YERUSALEM (Arrahmah.id) — Israel untuk pertama kalinya mengizinkan kelompok terbesar umat Yahudi, sebanyak 180 orang, untuk berdoa di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, Palestina pada Rabu (16/4/2025). Tindakan ini menandai pelanggaran status quo yang telah lama terjaga dan memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Masjid Al-Aqsa merupakan situs tersuci ketiga bagi umat Islam dan tempat yang dianggap suci oleh umat Yahudi yang menyebutnya Temple Mount.
Sebelumnya, jumlah maksimal umat Yahudi yang diizinkan berdoa di Masjid Al-Aqsa dibatasi hanya 30 orang. Peningkatan jumlah yang signifikan ini, hingga mencapai 180 orang, memicu kekhawatiran akan perubahan status quo yang telah berlangsung lama.
Pihak berwenang Islam mengecam keras tindakan Israel ini, melihatnya sebagai ancaman terhadap kesucian dan keamanan Masjid Al-Aqsa.
Ratusan orang tersebut terlihat memasuki Masjid Al-Aqsa dikawal dinas keamanan Israel, seperti dikutip dari Middle East Eye (17/4).
Wakaf Islam, organisasi yang mengelola Masjid Al-Aqsa, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa 1.200 warga Yahudi Israel memasuki tempat suci tersebut pada hari Rabu. Lebih dari 4.000 orang telah menyerbu tempat suci tersebut sejak liburan Paskah dimulai akhir pekan lalu.
“Petugas menjaga keamanan kunjungan ke Temple Mount sesuai dengan peraturan kunjungan dan batasan jumlah rombongan, yang ditentukan oleh keadaan seperti jumlah pengunjung secara keseluruhan dan kemampuan polisi untuk memastikan keamanan dan ketertiban publik,” kata polisi Israel.
Ribuan umat Yahudi terlihat menari dan bersuka cita di pintu masuk Gerbang Singa menuju Kota Tua Yerusalem. Sementara itu umat Muslim dilarang memasuki masjid.
Direktur urusan internasional Wakaf Islam, Aouni Bazbaz mengatakan kepada MEE bahwa kejadian pada hari Rabu – dan hari-hari sebelumnya – belum pernah terjadi sebelumnya.
“Ini adalah kejadian yang menakutkan,” ujarnya.
Bazbaz menambahkan, jumlah total pemukim yang memasuki situs tersebut pada tahun 2003 adalah 258, sementara “jumlahnya telah meningkat secara eksponensial” hari ini, dengan ribuan orang memasuki kompleks tersebut.
“Hari ini (sebagai Waqf Islam), kita akan menghadapi sesuatu yang belum pernah kita hadapi sebelumnya,” lanjutnya.
Peristiwa ini juga dikaitkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial dari Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir. Ben-Gvir sebelumnya secara terbuka menyerukan agar ibadah Yahudi diizinkan di Masjid Al-Aqsa dan bahkan ingin membangun sinagoge di lokasi tersebut.
Pernyataan-pernyataan ini telah memicu kecaman dari berbagai pihak, baik domestik maupun internasional. Tindakan Ben-Gvir dianggap sebagai pemicu utama peningkatan ketegangan di sekitar Masjid Al-Aqsa. Sikapnya yang dianggap ekstremis oleh banyak pihak semakin memperburuk situasi dan meningkatkan risiko konflik.
Pernyataan-pernyataan Ben-Gvir menunjukkan adanya upaya untuk mengubah status quo di Masjid Al-Aqsa, sebuah langkah yang dikhawatirkan akan memicu reaksi keras dari pihak Palestina dan komunitas internasional.
Bazbaz memperingatkan pembagian Masjid Al-Aqsa semakin menjadi kenyataan. Ia membandingkannya dengan situasi di Masjid Ibrahimi di Hebron, di Tepi Barat yang diduduki, yang telah dibagi menjadi masjid dan sinagog – keduanya di bawah kendali Israel.
“Mari kita gunakan frasa media untuk apa yang terjadi: apartheid atau segregasi telah menjadi kenyataan historis dan terkini di lapangan,” jelasnya.
Bazbaz menambahkan, situasi semakin memburuk sejak dimulainya perang genosida Israel di Gaza, dengan praktik keagamaan Yahudi di Masjid Al-Aqsa didorong dan bahkan didukung oleh pihak berwenang.
“Apa yang terjadi hari ini lebih merupakan tindakan untuk menimbulkan kemarahan daripada untuk tujuan keagamaan,” pungkasnya. (hanoum/arrahmah.id)