Serbuan ke Masjid Merah di Islamabad, Pakistan, yang menewaskan 160 orang santri masjid tersebut, membuat posisi Presiden Pervez Musharraf semakin di ujung tanduk. Presiden berpangkat jenderal asal India ini dihadapkan pada pilihan sulit, memberangus habis Islam militan di negerinya dengan konsekuensi dicap diktaktor serta diancam kudeta atau membiarkan Islam terus berkembang untuk kemudian memberlakukan syari’at secara kaaffah di negeri tersebut. Sebuah pilihan yang tidak mudah, mengingat Musharraf adalah sekutu utama Amerika dalam memerangi jihad global pasca 11 September 2001.
Pada Ahad (12/8/2007) Musharraf berpidato pada penutupan pertemuan perdamaian para kepala suku (Jirga) dari Afghanistan dan Pakistan di Kabul, sambil berujar: “Pakistan dan Afghanistan terperosok dalam kondisi semakin meningkatnya ekstremisme dan radikalisme”. Pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 600 kepala suku dan berakhir Ahad itu menyepakati untuk memberangus tempat-tempat perlindungan mujahidin di wilayah masing-masing. (Republika, Senin, 13 Agustus 2007).
Kekhawatiran Musharraf tidak berlebihan mengingat tensi jihad di Afghanistan maupun Pakistan semakin meningkat. Dalam sebuah video yang diperoleh ABCnews.com, ditayangkan prosesi wisuda Mujahidin Taliban yang siap dikirimkan ke Amerika dan Eropa. Tim yang dipersiapkan untuk melakukan serangan di Amerika, Kanada, Inggris dan Jerman itu diperlihatkan dalam sebuah acara kelulusan di kamp latihan Taliban yang diselenggarakan tanggal 9 Juni di sebuah tempat di wilayah perbatasan Afghanistan – Pakistan.
Tempat-tempat perlindungan maupun pusat latihan bagi mujahidin di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan semacam inilah yang membuat Musharraf dan sekutunya Karzai menggigil ketakutan dan segera menggelar acara dengan kepala-kepala suku Pakistan-Afghanistan (Jirga) dengan harapan mereka dapat menahan laju pergerakan para mujahidin di sana.
Sementara itu, kerusuhan kembali terjadi saat pembukaan kembali Masjid Merah Pakistan untuk sholat Jum’at hari ini, dua pekan setelah serbuan militer terhadap militan Islam. Ratusan bekas santri dari Masjid Merah di Islamabad -yang telah dicat ulang warga sejak bentrok berdarah- mendesak dibebaskannya ulama yang ditahan pemerintah dan memasang slogan-slogan anti Presiden Pervez Musharraf. Polisi yang bekerja di kompleks masjid itu ditarik mundur begitu aksi protes berkembang makin keras. Para pendemo kemudian naik ke menara-menara dan membentangkan bendera jihad. (Tempointeraktif.com)
Afghanistan-Pakistan : Markas Jihad Global
Dalam sejarah, bumi Pakistan dan Afghanistan memang tidak pernah sepi dari cerita jihad dan upaya pemberlakuan syari’at Islam secara kaaffah. Bahkan di antara kedua negara tersebut, terdapat jalinan kerjasama jihad global yang sangat ditakuti AS dan sekutu-sekutunya.
Sejarah berdirinya negara Pakistan berawal pada akhir masa kolonial Inggris pada tahun 1947. Pada saat itu, India terbagi-bagi menjadi beberapa negara, di sebelah Barat berdiri negara Pakistan dan di Timur berdiri negara Bangladesh.
Berdirinya Negara Pakistan sedikit banyak terkait dengan gagasan Iqbal dan Abul A’la Al Maududi, penyair dan pemikir, serta ulama terkenal Muslim yang bercita-cita menegakkan negara Islam, yang dilengkapi dengan pemberlakuan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam konstisusi Negara Pakistan tercantum rumusan tentang kedaulatan Allah, dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Sayangnya, konstitusi yang ideal ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pakistan dipenuhi pemikir-pemikir sekuler yang menolak penerapan Islam secara kaafah. Para jenderal sekuler negeri itu, seakan berlomba mengkudeta konstitusi republik Islam itu. Kudeta militer telah terjadi berkali-kali, termasuk naiknya Jenderal Pervez Musharraf menjadi Presiden Pakistan setelah kudeta militer di tahun 1999.
Sementara itu, Afghanistan modern adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai Khurasan dalam sejarah Islam. Khurasan ditaklukkan oleh seorang dari masa tabi’in bernama al-Ahnaf ibnu Qais at-Tamimi. Beliau adalah pemimpin Bani Tamim dan salah satu pemimpin kaum muslimin. Beliau masuk Afghanistan pada tahun 22 M, pada masa pemerintah khalifah ‘Umar r.a. Kota yang pertama ditaklukkan adalah kota Hirat yang bersebelahan dengan Iran, yang kini diperintah oleh Isma’il Khan dari Tajiki Rafidhi.
