadi khalifah. Ternyata tidak hanya melalui surat, mereka pun terkadang mendatangi Husein di Mekah dan mengajak beliau untuk berangkat ke Kuffah dan berjanji akan menyediakan pasukan.
Para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas kerap kali menasehati Husein agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husein, Ali bin Abi Thalib juga dibunuh di Kuffah sehingga Ibnu ‘Abbas mengkhawatirkan keselamatan Husein pula. Namun Husein mengatakan bahwa ia telah melaksanakan sholat istikharoh dan telah memutuskan akan berangkat ke Kuffah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil keputusan itu karena belum mendengar bahwa sepupunya yaitu Muslim bin ‘Aqil telah dibunuh di tempat itu juga. Akhirnya berangkatlah Husein dan keluarganya menuju ke Kuffah.
Sementara di pihak lain, Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawwiyah untuk mengatasi pergolakan di Iraq. Akhirnya Ubaidullah dan pasukannya berhadapan dengan Husein yang sedang berada dalam perjalanan bersama keluarganya menuju Iraq. Pergolakan itu sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husein. Dua pasukan yang tidak imbang ini bertemu di Karbala, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husein untuk membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husein dan keluarganya untuk berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Hingga akhirnya terbunuhlah Husein sebagai orang yang terzhalimi dan dalam keadaan syahid. Kepalanya lalu dipenggal dan dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad kemudian diletakkan di dalam bejana. Ubaidullah yang tidak pernah diperintahkan untuk membunuh Husein ini pun lalu menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung, mulut, dan gigi Husein, padahal disana ada Anas bin Malik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Melihat perbuatan yang sangat tak manusiawi itu, Anas ra lantas mengatakan,
“Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah mencium mulut itu!” Mendengar kata-kata Anas ra, Ubaidullah pun marah lalu mengatakan, “Seandainya aku tidak melihatmu sebagai seorang-tua yang telah renta dan yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu akan kupenggal!” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Hafshah binti Sirrin dari Anas ra dinyatakan, “Lalu Ubaidullah mulai menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung Husein ra.”
Adapun riwayat palsu yang beredar tentang peristiwa ini menyatakan bahwa kepala Husein diarak dan diletakkan di depan Yazid bin Muawwiyah. Ini sesuatu yang mustahil, sebab saat itu Yazid bin Muawwiyah berada di negeri Syams, sedangkan peristiwa yang menimpa Husein terjadi di Karbala, Irak. Sementara itu dikatakan pula bahwa kaum perempuan dari keluarga Husein disebutkan diarak dengan kendaraan tanpa pelana dan ditawan. Ini hanyalah kisah dusta yang ditambah-tambah penganut Syi’ah semata. Tak cukup hanya merubah dan menambah sehingga bercampur dengan cerita fiktif tentang peristiwa Karbala, mereka pun nekat menyusun hadits-hadits maudhu’ untuk mendukung sikap ghuluw mereka terhadap Husein ra.
Syaikhul Islam rahimahullah telah membagi tiga kelompok manusia dalam kaitannya menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok yang menyatakan secara terang-terangan bahwa tragedi pembunuhan itu layak diterima Husein ra karena adanya anggapan bahwa Husein ra telah memberontak kepada Yazid bin Muawwiyah yang tengah berkuasa saat itu. Begitu juga dengan tuduhan kelompok ini bahwa Husein ra berniat memecah-belah umat. Oleh sebab itu kelompok ini selalu membawa hujjah sebuah hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ جَاءَكُمْ وَ أَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ.
Artinya, “Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu kepemimpinan, lalu datanglah seseorang yang akan memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
2. Kelompok yang sangat taklid kepada Husein ra sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah dibawah perintah Husein ra. Kelompok yang sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin oleh Muchtar bin Abi ‘Ubaid yang kemudian menugaskan pasukannya untuk membunuh dan memenggal kepala Ubaidullah bin Ziyad.
