(Arrahmah.com) – Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) akhirnya batal bebas. Resmi. Sah. Pada Senin petang, 21 Januari 2019. Diumumkan oleh Wiranto, menkopolhukam, dari kantornya.
Meralat atasannya, presiden Jokowi, yang menjanjikan kebebasan untuk ABB sejak dua hari sebelumnya. Jokowi dengan gagah menjanjikan kebebasan ABB dengan alasan kemanusiaan. Manis banget.
Ustadz ABB sebetulnya sudah punya hak untuk mengajukan bebas bersyarat sejak tanggal 23 Desember 2018 karena sudah menjalani 2/3 masa hukuman.
Tapi Ustadz ABB tidak mengambilnya karena tahu ada syarat menandatangani ikrar kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI. Ustadz ABB lebih memilih mendekam di penjara sampai habis masa hukumannya daripada harus mengkhianati hal prinsip dalam aqidahnya.
Tapi entah mendapat bisikan gaib dari mana tiba-tiba pada Jumat 18 Januari 2019 publik dikejutkan berita janji Jokowi untuk membebaskan Ustadz ABB tanpa syarat apapun. Tentu saja maksudnya syarat tanda tangan ikrar kesetiaan itu.
Jokowi mengutus kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, untuk menuntaskan proses pembebasan ini. Yusril mengatakan bahwa keputusan itu telah dikoordinasikan dengan semua instansi terkait.
Tentu Ustadz ABB merasa bahagia karena ada harapan bebas lebih cepat tanpa harus menggadaikan prinsip aqidahnya. Keluarga berbunga-bunga menanti pembebasan yang dijanjikan dalam beberapa hari ke depan itu.
Umat ikut senang, meski dalam hati menduga pembebasan ini lebih sebagai pencitraan menjelang pemilu. Dan Jokowi juga wajahnya gembira karena harapan menang pemilu kian pasti.
Pada akhirnya itu semua drama PHP. Jokowi meralatnya hanya dalam dua hari kemudian. TPM sudah menduganya dari awal. Ustadz ABB biasa saja, karena dari awal tidak mengemis memintanya.
Alasan kemanusiaan yang sejak awal dijadikan pertimbangan Jokowi, harus kalah oleh konstitusi tentang harga mati NKRI. Jantung ideologi NKRI terlalu mahal untuk digadaikan pertimbangan kemanusiaan. Sebuah potret radikalisme negara.
Lakon dari drama ini bukan ABB, bukan Jokowi, bukan Yusril, bukan Wiranto bukan pula Tito. Bukan pula tentang upaya pencitraan menjelang Pilpres 2019. Ini tentang pertarungan abadi antara dua harga mati. NKRI harga mati melawan Islam harga mati.
Dua harga mati tak akan pernah ketemu. Tidak bisa “dilempengin” harganya sebagaimana umumnya transaksi jual beli. Atau sekedar “goyang dikit”.
NKRI harga mati diperankan oleh rezim dan semua orang yang mendukungnya. Termasuk rakyat, bangsa dan umat Islam yang tiap hari dicekoki doktrin ini. Hingga mereka menerima tanpa sadar bahwa memang sudah semestinya NKRI itu harga mati. Jumlah mereka wallahu a’lam. Pokoknya banyak. Mungkin saja sejumlah penduduk negeri ini dikurangi satu saja, ustadz ABB.
Sementara pengusung Islam harga mati ya cuma Ustadz ABB. Setidaknya dalam drama ini. Tegar bagai karang. Sesuai dengan diksinya, harga mati. Tak bisa ditawar. Tak ada kompromi. Tak bisa goyang. Tak bisa dilempengin. Wis pokoke.
Pertarungan dua frasa ini memang brutal. Garis keras. Radikal. Fundamentalis. Menang kalah. Hidup atau mati. Lu jual gua beli. Kalau gak mau ya sudah.
Orang bilang Ustadz ABB garis keras, radikal dan fundamentalis. Itu tidak fair. Drama yang terjadi membuktikan Jokowi, Wiranto, Ryamizard, Yusril, Yasonna, Tito, Luhut dan semua pendukung rezim juga garis keras, radikal dan fundamentalis. Bedanya hanya Ustadz ABB memerankan frasa Islam harga mati. Sementara mereka semua memerankan frasa NKRI harga mati. Sampai di sini paham ?
