(Arrahmah.com) – Shalat malam adalah ibadah sunah yang tata caranya telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam. Agar shalat malam yang kita kerjakan dinilai benar dan diterima Allah Ta’ala, maka kita harus mencontoh tata cara shalat malam yang telah beliau laksanakan. Berikut ini adalah penjelasan tentang tata cara shalat malam sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Pertama: Niat melaksanakan shalat malam, tanpa perlu diucapkan niat tersebut dengan ucapan lisan dengan lafal-lafal yang khusus.
Sebab niat adalah amalan hati, bukan amalan lisan. Setiap malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam. Semua bacaan dan gerakan beliau dalam shalat malam, sejak bangun tidur, wudhu dan bersiwak, kemudian takbir sampai salam, diriwayatkan dalam hadits-hadits. Namun tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan beliau membaca dengan lisan beliau niat khusus untuk shalat malam.
Kedua: Disunahkan melaksanakan shalat dua rakaat ringan sebagai pembuka shalat malam.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam jika bangun di waktu malam untuk melaksanakan shalat, beliau biasanya mengawali shalatnya dengan melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim no. 767)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan shalat malam, hendaklah ia mengawali shalatnya dengan melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim no. 768 dan Abu Daud no. 1323)
Ketiga: Setelah membaca takbiratul ihram disunahkan membaca doa istiftah yang biasa dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam shalat malam. Diantara doa-doa istiftah yang biasa beliau dalam shalat malam adalah:
a- Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam jika bangun malam melaksanakan shalat tahajjud, beliau membaca doa:
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, bagi-Mu segala pujian, Engkau adalah dzat yang mengurus langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala pujian, milik-Mu kerajaan langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala pujian, Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala pujian, Engkau adalah raja yang menguasai langit dan bumi. Bagimu segala pujian.
Engkau adalah Maha Benar. Janji-Mu benar. Perjumpaan dengan-Mu adalah benar. Firman-Mu adalah benar. Surga adalah benar adanya. Neraka adalah benar adanya. Para nabi adalah benar. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah benar. Kiamat adalah benar akan terjadi.
Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bersandar, kepada-Mu aku kembali, dengan (pertolongan)-Mu aku melawan musuh, kepada-Mu aku meminta keputusan; maka ampunilah aku, segala dosa yang aku kerjakan di waktu yang dahulu dan segala dosa yang aku kerjakan di waktu yang belakangan, dosa yang aku kerjakan secara sembunyi-sembunyi dan dosa yang aku kerjakan secara terang-terangan, Engka Maha Mendahulukan dan Maha Mengakhirkan. Tiada Ilah Yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Bukhari no. 1069 dan Muslim no. 769)
b- Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, ia berkata: Saya telah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: ‘Dengan apa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengawali shalatnya jika beliau melaksanakan shalat malam?’ Maka Aisyah menjawab: ‘Jika beliau melaksanakan shalat malam, beliau mengawali shalatnya dengan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Rabb malaikat Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Maha mengetahui perkara yang ghaib dan perkara yang nampak, Engkau memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Mu dalam hhal-hal yang mereka perselisihkan, tunjukkanlah aku dengan izin-Mu kepada kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau menunjukkan kepada jalan yang lurus siapa saja yang Engkau kehendaki.” (HR. Muslim no. 770)
c- Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam. Beliau membaca:
اللَّهُ أَكْبَرُ ثَلَاثًا ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Allah Maha Besar 3x, Sang Pemilik kerajaan, keperkasaan, kesombongan dan keagungan.” (HR. Abu Daud no. 873 dan An-Nasai no. 1069)
Keempat: Dianjurkan memanjangkan dan melamakan waktu berdiri semampu mungkin selama tidak memberatkan. Caranya dengan membaca surat-surat yang panjang atau membaca banyak ayat Al-Qur’an setelah selesai membaca surat Al-Fatihah.