Khurasan memiliki andil besar dalam sejarah Islam. Dari Khurasan dikibarkan panji-panji Khurasan yang ditancapkan di Irak untuk menegakkan negara khilafah Abbasiyyah. Banyak pemimpin dan ulama besar lahir di masa khilafah ‘Abbasiyyah sebagaimana diceritakan ulama besar Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah.
Afghanistan tidak hanya mencegah penjajah dengan pegunungannya saja, tetapi juga melalui keteguhan penduduknya dan kekuatan dari ketabahan mereka. Sebagaimana diketahui penduduk Afghan adalah orang kuat dan terlatih untuk berperang. Beberapa ahli sejarah menggambarkan mereka sebagai “penduduk yang berwajah batu, berhati singa, bermata elang, dan berkaki cheetah”. Inggris memberi gelar orang Afghan dengan gelar “domba gunung” untuk menggambarkan bahwa tidak mungkin menjinakkannya. Sering diucapkan di kalangan pemerintahan Inggris sebuah ungkapan “kami dapat menaklukkan seluruh penjuru dunia di bawah kontrol kami kecuali kaum badui di gurun pasir di semenanjung Arab dan domba gunung di Afghanistan”.
Sejarah Afghanistan jatuh bangun, hingga pernah berada di tangan pemerintahan komunis. Pemerintahan komunis ini didukung oleh Uni Soviet yang masuk Afghanistan dengan dalih bahwa penguasa komunis Afghanistan meminta bantuan mereka. Sejak masa itu, revolusi jihad dimulai dengan Syekh Abdullah Azzam sebagai salah satu arsitek penting jihad modern. Mujahidin seluruh dunia berkumpul di bumi jihad Afghanistan, hingga akhirnya, atas izin Allah berhasil mengusir penjajah Uni Soviet dan dimulailah pasca pemerintahan para amir jihad, yakni pemerintahan yang membebaskan Afghanistan dari Uni Soviet, hingga masa Imaraah Islamiyyah Afghanistan saat ini yang dikenal dengan sebutan Taliban.
Sepeninggal Uni Soviet, Amerika memerangi Afghanistan, terutama pasca serangan 11 September 2001 dimana AS meminta Mullah Muhammad Umar, Amirul Mu’minin Imaarah Islam Afghanistan untuk menyerahkan Syekh Usamah Ibnu Ladin, namun ditolak. Sejak saat itu pula, berkembang cerita burung bahwa Taliban adalah agen negeri asing atau penumpah darah asuhan intelijen Pakistan. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Husain Ibnu Mahmud, Pembantu Amirul Mu’minin dalam biografi tentang Mullah Muhammad Umar, bahwa Taliban tidak pernah menjadi mainan intelijen Pakistan. Kini, baik pemerintah Pakistan maupun Amerika membidik Taliban dengan satu busur.
Dengan demikian, keberadaan wilayah Pakistan-Afghanistan untuk perkembangan jihad global sangatlah subur dan hal inilah yang sangat dikhawatirkan AS dan pemerintahan Pakistan sebagai sekutu dekatnya. Realita tidak bisa dihancurkannya pasukan Taliban dan Al Qaida (meski pun sudah digempur habis-habisan di pegunungan Tora Bora) membuat Bush gusar, begitu pula Musharraf dan Karzai. Akhirnya mereka pun sepakat bersekutu, memberangus jihad global di wilayah tersebut.
Musharraf dan Serangan ke Masjid Merah
Apa yang dilakukan Pervez Musharraf sekali lagi membuka identitasnya sebagai musuh jihad global dengan membunuh saudara-saudara Muslim di Lal Masjid (Masjid Merah), hanya karena mereka memiliki keberanian untuk menyuarakan penegakan Syari’ah dan karena mereka secara fisik mencegah kemungkaran di tengah masyarakat Pakistan, yang seharusnya menjadi pekerjaan Musharraf yang gagal dilaksanakannya.
Musharraf teryata lebih memilih untuk menyebarkan kezaliman dari perbatasan Pakistan sampai ibu kota (Islamabad). Dia adalah seorang yang melabeli santri di Masjid Merah dan di seluruh Pakistan sebagai teroris. Dia adalah orang yang melumuri tangannya dengan darah saudara-saudara Muslim. Terlihat Musharraf lebih takut kepada sekutunya Amerika, hingga selalu mematuhi keinginan tuannya tersebut.