Islam Harga Mati Bagi Pemeluknya
Islam adalah ideologi yang dibingkai pengecualian. Substansi tauhid itu pengecualian. Hanya. Cuma. Semua pengecualian mengandung harga mati. La ilaha illallah, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Bermakna Allah harga mati, yang lain batil dan sama sekali tidak boleh disembah. Jika ada orang yang mengaku muslim tapi semenit saja sujud kepada berhala, maka seluruh ibadahnya selama hidup akan terhapus. Ia telah musyrik. Batal Islamnya.
Nabi Muhammad saw harga mati. Al-Qur’an harga mati. Satu-satunya kitab suci yang terpelihara dari pemalsuan tangan manusia. As-Sunnah harga mati. Dan akhirnya Islam harga mati. Sederhana saja, karena yang benar hanya Islam.
Kalau tidak punya keyakinan seperti ini, ngapain juga capek-capek beragama Islam. Ngapain juga capek-capek shalat, puasa, haji dan seterusnya. Mending gantian saja, hari ini beragama Islam, besok Nasrani sehingga libur shalat, lusa Hindu dan seterusnya. Itung-itung wisata religi. Toh semuanya benar. Ketika tidak mau beragama gantian, logika kebaliknya berarti meyakini yang benar hanya Islam, agama lain batil alias salah. Kata kuncinya, hanya. Atau kecuali. Atau satu-satunya. Atau harga mati.
Ketika Ustadz ABB yang mengusung Islam harga mati, berbagai stigma negatif lahir. Ustadz ABB radikal. Garis keras. Hingga teroris. Padahal tanpa sadar semua umat Islam meyakini keharga-matian itu. Hanya saja tidak berani menyuarakannya. Atau ya sudahlah daripada repot, ngikut angin aja.
Ideologi pengecualian itu yang menjadi pasal inti penolakan bangsa Arab zaman Jahiliyah terhadap dakwah Islam yang dibawa Nabi saw. Bukan tentang pengakuan Tuhan itu Esa bernama Allah.
Sebab Al-Qur’an menceritakan bahwa jika masyarakat Arab zaman Jahiliyah ditanya siapakah pencipta langit dan bumi, mereka pasti menjawab Allah. Maknanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya Pencipta bukan merupakan pasal yang diperdebatkan.
Sosok Tuhan pada zaman Jahiliyah lebih definitif dibanding zaman sekarang di Indonesia. Dahulu orang mengenali Tuhan itu Maha Esa. Dan namanya Allah.
Dua poin terpenuhi. Sedangkan zaman sekarang, frasa sila pertama Pancasila hanya memuat sisi ke-Maha Esa-an Tuhan. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun namanya tidak definitif. Bisa Allah bisa pula yang lain. Hanya satu poin terpenuhi. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa secara ketuhanan, Indonesia lebih liberal dibanding zaman Jahiliyah.
Ideologi pengecualian yang dibawa Islam adalah pengecualian dalam hal Tuhan sebagai obyek sesembahan dan ketundukan. Tuhan satu-satunya yang sah disembah dan ditaati hanyalah Allah. Bukan Tuhan dalam konteks penciptaan. Tuhan dalam konteks penciptaan diistilahkan Rabb. Tuhan dalam konteks obyek ketundukan diistilahkan Ilah.
Masyarakat Arab Jahiliyah menerima Tuhan Allah dalam konteks penciptaan sebagai satu-satunya Pencipta tak ada duanya. Tapi mereka menentang Tuhan Allah dalam konteks obyek ketundukan sebagai satu-satunya obyek ketundukan yang sah, yang lain ilegal. Mereka maunya boleh menyembah dan tunduk kepada Tuhan manapun suka-suka manusia, sesuai keyakinan masing-masing.
Al-Qur’an menggambarkannya sebagai berikut:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) وَانطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَىٰ آلِهَتِكُمْ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ (6) مَا سَمِعْنَا بِهَٰذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَٰذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ (7)- سورة ص
Apakah (Muhammad) ingin membatasi Tuhan obyek sembahan (ilah) yang banyak itu menjadi satu saja ? Sungguh ini sesuatu yang aneh. Para tokoh (merespon) dengan menghimbau masyarakat, jalan terus dan konsistenlah kalian semua dengan Tuhan-tuhan kalian (yang banyak itu), sungguh hal inilah yang diinginkan (oleh ideologi kita). Kita tak mendengar (seruan pengecualian) ini pada agama terakhir (Nasrani), pastilah (seruan Muhammad ini) hanya karangan dia. (QS. Shad: 5-7)
Para tokoh Jahiliyah membandingkan Tauhid yang didakwahkan Nabi saw dengan konsep ketuhanan Nasrani sebagai agama terakhir. Nasrani meski membatasi tapi tidak mengecualikan hanya satu. Mereka masih lumayan dengan menerima ada tiga Tuhan sebagaimana dalam konsep Trinitas. Atas dasar ini, mereka menuduh Nabi Muhammad saw mengada-ada dengan ideologi pengecualian itu.