عَنْ جَابِرٍ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Shalat yang paling utama adalah shalat yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَاأَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا فَلَمَّا كَثُرَ لَحْمُهُ صَلَّى جَالِسًا فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَقَرَأَ ثُمَّ رَكَعَ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam (dalam waktu yang sangat lama) sampai-sampai kedua telapak kakinya pecah-pecah. Maka Aisyah bertanya: ‘Kenapa Anda melakukan hal ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa Anda yang terdahulu maupun yang belakangan?’ Maka beliau menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR. Bukhari no. 3748 dan Muslim no. 2820)
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يَقُولُ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَرِمَتْ قَدَمَاهُ قَالُوا قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anha berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam (dalam waktu yang sangat lama) sampai-sampai kedua telapak kakinya pecah-pecah. Maka para sahabat bertanya: ‘Kenapa Anda melakukan hal ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa Anda yang terdahulu maupun yang belakangan?’ Maka beliau menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”(HR. Bukhari no. 1130 dan Muslim no. 2819)
Lamanya berdiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam tiap raka’at shalat malam diceritakan lebih jauh oleh Abdullah bin Mas’ud dan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhuma.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya pernah melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau terus saja berdiri (dalam waktu yang sangat lama), sampai-sampai saya ingin melakukan perkara yang buruk.” Kami (perawi) bertanya kepada Hudzaifah: “Apa perkara buruk yang ingin anda lakukan?’ Hudzaifah menjawab: “Saya ingin duduk dan meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (HR. Bukhari no. 1135 dan Muslim no. 773)
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya pernah melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau membaca surat Al-Baqarah. Dalam hati saya mengatakan beliau akan ruku’ pada ayat keseratus. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya. Dalam hati saya berkata beliau akan menyelesaikan satu surat Al-Baqarah dalam satu raka’at dan kemudian ruku’. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya dengan membaca surat An-Nisa’ sampai selesai, kemudian beliau membaca surat Ali Imran sampai selesai. Beliau membacanya dengan tartil dan pelan-pelan. Jika melewati ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati ayat yang mengadung permintaan, beliau pun meminta kepada Allah. Dan jika melewati ayat yang mengandung perlindungan, maka beliau pun meminta perlindungan kepada Allah. Beliau kemudian ruku…” (HR. Muslim no. 772, An-Nasai no. 1664 dan Abu Daud no. 874)
Dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca surat Al-Baqarah, An-Nisa’ dan Ali Imran dalam satu kali berdiri sebelum ruku’. Artinya setelah membaca surat Al-Fatihah, beliau membaca sebanyak 5 juz 4 halaman. Dengan lamanya bacaan dan berdiri dalam satu raka’at ini, sangat wajar apabila dalam satu malam beliau hanya menyelesaikan beberapa raka’at saja.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang seorang ahli ibadah saja hampir ingin meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, karena begitu lamanya satu raka’at yang dikerjakan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang kuat dalam beribadah dan sangat mencontoh perilaku Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia tidaklah ingin duduk kecuali karena lamanya berdiri shalat yang melewati batas kebiasaan yang ia lakukan.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 3/24)
Lamanya berdiri dengan membaca surat-surat yang banyak atau banyak ayat Al-Qur’an merupakan hal yang disunahkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam biasa shalat sepertiga waktu malam, sekitar tiga jam tiap malam. Hal itu juga merupakan shalat malam yang biasa dilakukan oleh Nabi Daud ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang lain.
Meskipun demikian jika seseorang membaca surat-surat yang pendek pun tidak mengapa. Hal itu boleh dikerjakan, meskipun kurang utama. Lama dan sebentarnya berdiri dalam shalat malam merupakan pilihan yang dikembalikan kepada kekuatan ibadah masing-masing individu. Allah Ta’ala telah memberikan keleluasaan dalam hal itu, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآَخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (melaksanakan shalat malam) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dn Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kalian sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi kalian) dari Al-Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian ada orang-orang yang sakit, orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagi kalian) dari Al-Quran.(QS. Al-Muzammil [73]: 20)
Kelima: Shalat malam boleh dikerjakan dengan berdiri maupun dengan duduk.