Padahal, Musharraf seharusnya menyadari bahwa syari’ah adalah satu-satunya pilihan bagi rakyat Pakistan yang terus terpuruk. Syariah adalah satu-satunya hal yang akan memastikan keamanan bagi Muslim dan non-Muslim serta melindungi keyakinan, kehidupan, kehormatan, pemikiran dan harta semua warganegara. Dengan tidak diterapkannya syariat secara kaaffah di Pakistan, maka akan semakin membawa kehancuran dan kehinaan. Karena sejak kemerdekaan Pakistan pada 1947, pemerintah terus gagal untuk mengimplementasikan syari’ah tetapi malah mengadopsi ideologi rusak Barat sebagai gaya mereka, menjadi sekuler, demokrasi, liberalisme atau diktator.
Serangan Musharraf ke Masjid Merah jelas telah memperkeruh konflik intern di negeri tersebut. Bahkan seorang pengamat Pakistan dalam wawancaranya di Televisi Al Alam, Al Halbawi, menilai serangan militer terhadap Masjid Merah di Islamabad, meningkatkan instabilitas dalam negeri dan diperkirakan akan menyulut revolusi di negeri tersebut. Pengamat Pakistan tersebut mengimbau Musharraf untuk lebih memprioritaskan solusi logis daripada kebijakan supresif.
Pejuang pro-Taliban di Waziristan Utara, dalam selebarannya mengatakan akan menolak semua dialog dengan pemerintah karena pemerintah tidak mengabulkan tuntutan mereka, yaitu selambat-lambatnya pada Ahad, membongkar 25 pos pemeriksaan yang baru didirikan.
Sementara itu, tiga serangan bom bunuh diri pada akhir pekan telah menewaskan hampir 60 orang, kata polisi, Ahad kemarin. Sedikit-dikitnya 18 orang tewas dalam suatu ledakan di pusat penerimaan anggota polisi di Provinsi Perbatasan Barat, Ahad, beberapa jam setelah dua bom mobil menghantam iring-iringan tentara di Lembah Swat dan menewaskan 17 orang. Sehari sebelumnya, satu bom mobil menghantam iring-iringan paramiliter di kawasan persukuan di Waziristan Utara dan menewaskan 24 orang. Jumlah keseluruhan yang tewas mencapai 59 orang ditambah beberapa yang luka. Semua serangan ini terjadi sebagai bentuk kemarahan akibat penyerbuan tentara terhadap Masjid Merah di Islamabad, yang menewaskan 160 santri.
Syahidnya Syekh Abdul Rashid Ghazi juga semakin meningkatkan solidaritas jihad global di negeri tersebut. As Sahab Media telah merilis video yang berisikan ceramah Syekh Abu Yahya Al-Libbi-pimpinan mujahidin Al Qaida di Afganistan-menganalisis peristiwa penyerbuan ke Masjid Merah dan memuji serta mendoakan syahidnya Syekh Abdul Rashid Ghazi dan menjulukinya sebagai “Master of Martyrs”.
Dengan demikian, sejak Musharraf melakukan penyerangan ke santri Masjid Merah dirinya terus dibayang-bayangi aksi-aksi jihad. Bahkan ketika merayakan hari kemerdekaan Pakistan, Selasa, 14 Agustus 2007, Musharraf memperingati hari kemerdekaan Pakistan yang ke-60 di tengah ketakutan dan bayang-bayang dosa yang telah diperbuatnya sendiri. Presiden Pakistan Pervez Msharraf dalam sambutannya meminta rakyat Pakistan untuk menolak segala bentuk ekstrimisme menjelang pemilu di negara itu. “Saya meminta rakyat Pakistan untuk ikut serta dalam proses pemilihan umum dan menjadi instrumen dalam pembangunan negara,” kata Musharraf, sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera.
Jadi, posisi Musharraf saat ini betul-betul di ujung tanduk. Musharraf dihadapkan pada sebuah dilema yang harus segara diputuskan. Apakah dia harus tetap menjadi ‘kacung’ Bush yang dengan demikian akan melawan 97 persen rakyat Pakistan yang muslim dan sebahagiannya meminta diterapkan syari’at Islam secara kaaffah. Atau dia harus mengikuti kata hatinya dan tetap menjadi seorang Muslim (meski berkonsekuensi dimusuhi oleh Bush dan sekutunya), sebagai seorang pemimpin dari negara besar yang terpuruk akibat perang saudara, ancaman kudeta, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan berbagai bencana alam dan lalu menerapkan syari’at Islam dengan harapan menjadi solusi seluruh krisis yang ada ?
Inilah saatnya kaum muslimin di seluruh dunia melihat dan menyaksikan apa yang akan dipilih oleh Musharraf, Islam, atau sekuler? Tetap menjadi seorang Muslim atau menjadi kacung Bush dan memerangi jihad global ? Wallahu’alam bis Showab!
Oleh : M Fachry
14 Agustus 2007
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media