Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt *
(Arrahmah.com) – Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional dimana para siswanya (santri) tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai. Ia mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Dan santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. (Wikipedia)
Pondok pesantren sebagai salah satu basis pendidikan agama Islam di Nusantara telah menelurkan demikian banyak alumni yang luar biasa mumpuni di beragam bidang kehidupan. Ada yang berhasil meneruskan upaya almamaternya menjadi kiai dan nyai. Tak sedikit juga yang terjun ke masyarakat menjadi para pengusaha, teknokrat, pegawai pemerintah, bahkan politisi. Yang jelas bahwa misi mereka adalah untuk meneruskan esftafeta perjuangan yang ditanamkan almamaternya yakni berdakwah, beramar makruf nahi munkar di tengah umat.
Namun demikian, keberadaan pondok pesantren justru masih mendapat pengurusan setengah hati dari pemerintah. Hal ini diungkapkan salah satunya oleh Pembina Majelis Silaturahmi Pesantren (Masantren), Ruhiat Nugraha, “Ini menjadi masalah besar yang dihadapi pesantren. Seolah dilupakan keberadaannya,” katanya. (ayobandung, 16 Agustus 2020)
Masih dalam laman yang sama, Ketua Masantren Kabupaten Bandung Jawa Barat, Yana Suryana menambahkan, saat ini di Kabupaten Bandung saja terdapat kurang lebih 300an pesantren dan ribuan madrasah diniyah serta tempat pengajian. Namun sayangnya, diperkirakan lebih dari 50 persen di antaranya masih belum memadai. Masih banyak pesantren dan madrasah yang belum tersentuh bantuan pemerintah.
Selama ini perhatian pemerintah kepada pondok pesantren juga dirasa masih jauh dari harapan. Seolah ada penganaktirian pada lembaga pendidikan yang fokus dalam menghantarkan anak didiknya menjadi sosok berkepribadian Islam. Anggaran yang selama ini dikucurkan untuk Kementerian Agama (Kemenag) dirasa jauh lebih kecil ketimbang untuk Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Masalah pembiayaan bagi keberlangsungannya menjadi persoalan yang belum ditemukan pemecahannya yang tuntas.
Problem kecukupan anggaran ini sesungguhnya bisa dipahami. Selama ini sumber ekonomi pondok pesantren biasanya berasal dari bayaran santri, zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Tentu besarannya tak bisa diandalkan untuk keseluruhan operasional pesantren secara terus menerus.
Terlebih di masa pandemi seperti saat ini. Baik pembelajaran metode daring maupun tatap muka, semua berbiaya tinggi dan membutuhkan fokus lebih dibanding pembelajaran di masa normal.
Untuk PJJ saja pesantren memiliki PR dalam mensolusikan terkait bagaimana urusan gaji para guru, kuota dan kendala sinyal. Di samping perkara teknis lain dimana tentu membutuhkan dukungan sarana prasarana untuk menunjang kegiatan belajar mengajar jarak jauh.
Begitupun dengan pembelajaran tatap muka. Membengkaknya anggaran bagi sarana prasarana menjadi problem tersendiri. Kebutuhan akan sarana seperti pembangunan tempat cuci tangan yang cukup, pengadaan face shiled, masker juga bahan habis pakai seperti hand sanitizer dan sabun pencuci tangan. Sarana medis berupa akses tes rapid dan swab menambah daftar panjang persoalan yang wajib dipecahkan.
Di sisi pemasukan, pada masa pandemi cukup membuat pusing pengelola pondok. Bayaran siswa/santri yang lumrahnya mengalami pemotongan karena tidak belajar full sebagaimana normalnya. Pemasukan zakat, infak, sedekah, dan wakaf pun kerap mengalami penurunan, imbas dari melemahnya perekonomian masyarakat.
Sementara kalangan pesantren tengah menjerit mendapati fakta memilukan dan tak memihak mereka, pemerintah justru menghimbau hal yang tak kalah membuat miris. Mereka menyeru pada komunitas sarungan yang dahulu demikian berjasa sebagai motor dalam perjuangan melawan kaum penjajah itu untuk lebih mandiri dalam memikirkan nasib mereka.
Tampak salah satunya dari ungkapan Wakil Gubernur Jawa Barat UU Rhuzanul Ulum yang meminta kepada para kiai untuk mengubah wawasan dan jangan hanya berpikir membangun madrasah, asrama dan masjid saja. Mereka juga didorong untuk memikirkan ekonomi pondok pesantren. Pesantren selain diarahkan untuk mengajarkan ilmu agama, juga dalam hal ekonomi, sehingga menjadi multiguna. (jabar.tribunnews.co, 16 Agustus 2020)
Beberapa program lain yang digulirkan pemerintah, baik daerah hingga nasional nyatanya hingga kini belum mampu menjadi solusi tuntas atas termarginalkannya keberadaan pesantren. OPOP (One Pesantrean One Produk) yang digadang-gadang sebagai program unggulan untuk meningktan kualitas ekonomi pesantren, nyatanya lebih menjadi sebentuk program pemberian bantuan dan pendampingan agar pesantren bisa menjalankan roda usaha dalam mengurusi semua kebutuhan dan ekonominya. Selebihnya pesantren seolah ditinggalkan.
Sungguh sesuatu yang mengherankan, lembaga pendidikan yang keberadaannya selayaknya untuk menjalankan misi mencetak generasi Rabbani, kini diarahkan juga untuk menjadi mesin penggerak ekonomi. Alih-alih mendapat support berupa anggaran yang penuh, manajemen pondok kerap dituding sebagai biang masalah dari termarginalkannya pesantren. Para kiai dan pengelola pesantren justru “dipaksa” untuk bercabang fokusnya. Terpecah konsentrasinya, di samping mendidik para santri juga menjalankan beragam upaya agar keberlangsungan hidup pondoknya bisa tetap eksis.
