(Arrahmah.com) – Abdullah bin Amr lebih dulu masuk Islam ketimbang ayahnya, Amr bin Ash. Dan semenjak ia dibaiat dengan menaruh telapak tangan kanannya di telapak tangan kanan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam, hatinya tak ubahnya seperti cahaya Subuh yang cemerlang diterangi nur Ilahi dan cahaya ketaatan.
Suatu hari Rasulullah memanggilnya, dan menasihatinya agar tidak berlebihan dalam beribadah. Rasulullah SAW bertanya, “Kabarnya engkau selalu puasa di siang hari tak pernah berbuka, dan shalat di malam hari tak pernah tidur? Cukuplah puasa tiga hari setiap bulan!”
Abdullah berkata, “Saya sanggup lebih banyak dari itu.”
“Kalau begitu, cukup dua hari dalam seminggu.”
“Aku sanggup lebih banyak lagi.”
“Jika demikian, baiklah kamu lakukan puasa yang lebih utama, yaitu puasa Nabi Daud, puasa sehari lalu berbuka sehari!”
Dan benarlah ketika Abdullah bin Amr dikarunia usia lanjut, tulang-belulangnya menjadi lemah. Ia selalu ingat nasihat Rasulullah dulu. “Wahai malang nasibku, kenapa dulu tidak melaksanakan keringanan dari Rasulullah.”
Pada saat terakhir, Rasulullah menasihatinya agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadah sambil membatasi waktu-waktunya. Amr bin Ash, ayahnya, kebetulan hadir. Rasulullah mengambil tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya. “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah ayahmu!” pesan Rasulullah SAW.
Dan sepanjang usianya, sesaat pun Abdullah tidak lupa akan kalimat pendek itu, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah ayahmu!”
Dan ketika terjadi Perang Shiffin (perang antara Ali dan Muawiyah), Amr bin Ash berpihak kepada Muawiyah. Dia pun mengajak anaknya, Abdullah bin Amr, untuk turut serta bersamanya membela Muawiyah.
Demikianlah, Abdullah berangkat demi ketaatannya terhadap sang ayah. Namun ia berjanji takkan pernah memanggul senjata dan tidak akan berperang dengan seorang Muslim pun.
Pada suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk dengan beberapa sahabatnya di Masjid Rasul, lewatlah Husein bin Ali bin Abi Thalib. Mereka pun bertukar salam. Tatkala Husein berlalu, berkatalah Abdullah kepada orang-orang di sekelilingnya,
“Sukakah kalian aku tunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit? Dialah yang baru saja lewat di hadapan kita tadi, Husein bin Ali. Semenjak Perang Shiffin, ia tak pernah berbicara denganku. Sungguh ridhanya terhadap diriku, lebih kusukai dari barang berharga apa pun juga.”
Abdullah berunding dengan Abu Said Al-Khudri untuk berkunjung kepada Husein. Demikianlah, akhirnya kedua orang mulia itu bertemu di muka rumah Husein. Abdullah bin Amr terlebih dahulu membuka percakapan, hingga menjurus ke Perang Shiffin.
Husein mengalihkan pembicaraan ini sambil bertanya, “Apa yang membawamu hingga kau ikut berperang di pihak Muawiyah?”
Abdullah menjawab, “Pada suatu hari, aku diadukan ayahku Amr bin Ash menghadap Rasulullah SAW. Kata ayahku, ‘Abdullah ini puasa setiap hari dan beribadah setiap malam.’
Rasulullah berpesan kepadaku, ‘Hai Abdullah, shalat dan tidurlah, serta berpuasa dan berbukalah, dan taatilah ayahmu!’ Maka sewaktu Perang Shiffin itu, ayahku mendesakku dengan keras agar ikut bersamanya. Aku pun pergi, tetapi demi Allah aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah!”
Tatkala usianya mencapai 72 tahun, ia sedang berada di musholanya, beribadah dan bermunajat. Tiba-tiba ada suara memanggil untuk melakukan perjanalan jauh, yaitu perjalanan abadi yang takkan pernah kembali. Abdullah bin Amr wafat dan menyusul mereka yang telah mendahuluinya menghadap Ilahi.
Sumber: 101 Sahabat Nabi Karya Hepi Andi Bustomi
(fath/arrahmah.com)