Ketundukan dan penghambaan itu dibingkai ideologi pengecualian. Tidak boleh tunduk kecuali kepada Allah dan aturan yang berasal dari Allah. Maka lanjutannya, tidak boleh tunduk kecuali kepada konstitusi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Secara umum bisa diringkas menjadi frasa Islam harga mati.
Sejatinya ideologi ini biasa saja, lumrah dalam kehidupan, bukan sesuatu yang radikal. Ketika seseorang meyakini Allah satu-satunya pencipta jagat raya, maka wajar dong Allah menjadi satu-satunya yang boleh ditaati dan disembah. Sebagaimana seorang istri ketika meyakini si Fulan adalah satu-satunya suami, maka suaminya saja yang diberi cinta dan ketaatan. Ketika ia membagi cinta kepada lelaki lain, ia menjadi istri yang salah. Maknanya, dalam kehidupan suami istri saja berlaku ideologi pengecualian. Apalagi dalam masalah ketuhanan.
Ideologi pengecualian yang dibawa Islam ini menjadi terasa radikal karena berada di tengah ideologi NKRI harga mati yang lebih kuat. Berbeda dengan zaman keemasan Islam, ideologi pengecualian yang berkuasa maka ia menyatu dalam kehidupan umat Islam tanpa terasa sebagai masalah.
NKRI Harga Mati Bagi Anak Bangsa
Pancasila, UUD 45 dan NKRI itu simbol ideologi. Berisi kalimat, diktum dan frasa yang menarasikan keberagaman. Bhinneka tunggal ika. Gado-gado. Tak ada yang sakral. Dan tak ada yang boleh disakralkan. Satu-satunya yang boleh disakralkan ya keyakinan akan kebhinekaan itu. Keberagaman itu. Gado-gado itu.
Inti dari ideologi Pancasila adalah wajib beragam, haram tunggal. Haram kecuali. Kecuali Pancasila itu sendiri. Bersama UUD 45 dan NKRI. Lalu disebut harga mati. Jika ada yang membawa pengecualian, akan ditendang hingga keluar gelanggang.
Indonesia ingin mempersatukan keberagaman itu. Agama ada banyak di negeri ini. Suku banyak. Bahasa banyak. Jika keberagaman itu tidak dibingkai nasionalisme, akan membuat keutuhan negeri dalam bahaya.
Maka dibuatlah konstitusi yang memayungi keberagaman itu, tanpa ada yang diistemawakan. Semuanya diberi hak hidup, sepanjang masing-masing tunduk kepada NKRI. Dari sini kemudian berkembang menjadi jargon NKRI harga mati.
Itu artinya agama apapun yang hidup di Indonesia wajib menyesuaikan diri dengan aturan kebhinekaan yang diusung NKRI. Boleh dilaksanakan dalam tataran privat, tapi tidak boleh dijadikan hukum positif yang mengikat di tengah kehidupan sosial. Atau dengan kata lain, agama-agama – dalam hal ini Islam – harus menempatkan diri sebagai subordinat di bawah konstitusi NKRI.
Hanya karena berkuasa, NKRI harga mati tampak manis. Pengusungnya jadi humanis. Padahal secara substansi tak ada bedanya sama sekali dengan Islam harga mati yang diusung oleh Ustadz ABB. Sama-sama fundamentalis. Sama-sama tak mau ditawar.
NKRI harga mati menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memastikan tak ada yang bisa dan berani menawar. Didukung media mainstream. Ditopang berbagai aturan hukum yang dengan mudah bisa dibuat untuk menjaga keharga-matian itu. Dikuatkan oleh sistem politik global yang berbasis Demokrasi dan Liberalisme. Lengkap sudah hegemoni NKRI harga mati atas Islam harga mati.
Sementara Ustadz ABB hanya menggunakan fisiknya yang ringkih untuk memastikan Islam harga mati tak ditawar oleh NKRI harga mati.