Bantuan lain pun sebenarnya telah dialokasikan pemerintah pusat sebagai bentuk dukungan bagi pesantren. Untuk menjalani adaptasi kebiasaan baru (new normal). Sebesar Rp2,6 triliun yang termasuk salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Belumlah berjalan, program ini telah mendapat warning dari Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) terkait potensi terjebak dan terperosok seperti mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998 dan kasus Bank Century tahun 2008. (Kompas.com, 09/06/2020)
Di samping bahwa semua program bantuan itu diberikan secara insidental, tidak berkesinambungan.
Semua hal di atas adalah buah dari dianutnya neoliberalisme. Sistem ekonomi neolib mengamanatkan kepada negara untuk “memandirikan” semua urusan rakyat dengan melepas satu per satu dukungan termasuk di antaranya perkara pendidikan. Kapitalisasi dunia pendidikan pun memunculkan beragam kebijakan buruk seperti BHMN dan kemandirian lembaga pendidikan. Dimana pada kenyataannya hal ini lebih mengarah pada pengabaian negara atas institusi pendidikan untuk mengurus keberlangsungan hidupnya sendiri-sendiri. Terlebih pesantren yang sedari awal memang telah termarginalkan.
Pesantren pun dirasa tidak mendapat porsi perhatian yang cukup sebagaimana sekolah umum di bawah departemen pendidikan pada umumnya. Dikotomi pendidikan antara pendidikan umum dan pesantren yang berbasis agama merupakan buah pikir dari sekularisasi sistem pendidikan yang berpotensi menganak tirikan pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya.
Sangat berbeda ketika Islam memandang perkara ini. Sistem pendidikan dipandang secara utuh. Lembaga pendidikan sebagai basis yang akan menjadi pabrik dalam memproduksi generasi gemilang. Membentuk anak didik untuk memiliki yang khas, berkepribadian Islam yang utuh. Tentu hal ini membutuhkan fokus serius dalam mewujudkannya.
Paradigma Islam yang disandarkan pada asas yang luar biasa kokoh berupa akidah telah menempatkan pendidikan pada satu urusan vital yang keberlangsungannya wajib menjadi bagian penting diurusi secara langsung oleh negara. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa pendidikan adalah satu dari tiga kebutuhan kolektif rakyat di samping kesehatan dan keamanan. Dimana penguasa akan berdosa jika mengabaikan dan melalikan pengelolaan dan keberlangsungannya.
Di luar itu, Islam pun menolak dikotomi pendidikan ala sekuler. Sebaliknya syariat mewasiatkan untuk membentuk individu generasi yang cakap akan ilmu sains dan teknologi, memiliki skill kehidupan mumpuni dan paham akan agamanya.
Adapun sistem pembiayaan lembaga pendidikan Islam adalah langsung mendapat support penuh dari pemerintah. Ia diambil dari kas baitulmal sepanjang waktu.
Support pembiayaan mulai dari sarana prasarana berupa bangunan fisik. Mulai dari gedung sekolah, asrama para siswa/santri, gedung laboratorium, perpustakaan, tempat ibadah, hingga pondokan guru. Semua dibangun secara representatif. Beraneka kebutuhan dalam proses pembelajaran pun tak dilupakan untuk dipenuhi secara keseluruhan. Gaji para pendidik dan pegawai diberikan dengan besaran yang mampu mencukupi semua kebutuhan asasiyah dan kamaliyah ia dan keluarganya. Hal itu dilakukan di masa normal, terlebih ketika suasana darurat menyapa negara, semisal ketika menjalani ujian wabah.
Luar biasanya semua itu dimasukkan seluruhnya pada APBN negara berbasis baitulmal.
Sistem APBN yang demikian khas itu ditopang oleh sistem perekonomian Islam yang kuat. Terkait pembagian harta kepemilikan yang akan menempatkannya secara adil dan proporsional. Ada harta negara, umum dan pribadi. Harta negara dan umum merupakan porsi yang digunakan untuk pembiayaan semua kebutuhan publik. Ia dikelola oleh negara, haram diserahkan pada individu swasta maupun korporasi lokal terlebih bagi pihak asing. Maka problem pembiayaan pendidikan dan urusan publik akan menjadi mudah disolusikan secara tuntas.
Juga dukungan dari sistem perpolitikan Islam yang mandiri. Dia tidak boleh ada di bawah bayang superioritas negara lain yang akan membelok-belokkan arah kebijakan yang dikeluarkan. Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. an-Nisâ’ [4]: 141)
Justru negara wajib memegang peranan penting dalam perpolitikan dunia. Dalam perkara pendidikan, menjadi hal yang tak mengherankan ketika Islam dijadikan basis pengelolaan negara, maka produk pendidikannya pun menjadi rujukan dan mercusuar dunia. Sebagaimana apa yang terjadi pada masa kekhilafahan Abbasiyah, dimana bermunculan para ahli di berbagai bidang. Baik sains dan teknologi, sekaligus ahli agama yang faqih. Karya-karya mereka pun menjadi rujukan dan kitab-kitab yang mereka tulis banyak yang dialih bahasakan untuk kemudian disebar di seluruh dunia. Itu memperlihatkan betapa fokusnya lembaga pendidikan yang ada pada pemerintahan Islam gemilang mencetak generasi cemerlang. Hasil full support negara.
Itu semua mustahil terealisasi jika syariat dipakai setengah-setengah. Wajiblah untuk diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Di bawah sistem pemerintahan Islam yang diwariskan Rasulullah saw.
*)Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
(*/arrahmah.com)