Januari biasanya menjadi bulan yang sibuk bagi petani di Gaza, karena menandai musim tanam gandum, namun sejauh ini Jaber Abu Rajela hanya memiliki sedikit pekerjaan yang dilakukan pada 8 hektar lahan di Abasan Al-Kabira, dekat perbatasan “Israel”.
“Saya tidak memiliki apa-apa untuk dilakukan Saya mencari jalan keluar dari negeri ini karena tidak ada lagi yang bisa kami lakukan,” ujar Abu Rajela, pria berusia 57 tahun, mengatakan dengan muka sedih. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu pasukan “Israel” menyemprot pestisida di atas lahan pertanian sebelum masa tanam, karena tanaman akan hancur jika mereka menyemprotnya setelah it. Palang Merah mengatakan kepada petani bahwa “Israel” akan menyemprot pestisida dari pertengahan Desember hingga pertengahan Januari.
Menurut Adam Bassiouni, ketua Pengendalian Hama Terpadu Gaza, mengatakan sebagian besar tanaman di lebih dari 4.000 dunam tanah di dekat perbatasan, rusak tahun lalu karena disemprot pestisida.
Tanah yang paling subur di Gaza kini menjadi lokasi berbahaya. Lebih dari sepertiga dari lahan pertanian Gaza kini merupakan bagian dari “zona penyangga Israel”.
Keluarga Abu Rajela telah menjadi keluarga petani selama beberapa generasi, tetapi tidak pernah mengalami masa sesulit saat ini. Pasukan “Israel” telah menembak para petani saat mereka bekerja di dekat “zona penyangga”, dan karena pemadaman listri, sistem irigasi tidak bisa mengairi tanaman, Abu Rajela menjelaskan.
Dengan berkurangnya lahan yang bisa dioleh dan sistem air yang sebagian besar terkontaminasi, banyak warga Palestina di Jalur Gaza telah mencari cara-cara alternatif untuk mendapatkan makanan segar dan air.
Saat matahari terbenam di Januari yang hangat, tiga cucu Said Salim Abu Nasser berjongkon di tanah, menggunakan batu bata untuk menghancurkan kapur menjadi bubuk kalsium untuk membantu menanam sayur di air.
Abu Nasser (53), telah menumbuhkan 3.500 kilogram produk organik tanpa lahan, mengubah atap rumahnya dan banyak beton di Kota Gaza menjadi oasis organik. Ia menanam belasan jenis sayur dan rempah-rempah untuk keluarganya, termasuk delapan anak dan delapan cucu.
Menggunakan teknik hidroponik, Abu Nasser dapat menanam dua kali lebih banyak tanaman dibandingkan dengan teknik konvensional, dan ia menghemat 90 persen lebih banyak air dengan daur ulang air padat nutrisi. Brokoli, tomat, selada dan kembang kol mengapung di kotak polystyrene dengan lubang-lubang, sementara akarnya menyerap nutrisi dari air.
“Selama enam bulan, saya tidak perlu mengganti air,” ujar Abu Nasser kepada Al Jazeera.
Ketika listrik padam, panel surya menghasikan energi yang cukup, bahkan di musim dingin, untuk memompa pipa oksigen ke dalam air untuk tanamannya.
Di atap, ia menanam tumbuh-tumbuhan, selada, parprika dengan pertanian aquaponic. Air, yang mengandung kotoran dari ikan yang berenang di barel, digunakan sebagai nutrisi penting untuk menumbuhkan produk.
“Kami sebelumnya berpikir bahwa tidak mungkin menumbuhkan apapun di air yang tinggi salinitas, tapi setelah percobaan [Abu Nasser], kami menemukan bahwa kami bisa,” ujar Mahmud Jawad Al-Ajouz, seorang profesor pertanian di Universitas Al-Azhar, Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera.
Seorang tukang kayu, Abu Nasser menerima hibah dan pelatihan dasar dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB untuk memulai ladang mikro-hidroponiknya.