Usia kian senja. Kesehatan makin menurun. Jeruji penjara masih lama, hingga 2023. Sendirian di sana. Sendirian pula berdiri tegar laksana karang di hadapan kekuatan NKRI harga mati. Tapi dengan segala keterbatasannya, Ustadz ABB hingga saat ini tak goyah. Tak minta belas kasihan. Hebat bukan ?
Dilema Muslim – Anak Bangsa
Menjadi muslim sekaligus anak bangsa selalu menjadi dilema. Islam itu ideologi yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan dari A sampai Z, termasuk aturan tentang pidana, perdata dan ekonomi.
Seorang muslim haram untuk keluar dari aturan itu. Ia terikat secara penuh tanpa kecuali. Kesediannya mengambil Islam sebagai agama mengandung konsekwensi logis hidupnya diatur Islam secara keseluruhan. Termasuk terikat dengan ideologi pengecualian; la ilaha illallah.
Sebagai anak bangsa lain lagi. Ia terikat keharusan tunduk dan terikat pada ideologi NKRI yang memayungi semua anak bangsa. Ideologi kebangsaan yang akan menjadi bingkai pemersatu dan pemutus perkara jika terjadi friksi sesama anak bangsa.
Memang ideologi ini tidak mengikat keseluruhan aspek kehidupan, tapi setidaknya dalam masalah pidana, politik dan sistem ekonomi diatur olehnya. Dan beberapa perkara lain.
Pada bagian ini dilema itu terjadi. Seorang muslim tidak boleh mengambil Islam sebagian dan meninggalkan sebagian. Misalnya mengambil ibadah-ibadah privat tapi meninggalkan aspek hukum dan politik. Tapi harus mengambil seluruhnya.
Karenanya, tersisa dua pilihan dilematis; mengambil Islam seluruhnya yang mengandung konsekwensi menolak tunduk kepada konstitusi NKRI karena memang kontradiktif pada bagian tertentu, atau mengambil NKRI yang mengandung konsekwensi mengabaikan sebagian ajaran Islam.
Seorang Ustadz ABB menyikapi persoalan ini sebagai perkara basic, sebagaimana Jokowi melihat ini perkara basic. Karenanya masing-masing bertahan dengan harga matinya. Pada akhirnya siapa yang berkuasa menjadi penentu. Hukum rimba berlaku.
Ketika NKRI harga mati yang berkuasa, maka Islam harga mati menjadi pesakitan dan buronan. Islam harus mau menjadi subordinat NKRI. Islam terpasung. Tidak bisa merdeka.
Bahkan hak tinggal di tanah air sendiri bisa digugat. Dengan kalimat pedas; kalau tidak mau menerima Pancasila, cari saja tanah di luar Indonesia. Suka-suka NKRI dalam memberi stigma atau mempersekusi.
Tapi jika Islam harga mati yang berkuasa, paham kebangsaan ala NKRI akan menjadi paham jahiliyah yang dibenci. Konstitusi buatan manusia tidak mendapat ruang, sebab rujukan tunggalnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Islam tak mengenal kebangsaan. Adanya keumatan. Tak mengenal undang-undang buatan manusia. Semuanya harus tunduk di bawah wahyu Allah.
Nah di sinilah kehebatan Ustadz ABB. Atas karunia Allah. Dia berani mengusung dan memperjuangkan Islam harga mati dengan jiwa dan raganya.
Rela meringkuk di penjara meski fisik sudah makin renta demi frasa Islam harga mati. Tak mau menerima Pancasila harga mati. Tegar di hadapan NKRI harga mati. Meski hanya membubuhkan tanda tangan persetujuan.
Jadi teringat Ibrahim AS. Seorang diri merusak berhala. Seorang diri mengusung narasi “berhala itu bodoh tak layak dijadikan Tuhan” di hadapan rezim yang berada di puncak fanatisme terhadap berhala.
Ketika Ibrahim AS menyarankan agar bertanya kepada berhala besar yang tersisa. Bertanya tentang siapa pelaku perusakan. Akhirnya mereka terdiam. Bangunan argumen sakralitas berhala sontak runtuh dihantam narasi yang ditembakkan Ibrahim AS.
Padahal rezim Namrud punya tentara. Punya uang. Punya semua perangkat untuk sekedar melenyapkan seorang Ibrahim AS yang tak punya apa-apa dan siapa-siapa kecuali Allah. Bisa menghukum dengan cara paling brutal sekalipun. Toh siapa yang peduli.