Shalat malam adalah shalat sunnah. Ia boleh dikerjakan dengan berdiri maupun dengan duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pernah shalat malam dengan berdiri dan pernah pula shalat malam dengan duduk.
a- Shalat malam dengan berdiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam biasa melaksanakan shalat malam dengan berdiri, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah dan lain-lain, yang telah disebutkan di atas.
b- Shalat malam dengan duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam juga pernah melaksanakan shalat malam dengan duduk.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَعَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَطَوُّعِهِ فَقَالَتْ …وَكَانَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ تِسْعَ رَكَعَاتٍ فِيهِنَّ الْوِتْرُ وَكَانَ يُصَلِّي لَيْلًا طَوِيلًا قَائِمًا وَلَيْلًا طَوِيلًا قَاعِدًا وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ وَكَانَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dari Abdullah bin Syaqiq berkata: “Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka ia menjawab: “beliau shalat malam sebanyak 9 raka’at sudah termasuk di dalamnya shalat witir. Beliau shalat dalam waktu malam yang lama dengan berdiri dan beliau juga shalat dalam waktu malam yang lama dengan duduk. Jika beliau membaca surat dengan berdiri, maka beliau ruku’ dan sujud dari posisi berdiri. Adapun saat beliau membaca surat dengan duduk, beliau melakukan ruku’ dan sujud dari posisi duduk. Jika fajar telah terbit, beliau kemudian melaksanakan shalat sunah dua raka’at.” (HR. Muslim no. 730, Abu Daud no. 1251 dan Tirmidzi no. 436)
Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata: “Hadits ini menunjukkan kebolehan melaksanakan shalat sunnah dengan duduk, meskipun memiliki kemampuan untuk berdiri, berdasar ijma’ ulama.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/9)
c- Shalat malam dengan berdiri dan duduk sekaligus. Di akhir hayatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam lebih sering melaksanakan shalat malam dengan duduk. Beliau membaca surat yang panjang sambil duduk. Ketika surat tersebut tinggal menyisakan beberapa puluh ayat, beliau lantas berdiri, membaca puluhan ayat tersebut dengan berdiri, lalu beliau melaksanakan ruku’.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي شَيْءٍ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ جَالِسًا حَتَّى إِذَا كَبِرَ قَرَأَ جَالِسًا حَتَّى إِذَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ السُّورَةِ ثَلَاثُونَ أَوْ أَرْبَعُونَ آيَةً قَامَ فَقَرَأَهُنَّ ثُمَّ رَكَعَ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca surat dalam shalat malam dengan duduk. Sampai ketika usia beliau telah lanjut, beliau melaksanakan shalat malam dengan duduk. Jika tersisa sekitar 30 ayat atau 40 ayat dari surat yang beliau baca, maka beliau berdiri dan membacanya, kemudian beliau melakukan ruku’.” (HR. Bukhari no. 1118, 1148, 4837 dan Muslim no. 731)
عَنْ عَائِشَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ يَفْعَلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam dengan duduk. Beliau membaca surat dengan duduk. Jika tersisa sekitar 30 ayat atau 40 ayat dari surat yang beliau baca, maka beliau berdiri dan membacanya, kemudian beliau melakukan ruku’ (lalu I’tidal), kemudian sujud. Beliau mengerjakan hal yang sama pada raka’at kedua.” (HR. Muslim no. 731)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا بَدَّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَقُلَ كَانَ أَكْثَرُ صَلَاتِهِ جَالِسًا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mulai gemuk dan badannya berat, sebagian besar shalat malam beliau dilakukan dengan duduk. (HR. Muslim no. 732)
عَنْ عَائِشَةَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَمُتْ حَتَّى كَانَ كَثِيرٌ مِنْ صَلَاتِهِ وَهُوَ جَالِسٌ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak meninggal sampai sebagian shalat malam beliau dilakukan dengan duduk. (HR. Muslim no. 731 dan An-Nasai no. 1656)
