JAKARTA (Arrahmah.com) – Jelang genap 100 hari pemerintahan Jokowi – JK, pemerintah tidak pro rakyat, malah menunjukkan ketidakberdayaannya berhadapan dengan PT. Freeport Indonesia, salah satu korporasi tambang terbesar di Indonesia.
Pada 23 Januari 2015 lalu pemerintah malah mengeluarkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk perusahaan tambang ini hingga Juli 2015.
“Fakta dan bukti cukup sudah menjelaskan kepada pemerintah tindakan melawan hukum dan pelanggaran HAM atas kehadirannya sejak 1967 yang menambang di Tembagapura melalui kontrak karya I,” tulis siaran pers KontraS dan dan JATAM yang tayang di situs KontraS.
KontraS mencatat sederet pelanggaran hukum dan HAM oleh PT. Freeport Indonesia mulai dari penghancuran tatanan adat, perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat sipil, perusakan lingkungan hidup, perusakan sendi-sendi ekonomi sampai pengingkaran atas eksistensi masyarakat suku Amungme hingga pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dan setoran illegal uang keamanan kepada aparat Negara sebesar US 5,6 juta dolar .
Selain itu temuan JATAM dilapangan yakni limbah tailing mereka hingga saat ini setidaknya telah mencapai lebih dari 1,187 milliar ton yang dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa. Longsor besar terakhir bahkan telah merenggut 28 nyawa pekerja sekaligus pada 14 Mei 2013. Hingga akhirnya Komnas HAM telah menetapkan PT. Freepot Indonesoa sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus tersebut.
Belum lagi ingkar janji (wansprestasi) atas kewajibanya membangun smelter (pabrik peleburan logam) sebelum izin ekspor tersebut habis sejak Desember 2014. Namun kenyataannya, hingga izin habis, PT. Freeport Indonesia tidak ada itikad baik untuk membangun smelter tersebut. Bahkan saat perpanjangan izin eksport kedua perusahaan itu baru akan memastikan ke pada Pemerintah tentang lokasi lahan yang akan digunakan untuk pembangunan smelter yakni dengan menyewa lahan PT. Petrokimia di Gresik Jawa Timur seluas 80 hektare dalam jangka waktu 20-30 tahun.
Lebih jauh siaran pers bersama itu menyebut, kewajiban membangun smelter dan larangan ekspor bahan mentah sebenarnya sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun 2009 melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan berlaku efektif setelah lima tahun sejak keluarnya UU tersebut.
Namun setelah larangan ekspor bahan mentah tersebut berlaku efektif, pemerintah malah memberikan pengecualian kepada pertambangan besar seperti Freeport dan Newmont untuk tetap mengekspor konsentrat tambang dengan beberapa poin renegosiasi kontrak karya. Pemerintahan SBY saat itu; melalui Menteri ESDM mengakui, kelonggaran ekspor itu melanggar UU.
Tuntutan KontraS dan JATAM
1. Pemerintah melalui Kementrian ESDM wajib mencabut Nota kesepakatan terkait perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk perusahaan tambang ini hingga Juli 2015 perpanjangan, karena kebijakan pemberian izin ekspor konsentrat PT. Freeport sejak awal telah jelas-jelas melanggar UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.;
2. Ketua DPR RI membentuk pansus atas pelanggaran pemerintah yang tidak konsisten menerapkan pasal 5 UU UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana tidak adanya transparansi kepada DPR sebagai lembaga pengawas.
3. PT. Freeport Indonesia segara bertanggung jawab atas tindakan pelanggaran hukum dan HAM sejak melakukan penambangan melalui kontrak karya I. Selain itu merealisasikan atas kewajibannya membangun smelter sebagaimana perintah; UU No. 4 Tahun 2009.
4. Kementrian lingkungan hidup dan kehutanan segera melakukan audit lingkungan atas tindakan PT. Freeport Indonesia yang merusak tatanan ekosistem lingkungan hidup.
5. Kementrian Tenaga Kerja melakukan investigasi atas pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang menimpa buruh PT. Freeport Indonesia selama ini yang terus dihadapkan ketidakpastian atas nasib hak atas pekerjaannya. (azm/arrahmah.com)