3. Kelompok yang menghormati Husein ra sebagai seorang ahli bait yang sholih dan menepis tudingan kelompok pertama yang menghujat Husein ra sebagai pemberontak. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Husein ra tewas dalam keadaan dizhalimi dan mendapat kesyahidan. Syaikhul Islam rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (IV/550) mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Husein ra terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantunya. Selain itu, ini merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah, dan yang lainnya. Husein ra berhak mendapatkan gelar asy-syahid, kedudukan, serta derajat yang tinggi. Kelompok ketiga inilah yang merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
Petunjuk Allah Ta’ala ketika musibah menimpa seorang muslim
Dalam tuntunan Allah Ta’ala yang telah disampaikan melalui Rasulullah saw, ada beberapa yang seharusnya dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam menghadapi sebuah musibah, misalnya kematian keluarga atau kerabat. Diantaranya adalah firman-Nya,
Artinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah, 2:155-157)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir jelas dijabarkan bahwa Allah Ta’ala telah memastikan bahwa setiap hamba akan menerima ujiannya masing-masing. Ujian tersebut kadang berupa kebaikan dan kadang berupa keburukan yang sangat tidak disukai oleh seorang hamba. Namun Allah Ta’ala juga memberikan petunjuk bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan beroleh kegembiraan, yaitu berupa pahala keberkahan yang sempurna dan rahmat-Nya. Sebaliknya, bila ujian itu membuat hamba tersebut selalu berkeluh-kesah, menyesalinya, bahkan bersuudzhon kepada Allah Ta’ala, maka kemurkaan dan kerugianlah yang diperolehnya.
Dalam ayat tersebut juga diperintahkan apabila seorang hamba tertimpa musibah, maka disunnahkan membaca kalimat istirja’ yaitu ucapan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Perbuatan ini memiliki nilai pahala di sisi Allah azza wa jalla, yaitu seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra yang mendengar Rasulullah bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: إِنَّا لِلَّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَ أَخْلُفْلِيْ خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ ىاَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَةِ وَ أَخْلَفَ لَهُ خَيْرَا مِنْهَا.
Artinya, “Tiada seorang hamba yang mendapat musibah, lalu dia mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Ya Allah, berilah aku pahala disebabkan musibah ini dan gantilah ia dengan yang lebih baik daripadanya.” melainkan Allah memberinya pahala atas musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim)
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan dalam sanadnya dari Husein bin Ali dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah bersabda,
Artinya, “Tiada seorang muslimpun, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat musibah, lalu dia mengingatnya sesudah lama berlalu, kemudian membaca kalimat istirja’ meskipun sudah berlalu lama, melainkan Allah akan memeberinya kembali pahala bacaan yang sama dengan pahala bacaan ketika musibah itu pertama-kali terjadi.” (HR. Imam Ahmad)
Rasulullah pun sudah tegas dalam sabda lainnya yang melarang perbuatan yang bukan mencerminkan sikap sebagai seorang muslim, yaitu
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْحُدُوْدَ وَ شَقَّ الْجُيُوْبَ وَ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.
Artinya, “Tidak termasuk golongan kami—orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Merujuk kepada ayat dan hadits-hadits Rasulullah diatas, jelas perbuatan penganut Syi’ah yang selalu menisbatkan-diri kepada Islam itu tidak sejalan dengan petunjuk dien Islam. Ritual yang mereka jalankan berupa menangis histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, penyiksaan diri dengan melukai anggota tubuh, mengucapkan kalimat-kalimat penuh kemarahan, dan sebagainya yang terlarang merupakan cerminan sikap mereka yang berkiblat kepada adab-adab jahiliyah. Selayaknya seorang muslim sudah sangat bisa memahami keyakinan mereka yang sesat sebab perihal ini sudah sangat nyata dan gamblang Allah Ta’ala sampaikan, baik melalui firman-Nya maupun hadits rasul-Nya. Bukan malah ikut-ikutan apalagi memfasilitasi ritual sesat tersebut. Kenyataan ini memang memprihatinkan, dimana kesesatan dianggap tradisi, lalu tradisi lebih mendapat pengayoman sehingga dirasa patut untuk dijaga kelestariannya.
Dalam menyambut hari Asyura’, Rasulullah mencukupkan diri dengan melaksanakan shaum sunnah. Tidak ada perintah lain dan tambahan-tambahan perayaan didalamnya sehingga tidaklah layak kita membuat-buat dalil yang justru menyelisihinya, karena sebaik-baik pedoman bagi umat Islam adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rasul-Nya, yang tidak ada petunjuk selainnya kecuali hanya dengan berpegang-teguh kepada kedua hal tersebut. Selayaknya umat Islam hidup dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Berhati-hatilah terhadap bid’ah karena tak ada balasannya melainkan an-Naar. Naudzubillahi min dzaalika.
Demikian, semoga memberi manfaat.
Walhamdulillahi Robbil ‘alamiin…
Oleh : Ustadz Abu Jibriel Abdul Rahman
Source: abujibriel.com