Keenam: Disunahkan membaca surat atau ayat Al-Qur’an dengan tartil, yaitu pelan-pelan, tidak cepat, penuh penghayatan dan sesuai kaedah tajwid.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil. (QS. Al-Muzammil [73]: 4)
عَنْ حَفْصَةَأَنَّهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي سُبْحَتِهِ قَاعِدًا حَتَّى كَانَ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِعَامٍ فَكَانَ يُصَلِّي فِي سُبْحَتِهِ قَاعِدًا وَكَانَ يَقْرَأُ بِالسُّورَةِ فَيُرَتِّلُهَا حَتَّى تَكُونَ أَطْوَلَ مِنْ أَطْوَلَ مِنْهَا
Dari Hafshah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Saya tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukan shalat sunah dengan duduk, sampai ketika setahun sebelum beliau wafat, beliau shalat dengan duduk. Beliau membaca surat dengan tartil sehingga bacaannya lebih panjang dari biasanya. (HR. Muslim no. 733, Malik no. 311 dan An-Nasai no. 1658)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَاسُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً{ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ }
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa ia ditanya tentang cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca, maka ia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menghentikan bacaannya pada tiap-tiap ayat. Beliau membaca bismillahir rahmaanir rahiim [lalu berhenti, kemudian membaca], al-hamdu lillahi rabbil ‘alamiin, [lalu berhenti, kemudian membaca] ar-rahmaanir rahiim, [lalu berhenti, kemudian membaca] maaliki yaumid diin.” (HR. Abu Daud no. 401, Tirmidzi no. 2927, dan Ahmad no. 26692)
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌكَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ{ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Dari Qatadah berkata: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang bagaimana cara bacaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, maka Anas menjawab: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca dengan memanjangkan bacaaan [pada bagian-bagian mad], lalu Anas membaca bismillahir rahmaanir rahiim, denganmemanjangkan bacaaan bismillah, memanjangkan bacaan ar-rahmaan, dan memanjangkan bacaan ar-rahiim.” (HR. Bukhari no. 5046, An-Nasai no. 1014, dan Ibnu Majah no. 1353)
Ketujuh: Disunahkan membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan indah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan (membaca dengan suara yang bagus) Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 7527)
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan (membaca dengan suara yang bagus) Al-Qur’an.” (HR. Abu Daud no. 1469 dan Ahmad no. 1396)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan seorang nabi yang bagus suaranya, sedang membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah, mengeraskan bacaannya.” (HR. Bukhari no. 5023 dan Muslim no. 792)
Kedelapan: Hendaknya mentadaburi (berusaha menghayati) ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya.
Shalat malam adalah saat yang tepat untuk bermunajat kepada Allah. Pada tengah malam saat kebanyakan manusia terlelap dalam tidur, bacaan Al-Qur’an akan terasa lebih ringan di lisan dan lebih berpengaruh terhadap hati.
Pada saat seperti itulah orang yang melaksanakan shalat malam dianjurkan untuk merenungi bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang ia lantunkan. Hendaknya ia merenungi perintah dan larangan Allah, janji dan ancaman-Nya dalam ayat-ayat tersebut.
Proses tadabbur Al-Qur’an inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam larut dalam shalat malam beliau. Beliau sering menangis karena rasa takut, cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah Ta’ala, setelah mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dalam shalat beliau. Beliau bertasbih, bertahmid, berdoa dan beristighfar, saat melewati ayat-ayat yang berkenaan dengan hal-hal tersebut. Bahkan dalam satu malam beliau pernah mengerjakan shalat malam dengan mengulang-ulang satu ayat saja, yang beliau renungkan maknanya secara mendalam. Kekhusyukan timbul dari proses tadabbur seperti ini.
Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Al-Qur’an adalah) kitab suci yang Kami turunkan kepadamu dengan diberkahi, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran darinya. (QS. Shad [38]: 29)
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya pernah melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau membaca surat Al-Baqarah. Dalam hati saya mengatakan beliau akan ruku’ pada ayat keseratus. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya. Dalam hati saya berkata beliau akan menyelesaikan satu surat Al-Baqarah dalam satu raka’at dan kemudian ruku’. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya dengan membaca surat An-Nisa’ sampai selesai, kemudian beliau membaca surat Ali Imran sampai selesai. Beliau membacanya dengan tartil dan pelan-pelan. Jika melewati ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati ayat yang mengadung permintaan, beliau pun meminta kepada Allah. Dan jika melewati ayat yang mengandung perlindungan, maka beliau pun meminta perlindungan kepada Allah. (HR. Muslim no. 772, Abu Daud no. 874, Tirmidzi no. 262, An-Nasai no. 1664, dan Ibnu Majah no. 888)
Dari Abdullah bin Syikhir radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي وَلِجَوْفِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ يَعْنِي يَبْكِي
“Saya mendatanginya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam saat beliau sedang shalat. Dada beliau bergemuruh seperti suara gemuruh panci yang mendidih airnya.” Maksudnya dada beliau bergetar karena menangis. (HR. Abu Daud no. 904, Nasai no. 1214, dan Ahmad no. 15722)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ بِآيَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ يَرْكَعُ بِهَا وَيَسْجُدُ بِهَا{ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ }فَلَمَّا أَصْبَحَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا زِلْتَ تَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى أَصْبَحْتَ تَرْكَعُ بِهَا وَتَسْجُدُ بِهَا
Dari Abu Dzar Al-Ghifari berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam pada suatu malam dengan membaca satu ayat saja yang beliau ulang-ulang sampai waktu shubuh, beliau ruku’ dan sujud setelah membacanya: Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 118)
Keesokan paginya, saya berkata: Wahai Rasulullah, Anda semalam terus-menerus membaca ayat ini sampai waktu Shubuh, Anda ruku’ dan sujud setelah membacanya?…” (HR. An-Nasai no. 1010, Ibnu Majah no. 1350, Ahmad, dan lain-lain)
Kesembilan: Boleh membaca dengan suara keras dan boleh juga membaca dengan suara pelan, tergantung kebutuhan dan suasana.
عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِالْقُرْآنِ أَوْ يُخَافِتُ بِهِ قَالَتْ رُبَّمَا جَهَرَ وَرُبَّمَا خَافَتَ قُلْتُ اللَّهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي هَذَا الْأَمْرِ سَعَةً
Dari Ghudaif bin Harits ia berkata: Saya mendatangi Aisyah dan saya bertanya kepadanya: ‘Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam perna membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras ataukah beliau membaca dengan suara yang pelan?’ Maka Aisyah menjawab: “Terkadang beliau membaca dengan suara keras dan terkadang beliau membaca dengan suara pelan.” Ghudaif berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan keleluasaan dalam masalah ini.” (HR. Muslim no. 307 dan Abu Daud no. 226)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَكَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ أَكَانَ يُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ أَمْ يَجْهَرُ فَقَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا أَسَرَّ بِالْقِرَاءَةِ وَرُبَّمَا جَهَرَ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً
Dari Abdullah bin Abu Qais ia berkata: Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: ‘Bagaimanakah bacaan Al-Qur’an Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada malam hari, apakah beliau membaca Al-Qur’an dengan suara yang pelan ataukah beliau membaca dengan suara yang keras?’ Maka Aisyah menjawab: “Semua itu pernah beliau lakukan. Terkadang beliau membaca dengan suara pelan dan terkadang beliau membaca dengan suara keras.” Abdullah bin Abu Qais berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan keleluasaan dalam masalah ini.” (HR. Tirmidzi no. 449, Abu Daud no. 1437, dan An-Nasai no. 1662)
Imam An-Nawawi mengutip dari para ulama bahwa membaca dengan suara pelan lebih diutamakan bagi orang yang khawatir terkena penyakit riya’ dan membaca dengan suara keras lebih diutamakan bagi orang yang tidak khawatir terkena riya’, dengan syarat kerasnya bacaan tidak menggangu orang lain yang juga mengerjakan shalat, atau orang yang tengah tidur. Wallahu a’lam.
