Oleh Umar Syarifudin
Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Kota Kediri
(Arrahmah.com) – Rakyat butuh wartawan dan Media Pers yang fair, cerdas dan punya nyali untuk menyampaikan informasi yang melepaskan diri dari intimidasi dan intervensi. Pers harusnya mampu bergerak di lingkungan yang secara ekstrim berada di antara racun dan kebenaran, yang dicemari kerahasiaan resmi, kepentingan bisnis, aliansi-aliansi pemerintah-bisnis, dan kampanye public relations korup yang dilancarkan rejim yang zalim.
Tahun 2015 hendaknya menjadi era penerangan. Insan media hendaknya seperti burung elang yang terbang menuju era baru: membawa masyarakat pada berita yang adil dan jujur, apapun resikonya. Media harus melawan balik setiap kebohongan “resmi” dan berita palsu, secara otomatis para wartawan berfungsi sebagai penjaga kebenaran. Bukan malah berubah menjadi (maaf:) anjing bulldog yang mengamankan kepentingan pihak-pihak jahat dengan upaya pengaburan dan pemalsuan berita.
Sebagai ilustrasi bentuk intervensi, maupun upaya pembungkaman pelaporan berita-pasca 9/11 sebagaimana yang diungkapkan Christiane Amanpour dari CNN dan CBS pada acara Topic yang diasuh Tina Brown di CNBC 10 September 2003 : “Saya kira pers dicocok hidungnya dan saya kira pers mencocok hidungnya sendiri. Maaf, harus saya katakan begitu, tetapi tentu televisi dan mungkin pada tingkat tertentu termasuk televisi saya – diintimidasi pemerintah dan para serdadunya di FOX News. Dan, nyatanya itu menghadirkan iklim ketakutan dan swa-sensor dalam hal siaran yang kami lakukan…”
Manipulasi besar itu
Dalam buku A Pretex for War, reporter keamanan nasional dan pengarang James Bramford menulis serdadu-serdadu rahasia Miller saat meliput pencarian senjata pemusnah massal di Irak: Seorang perwira militer mengeluh, Miller kadang-kadang ‘mengintimidasi’ tentara dengan membawa-bawa nama Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld atau Wakil Menteri Douglas Feith. Miller, punya riwayat kelas satu yang mencakup keahlian di bidang senjata pemusnah massal, tampaknya sudah membuat pakta jurnalis dengan setan.
Reportase Miller adalah produk dari mesin manipulasi dan penipuan yang menggemparkan pemerintahan Bush, yang dibuat dan diawasi tiga mantan penasihat pemerintahan Israel, yang kemudian menjadi pejabat senior pemerintahan AS: Richard Perle, Douglas Feith, dan Richard Cheney. Mereka bertiga berbagi peran, Douglas Feith membentuk Kantor Pengaruh Strategis, yang, dalam bahasa Bramford,”dimaksudkan menjadi pabrik disinformasi besar-besaran.”
Jane Akre, dalam tulisan “Sang Serigala, anjing-anjing Pelacak, dan Sapi-Sapi Keramat” menggambarkan bagaimana dia dipecat setelah menolak mengubah ke titik memalsukan karya investigatifnya tentang kemungkinan bahaya perusahaan susu Bovine Growth Hormone milik Monsanto Corporations. Tulisannya menggambarkan pertarungan yang legal yang sedang berjalan melawan ‘institusi Pers’ Amerika Serikat yang membuat takut semua wartawan.
Jelas, dibalik slogan kebebasan Pers Amerika Serikat, notabene sebagai kiblat demokrasi dan polisi dunia hanyalah isapan jempol. Amerika Serikat memiliki problem kronik jurnalisme. Kejujuran informasi hanyalah mitos. Pemutarbalikan fakta dan pembelokan sejarah benar-benar terjadi. Tak heran jika CBS, NBC, PBS, CNN dan ABC dalam memberikan potret muslim dan kelompok-kelompok Islam ‘radikal’ dalam perspektif mereka, selalu dipotret sebagai kaum maniak yang berteriak-teriak, ide-idenya adalah kejahatan.
Amerika Serikat dalam Bisnis War on Terrorist dan Oil Game sangat membutuhkan salah satu mesin primer, yaitu Pers untuk memuluskan ‘transaksinya’. Dosa-dosa pers dalam iklim yang ada sekarang – kapitalisasi berita, yaitu menahan dan menyembunyikan informasi yang harusnya memberi konteks dan melukiskan sejarah. Sangat paradoks dengan klaimnya sebagai negara yang menjamin transparansi berita. Sekali lagi, siapapun wartawan dan pers yang berpihak pada kebenaran harusnya merdeka membela kebenaran dalam situasi ketertekanan dan melawan penyensoran dari aktor-aktor gelap yang tidak ingin kepentingannya ‘tersakiti’.
Tulisan John Kelly tentang aktivitas CIA yang kini dijalankan sebagai bagian dari perang melawan teror memberi contoh yang jelas tentag pers yang menyerahkan pelaporan kepada pemerintah melawan untuk penyensoran:”Ironisnya, CIA memberi persetujuan atas peliputan pembunuhan yang dilakukannya.” Nah, begitu jugakah paket alur disinformasi yang menjadi kanker ganas media-media mainstream pro-kapitalis yang ada Indonesia? Apakah mereka sudah ‘berani’ membongkar berbagai skandal, intrik, makar “rejim, mafia partai, korporat-korporat hitam dan Amerika serikat serta para bonekanya”? yang terjadi justru sebaliknya, dan peran kritik dan solusi banyak diambil oleh media-media Islam.
Lampu, kamera, aksi
Terhadap tayangan-tayangan majalah berita televisi, Mike Wallace koresponden peraih penghargaan untuk 60 Minutes mengakui, “ini soal waktu, uang dan bisnis rating”. Dia menambahakan majalah berita “terlalu sedikit” mengerjakan jurnalisme investigatif yang signifikan.
Mendapatkan berita seutuhnya memanglah melalui proses panjang dan tentu melelahkan. Pers dan wartawan haruslah memiliki ketrampilan dan proses yang benar dalam menggambarkan berita. Sehingga bisa ‘dimakan’ pembaca atau pemirsa sebagai ‘makanan’ yang bersih dan sehat. Bukan sampah dan racun. Jika sampai iman dan nurani insan Pers tergadai oleh recehan dollar atau rupiah, maka mereka adalah musuh kebenaran, yang akhirnya menjadi penyesat yang menyesatkan masyarakat.
Kita berharap pada insan media yang pro-kebenaran, yang memilih berbicara lantang melawan kejahatan mafia korporat dan kritis terhadap rejim despotik yang memanfaatkan pers sebagai corong untuk berbohong kepada rakyat. Kita berharap pengungkapan yang kritis terhadap kegagalan konsep demokrasi ini memicu tuntutan publik akan terciptanya pers yang independen. Lebih penting lagi sebagai media penyadaran.