Oleh Robert Inlakesh*
Kebocoran terbaru ini tidak hanya menyingkap kebijakan yang dibuat secara ceroboh—tetapi juga menyembunyikan kebenaran yang lebih dalam tentang motif perang AS.
Pesan grup yang baru-baru ini bocor dari pejabat tinggi era pemerintahan Trump telah menjadi semacam pencerahan tentang bagaimana kebijakan serius dibuat dengan cara yang sangat kasar. Meskipun ini memberi kita gambaran tentang apa yang terjadi di balik layar, kisah ini juga berfungsi sebagai pengalihan yang sangat tepat.
Pemimpin redaksi The Atlantic, Jeffrey Goldberg, menjadi sorotan setelah memublikasikan informasi yang ia dapatkan dari grup chat Signal—yang katanya ia secara tidak sengaja ditambahkan oleh Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz. Goldberg sendiri berusaha mempermalukan pemerintahan Trump dan mengungkapkan betapa longgarnya langkah keamanan yang diambil oleh pejabat tinggi.
Namun, menurut jurnalis investigasi Ryan Grim, sumber-sumber menunjukkan bahwa Goldberg sebelumnya telah berkomunikasi dengan Penasihat Keamanan Nasional dan menerima kebocoran serupa. Jika ini benar, bisa jadi ini pertanda adanya perpecahan dalam pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Bagian paling mengejutkan dari informasi yang bocor adalah faktor pendorong di balik serangan AS yang sedang berlangsung di Yaman, selain bahasa kasar yang digunakan di tingkat tertinggi untuk menggambarkan sekutu tradisional Washington.
Media arus utama di AS tampaknya terpaku pada fakta bahwa kebocoran semacam ini bisa terjadi, menganalisis apa artinya bagi keamanan Amerika. Memperburuk keadaan, Gedung Putih mengonfirmasi keaslian grup chat tersebut.
Fakta bahwa isu kebijakan sensitif dibahas dengan cara yang seolah-olah hanya membahas hal sepele, memang mencerminkan karakter pemerintahan Trump sejak menjabat.
Jika di era pemerintahan Partai Demokrat pimpinan Joe Biden masih ada kesan kesopanan, karakter Donald Trump justru membawa segalanya ke arah sebaliknya.
Hinaan dan ancaman terhadap negara sekutu, termasuk kritik pedas terhadap Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, menjadi bukti nyata pemerintahan Partai Republik ini.
Namun, yang menarik perhatian pendukung dan penentang Trump adalah bagaimana pemimpin redaksi The Atlantic bisa “tidak sengaja” ditambahkan ke grup chat Signal ini. Meski jawaban resminya adalah kesalahan, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam.
Laporan Goldberg berjudul “The Trump Administration Accidentally Texted Me Its War Plans” memilih framing yang menyesatkan tentang bukti yang ia sajikan terkait pembahasan serangan ke Yaman di antara pejabat keamanan nasional.
Pertama, ia menulis bahwa Ansarallah Yaman—yang ia sebut “Houtsi”—setelah 7 Oktober 2023, “segera melancarkan serangan ke ‘Israel’ dan kapal internasional, mengacaukan perdagangan global.” Ia menyebut kelompok “teroris yang didukung Iran” ini tiba-tiba menyerang kapal internasional, yang jelas kebohongan dan kunci untuk memahami maksud di balik informasi yang dipublikasikan Goldberg.
Ansarallah sebenarnya memberlakukan blokade laut di Laut Merah dengan tujuan jelas: memblokir kapal yang terkait ‘Israel’—sebagai bentuk solidaritas dengan Gaza. Tidak ada serangan terhadap kapal non-‘Israel’ sampai koalisi laut multinasional pimpinan AS dibentuk untuk melawan blokade ini demi membantu ‘Israel’.
Operasi militer gagal ini, Operation Prosperity Guardian, berujung pada serangan udara AS dan Inggris ke Yaman. Saat itulah blokade Laut Merah diperluas untuk mencegah kapal dari negara agresor melintas. Berbulan-bulan, kapal yang melintas dengan jelas memberi tanda “tidak terkait Israel” agar tidak dicegat.
Penting untuk meluruskan framing ini karena Goldberg kemudian mengutip bagian chat yang membahas motif AS—tanpa menyebut ‘Israel’, melainkan Eropa.
Narasi inilah yang terus dipromosikan media arus utama dan pemerintahan Trump: upaya menulis ulang sejarah seolah Ansarallah adalah “bajak laut didukung Iran” yang menyerang perdagangan internasional tanpa alasan.
Kebohongan ini dipakai untuk membenarkan pembantaian warga sipil Yaman oleh AS, dengan klaim bahwa intervensi militer punya pembenaran moral dan melindungi kepentingan geopolitik Eropa—dan mereka sendiri.
Ansarallah menghentikan semua operasi militer di Laut Merah dan terhadap ‘Israel’ begitu gencatan senjata Gaza berlaku pada 19 Januari. Mereka baru melanjutkan dukungan untuk Gaza setelah ‘Israel’ memblokir semua bantuan kemanusiaan dan mengingkari kesepakatan.
Goldberg—yang mengaku sebagai Zionis—mengaburkan fakta bahwa AS berperang dengan Yaman demi ‘Israel’. Pengakuan ini akan membuat serangan AS sangat tidak populer.
Satu hal yang ia sertakan adalah diskusi terbuka bahwa ‘Israel’ kemungkinan besar menjadi penyebab, dan ini dianggap sebagai hasil yang diharapkan. Ini mempertanyakan keseriusan pemerintahan Trump dalam menyelesaikan masalah di kawasan.
Meski kebocoran ini semakin mengungkap cara pembuatan kebijakan AS di era Trump, penting untuk melihat bagaimana kebocoran ini dipakai sebagai propaganda yang menyembunyikan elemen sentral dalam serangan Washington ke Yaman: ‘Israel’. (zarahamala/arrahmah.id)
*Penulis adalah jurnalis The Palestine Chronicle