Kesepuluh: Disunahkan untuk melamakan waktu ruku’, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya pernah melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau membaca surat Al-Baqarah. Dalam hati saya mengatakan beliau akan ruku’ pada ayat keseratus. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya. Dalam hati saya berkata beliau akan menyelesaikan satu surat Al-Baqarah dalam satu raka’at dan kemudian ruku’. Namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya dengan membaca surat An-Nisa’ sampai selesai, kemudian beliau membaca surat Ali Imran sampai selesai. Beliau membacanya dengan tartil dan pelan-pelan. Jika melewati ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati ayat yang mengadung permintaan, beliau pun meminta kepada Allah. Dan jika melewati ayat yang mengandung perlindungan, maka beliau pun meminta perlindungan kepada Allah. Beliau kemudian ruku dan membaca Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim. Ruku’ beliau berlangsung lama seperti berdiri yang berlangsung lama. Kemudian beliau membaca Sami’a Allahu liman hamidah danberdiri dalam waktu yang lama sebagaimana beliau ruku’ dalam waktu yang lama. Beliau kemudian sujud dan membaca Subhaana Rabbiyal A’laa. Sujud beliau berlangsung lama sebagaimana berdiri ruku’ dalam waktu yang lama.” (HR. Muslim no. 772, Abu Daud no. 874, Tirmidzi no. 262, An-Nasai no. 1664, dan Ibnu Majah no. 888)
Dalam hadits lain di jelaskan bahwa lamanya waktu ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk diantara dua sujud adalah sekira waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ فِي كُلِّ اثْنَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ وَيَسْجُدُ فِيهِنَّ سَجْدَةً بِقَدْرِ مَا يَقْرَأُ أَحَدُكُمْ خَمْسِينَ آيَةً قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat malam di antara waktu selesai shalat Isya’ sampai waktu terbit fajar sebanyak 11 raka’at. Beliau mengucapkan salam setiap dua raka’at dan beliau melakukan shalat witir satu raka’at. Dalam shalat tersebut beliau melakukan sujud yang sekira salah seorang diantara kalian membaca 50 ayat, sebelum beliau mengangkat kepalanya (untuk duduk di antara dua sujud).” (HR. Abu Daud no. 1336 dan An-Nasai no. 685)
Kesebelas: Jika mengantuk atau lelah, maka hendaknya berhenti shalat dan kembali beristirahat.
عَنْ عَائِشَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian mengantuk saat ia mengerjakan shalat, maka hendaklah ia tidur kembali sampai kantuknya hilang. Sebab sesungguhnya saat seseorang diantara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, bolah jadi ia tidak menyadari apa yang ia baca, ia hendak meminta ampunan Allah namun justru mencaci-maki dirinya sendiri. (HR. Bukhari no. 212 dan Muslim no. 786)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memasuki masjid maka beliau mendapati seutas tali terbentang (terikat) di antara dua tiang masjid. Beliau bertanya: “Apa ini?” Para sahabat menjawab: “Ini tali milik Zainab. Jika ia lelah saat mengerjakan shalat malam, ia berpegangan pada tali ini.” Maka beliau bersabda: “Lepaskanlah tali ini! Hendaknya salah seorang diantara kalian mengerjakan shalat saat ia rajin. Jika ia sedang capek atau malas, hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari no. 1150 dan Muslim no. 784)
Kedua belas: Disunnahkan banyak banyak berdoa di dalam shalat maupun di luar shalat.
Pada setiap waktu malam ada saat-saat dikabulkannya doa. Terlebih pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat melaksanakan shalat malam, hendaknya seorang muslim memperbanyak doa, terutama dalam sujud dan sebelum salam. Demikian juga dianjurkan banyak berdoa setelah shalat malam.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya di malam hari ada satu saat dimana tidaklah pada saat tersebut seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah baik dalam urusan dunia maupun akhirat, melainkan Allah akan mengabulkannya. Dan hal itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Muslim no. 757)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ يَقُولُ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَبَسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنْ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Amru bin Abasah telah menceritakan kepadaku bahwa ia telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Saat dimana seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah pada setengah malam yang terakhir. Maka jika engkau mampu untuk berdzikir [mengingat Allah] pada saat tersebut, niscaya kerjakanlah!” (HR. Tirmidzi no. 3579 dan An-Nasai no. 572)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Rabb kita Azza wa Jalla turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir. Allah berfirman: “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan permintaannya. Siapa meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuninya.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Saat seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah saat ia sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa dalam sujud kalian.” (HR. Muslim no. 482, Abu Daud no. 875 dan An-Nasai no. 1137)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَ تْفَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Saya kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dari ranjang pada suatu malam, maka saya meraba-raba mencari beliau, lalu telapak tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau yang tegak dalam sujud di dalam masjid. Ternyata beliau berdoa dalam sujud tersebut: Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan pengampunan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tak mampu menghitung pujian atas-Mu. Engkau sebagaimana Engkau memuji diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an di dalam ruku’ dan sujud. Adapun saat ruku’, hendaklah kalian mengagungkan Allah. Adapun saat sujud, hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa, sebab besar kemungkinan akan dikabulkan bagi kalian.”(HR. Muslim no. 479)
Ketiga belas: Dianjurkan membangunkan istri, suami, anak atau anggota keluarga lainnya untuk melaksanakan shalat malam.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ قَالَاقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa bangun pada malam hari dan membangunkan istrinya, lalu keduanya melaksanakan shalat malam sebanyak dua raka’at, niscaya keduanya dicatat dalam golongan kaum laki-laki dan kaum wanita yang banyak berdzikir [mengingat Allah].” (HR. Abu Daud no. 1309, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 1310, dan Ibnu Majah no. 1335)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Semoga Allah menyayangi seorang suami yang bangun di waktu malam dan mengerjakan shalat, lalu ia membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan bangun, maka ia memercikkan air ke wajah istrinya. Semoga Allah menyayangi seorang istri yang bangun di waktu malam dan mengerjakan shalat, lalu ia membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, maka ia memercikkan air ke wajah suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1308, An-Nasai no. 1610, Ibnu Majah no. 1336, dan Ahmad no. 7410)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَزِعًا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ الْخَزَائِنِ وَمَاذَا أُنْزِلَ مِنْ الْفِتَنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يُرِيدُ أَزْوَاجَهُ لِكَيْ يُصَلِّينَ رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ
Dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam terbangun pada suatu malam dalam keadaan kaget, maka beliau bersabda: “Maha Suci Allah, apa perbendaharaan-perbendaharaan nikmat yang Allah turunkan pada malam ini dan fitnah-fitnah apa yang diturunkan pada malam ini? Siapakah yang akan membangunkan istri-istriku yang masih tertidur di kamar-kamar mereka agar mereka mengerjakan shalat malam? Betapa banyak wanita yang mengenakan pakaian di dunia namun kelak di akhirat ia telanjang?” (HR. Bukhari no. 1126 dan Tirmidzi no. 2196)
Keempat belas: Dianjurkan untuk rehat lagi setelah shalat tahajjud dan shalat witir, untuk memulihkan tenaga dan agar tidak mengantuk saat menunaikan shalat Shubuh.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha tentang shalat malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam di rumah istrinya, Maimunah radhiyallahu ‘anha:
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى جَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ
“Beliau shalat dua raka’at, lalu dua raka’at, lalu dua raka’at, lalu dua raka’at, lalu dua raka’at, lalu dua raka’at, lalu melakukan shalat witir. Lalu beliau berbaring kembali, sampai ketika muadzin mendatangi beliau (setelah adzan Subuh), maka beliau melakukan shalat sunah dua raka’at ringan, lalu keluar dari rumah menuju masjid untuk mengimami shalat Subuh.” (HR. Bukhari no. 183 dan Muslim no. 763).
عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَاكَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ فَيُصَلِّي ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ وَإِلَّا تَوَضَّأَ وَخَرَجَ
Dari Al-Aswad berkata: Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha bagaimana shalat malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam? Maka Aisyah menjawab: “Beliau tidur di awal malam dan bangun di akhir malam. Beliau mengerjakan shalat malam, kemudian beliau kembali ke tempat tidur beliau. Jika muadzin mengumandangkan adzan Subuh, beliau pun bangkit. Jika beliau junub, beliau akan mandi terlebih dahulu. Jika tidak junub, beliau berwudhu lalu keluar dari rumah menuju masjid.” (HR. Bukhari no. 1146 dan Muslim no. 739)
Kelima belas: Hendaknya mengerjakan shalat malam secara rutin pada setiap malam dan tidak meninggalkannya kecuali saat ada halangan, seperti sakit atau bepergian jauh.
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadaku: “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dahulu ia shalat malam, namun kini ia meninggalkan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)