Juga teringat Sayyid Qutb – Allah yarham. Menolak membubuhkan tanda tangan pengakuan bersalah dan minta maaf terhadap Gamal Abdun Naser atas dakwahnya mengusung Tauhid. Padahal tanda tangan itu diperlukan untuk mengurungkan prosesi hukum gantung yang sedang berlangsung.
Prinsip harga mati yang sangat terkenal darinya ,”Jemari yang digunakan mengesakan Allah saat tahiyat, pantang digunakan untuk menggerakkan pena minta maaf kepada musuh Allah”.
Jelas sikap harga mati yang diusung Ustadz ABB merupakan teladan langka di zaman yang kian liberal. Manusia unik. Apalagi untuk umat Islam Indonesia.
Seperti suara lantang membangunkan umat yang lalai. Umat yang menjadikan Islam mudah ditawar-tawar oleh kepentingan kekuasaan. Membangkitkan energi perlawanan terhadap Liberalisme yang dibingkai harga mati.
Sikap tegar Ustadz ABB juga mengoreksi sahabat seperjuangan lain jika dengan tidak merasa bersalah mengajukan PB (Pembebasan Bersyarat). Padahal mereka tahu ada syarat ikrar itu. Ustadz ABB ditawari saja tidak mau, apalagi meminta. Seolah Ustadz ABB memberi nasehat secara tidak langsung, wahai ikhwan, ingatlah sikap kalian itu keliru secara aqidah meski enak secara dunia.
Berani Menang Parsial Saat Kalah Secara Global
Nabi Muhammad saw pada akhirnya menang dengan pertolongan Allah dalam perjuangannya mengusung Islam harga mati. Umumnya kita asyik membanggakan kemenangan dan kejayaan Islam. Tapi lupa sunnatullah dalam menapaki kemenangan itu.
Sunnatullahnya begini. Nabi Muhammad saw sejak seorang diri tegar mengusung Islam harga mati. Ini titik awal perjalanan. Dalam proses memperjuangkannya, sepanjang jalan Nabi saw tak goyah membawa Islam harga mati, apapun resikonya.
Maka Allah kemudian memenangkan Islam dalam rupa sejak awal diperjuangkan; Islam harga mati jaya, menumbangkan jahiliyah nan syirik. Titik awal, sepanjang perjalanan, dan ending cerita semuanya dibingkai Islam harga mati. Tak ada satupun dan sedetikpun Nabi saw mengkhianati Islam harga mati.
Banyak umat Islam yang cita-citanya luhur; Islam menang. Tapi titik berangkatnya sudah salah. Sudah mengkhianati Islam harga mati. Ia memulainya dari titik Liberal. Ia memulai dari bingkai NKRI harga mati. Lalu jalan memperjuangkannya juga Liberal.
Dibingkai nasionalisme dan kebangsaan. Maka, dari mana Islam harga mati akan menang, jika titik tolak dan perjalanan memperjuangkannya sudah mengkhianati Islam harga mati.
Tidak mungkin ada sunnatullah baru; titik awal Liberal, sepanjang jalan Liberal, lalu tiba-tiba menang dalam wujud Islam harga mati.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Bisa karena tidak mengerti rambu perjalanan. Bisa karena tidak berani menempuh resiko seperti keberanian Ustadz ABB. Tentu yang terbaik adalah mengerti dan berani. Tapi jika tidak, minimal seperti nasehat Nabi saw: berkata benar atau diam.
Ada sunnatullah lain yang menarik direnungkan. Bahwa keberanian menang secara parsial meski kalah secara global merupakan syarat mutlak turunnya karunia kemenangan sempurna dari Allah.
Ustadz ABB berani menang secara parsial, menang secara argumen. Meski kalah secara global; jumlah pendukung, uang, tentara, politik dsb.
Ustadz ABB mengusung argumen, bahwa dirinya hanya setia kepada Islam, memanfaatkan frasa yang biasa diusung rezim penguasa bahwa Pancasila tak bertentangan dengan Islam.
Jika memang tidak bertentangan, mengapa ikrar setia kepada Islam dipersoalkan ? Mengapa harus ikrar setia kepada Pancasila ? Maka dengan argumen Ustadz ABB ini frasa pemerintah terpatahkan; ternyata Pancasila bertentangan dengan Islam.
Dan setelah batal pembebasan, Ustadz ABB mengusung argumen; jika memang jujur karena alasan kemanusian dan membantu, mengapa tak memberi remisi yang banyak saja agar bebas. Sebab pemerintah diberitakan telah memberikan remisi selama 77 bulan terhadap seorang koruptor. Lagi-lagi kemenangan argumen yang telak.