“Ketika saya memulai pertanian ini, saya mengalami masalah. Setelah 15 hari, tanaman saya mati,” ujar Abu Nasser.
Pertanian hidroponik bukanlah pekerjaan yang mudah, air bisanya memerlukan campuran 16 elemen yang berbeda untuk tanaman agar tumbuh dengan sukses. Setelah bereksperimen secara konstan dan mengikuti penelitian dari Universitas Al-Azhar, Abu Nasser belajar semua trik yang tepat.
Pupuk mineral sangat mahal di Gaza, sehingga sebagai alternatif, ia telah belajar mencampur kulit telur dan abu yang telah dikeringkan di dalam air sebagai sumber kalsium, kalium dan fosfor. Kapur yang dihancurkan oleh cucu-cucunya juga digunakan sebagai alternatif sumber kalsium yang mudah didapat dan murah.
“Setiap rumah harus memiliki sebuah pertanian,” ujar Abu Nasser.
“Petani hanya memikirkan bagaimana mereka menghasilkan uang, mereka menyemprot terlalu banyak pestisida, bahan kimia dan pupuk pada tanaman mereka, yang berdampak pada makanan, tanah dan air. Kami bekerja untuk generasi masa depan sehingga mereka, pada gilirannya, bisa menumbuhkan makanan sehat untuk mereka sendiri.
Iyad A-Attar, dari Beit Lahiya di Gaza utara, juga menerima hadiah dari PBB untuk peluncuran proyek hidroponik setelah lahan pertanian yang disewa keluarganya telah dibuldose dan dianeksasi sebagai bagian dan “zona penyangga Israel”.
Ia menghabiskan beberapa tahun untuk budidaya ikan di halaman belakang pertanian hidroponiknya. Setelah banyak percobaan mahal, kini ia bisa menumbuhkan 5.000 selada tiap tahunnya di atas air, bersama dengan belasan tanaman lainnya. Untuk mencegah penyakit tanamn, ia menggunakan solusi pencampuran bahan-bahan alami seperti bawang, cabai dan zaitun, bukan bahan kimia.
“Hal yang paling berharga adalah kesehatan manusia,” ujar Attar.
“Situasi di Gaza mendorong saya untuk mengejar proyek ini. Ada terlalu banyak bangunan, lahan terus menyusut dan air bersih langka.”
Pertaniannya rusak selama serangan “Israel” di Gaza pada 2012 dan benar-benar hancur di tahun 2014, ketika sebuah pesawat tak berawak “Israel” menghantam generator. Dia sebelumnya mempekerjakan 10 orang, tapi sekarang menjalankas fasilitas sendiri setelah itu dibangun kembali.
Hari ini, 96 persen air Gaza tidak layak untuk dikonsumsi manusia setelah beberapa dekade melakukan pemomaan air dari akuifer, yang telah menurunkan tingkat air tanah dan memungkinkan air laut meresap ke dalamnya.
Tahun lalu, fotogafer Gaza Fayez Al-Hindi membuat sendiri penyulingan air dan pemurnian sistemnya menggunakan energi matahari. Air keran dituangkan ke dalam wadah dengan panjang tiga meter, dan menguap ke panel untuk dimurnikan dan air bersih menetes ke dalam wadah yang terpisah.
Pada hari yang cerah, penemuannya menghasilkan 4-6 liter air minum bersih untuk keluarganya per hari.
“Sebagai manusia, kita tidak bisa hidup tanpa air, kita bergantung pada air setiap hari,” ujar Hindi kepada Al Jazeera.
“Tapi biaya filter air sangat mahal dan situasi ekonomi yang buruk, jadi kami saya memikirkan cara alternatif untuk menyaring air beracun dan berbagi dengan orang-orang.”
Teknisi laboratorium Muhammad abu Shamaleh, menguji air Hindi dan menemukan hasil yang mencengangkan, air yang murni tanpa garam.
Sayangnya, menurut Hindi, ia telah menemukan sedikit dukungan untuk memperluas proyeknya. (haninmazaya/arrahmah.com)