Tapi masalahnya, kemenangan parsial ini dibarengi kekalahan secara global. Penguasa punya segalanya. Suka-suka penguasa. Dan pada akhirnya, kemenangan parsial itu hanya bisa dinikmati di balik jeruji besi.
Ibrahim AS juga berani menang secara parsial meski kalah secara global. Demikian juga Sayyid Qutb – Allah yarham. Dan kemenangan yang paling berat adalah kemenangan dalam momentum seperti itu.
Banyak orang yang lebih memilih kalah, demi menghindari resiko, meski sebetulnya ia bisa menang secara argumen dengan telak. Hari ini umat Islam membutuhkan generasi yang berani menang parsial meski kalah secara global, sebagai syarat Allah akan memberikan kemenangan secara sempurna.
Jika menghindari menang secara parsial, Allah tentu enggan memberi kemenangan secara total. Renungkan.
Nasehat Surat Al-Kafirun
Ada satu ayat yang dibajak oleh pengusung ideologi Liberal. Terdapat di surat Al-Kafirun. Ujung surat. Bunyinya: lakum dinukum wa liya din. Untukmu ideologimu, untukku ideologiku. Lalu digunakan untuk memukul pengusung ideologi pengecualian. Pengusung Islam harga mati.
Ini aneh. Bagaimana mungkin Al-Qur’an dibingkai ideologi pengecualian kok punya ayat bercorak Liberal. Jelas pemahaman terhadap ayat ini yang masalah.
Surat Al-Kafirun turun sebagai jawaban atas loby tokoh-tokoh Quraisy Jahiliyah dalam upaya menghentikan atau minimal membelokkan garis dakwah Nabi saw. Saat dakwah Nabi saw kian meluas, mereka makin frustasi untuk menghadang secara frontal. Akhirnya mereka mencoba bernegosiasi secara kekeluargaan.
“Kami siap ibadah dengan Anda sekian lama, asalkan Anda mau beribadah dengan kami sekian lama,” kata mereka.
Sekilas negosiasi seperti ini manis dan humanis. Win-win solution. Tapi jika dicermati dengan seksama, tawaran ini akan meruntuhkan ideologi pengecualian. Maka ayat dalam surat Al-Kafirun membimbing Nabi saw agar tidak terjebak dalam loby halus tapi menjebak itu.
Mari kita berandai. Seandainya Nabi saw menuruti loby mereka, lalu semenit saja ikut nimbrung dalam ibadah mereka menyembah berhala, maka runtuh ideologi pengecualian; tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Faktanya Nabi saw menyembah berhala, maka batal keislaman Nabi saw.
Tapi kaum Liberal, seperti halnya tokoh-tokoh Quraisy tersebut, enteng saja ikut ibadah dengan cara Islam. Ideologi mereka serba boleh, mau menganut agama apa saja boleh. Maka kesediaan mereka beribadah dengan cara Nabi saw justru memperkuat citra ideologi Liberal itu. Mau gonta-ganti sesukanya.
Nah jika Nabi saw menyetujui loby tersebut, ideologi Islam harga mati yang diusung Nabi saw runtuh. Sementara ideologi Liberal makin berkibar. Maka surat AL-Kafirun harus dimaknai dalam bingkai pemahaman seperti ini. Bukan dibingkai pemahaman Liberal.
Dengan demikian makna lakum dinukum wa liya din, justru penolakan tegas intervensi ideologi lain terhadap ideologi Islam. Surat ini turun saat Nabi saw masih lemah di Makkah. Tepat sekali dijadikan panduan perjalanan bagi umat Islam saat ini yang juga lemah di tengah hegemoni ideologi Liberal.
Saat Islam lemah, jangan mau dijadikan subordinat dari ideologi lain. Tapi jadikan Islam tegar dan mandiri apapun resikonya. Mirip sekali dengan sikap Ustadz ABB: “Kami hanya setia dengan ideologi kami sendiri, Islam harga mati, saya tidak mau tunduk kepada ideologi Anda – NKRI harga mati.
Bagimu ideologimu, bagiku ideologiku. Apapun resikonya aku akan bertahan dengan ideologiku, meski nyawa taruhannya”.
Inilah makna yang benar dari ayat lakum dinukum wa liya din. Bingkainya adalah ideologi pengecualian, bukan ideologi Liberal. Wallahua’lam bis-shawab.
@elhakimi – 24012019
(*/arrahmah.com)