PASCA peledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, 17 Juli 2009, Densus 88 antiteror memburu para tersangka teroris. Tragisnya, akibat kecerobohan terjadilah berbagai kasus salah tangkap, salah tembak, dan salah bunuh. Seperti dibunuhnya Ibrahim di Temanggung yang diduga Nurdin M. Top, ditembaknya Air Setyawan dan Eko yang diduga akan membom rumah presiden SBY di Cikeas. Sehingga menimbulkan ketakutan yang meluas, terutama masyarakat yang merasa terancam oleh sikap represif aparat keamanan. Oleh karena itu Majelis Mujahidin perlu mengeluarkan pernyataan sikap guna mendudukkan persoalan secara obyektif dan proporsional.
Memperhatikan:
- Keresahan masyarakat dalam persoalan terorisme, karena setiap kali muncul aksi teror selalu dikaitkan dengan faham keagamaan dan gerakan Islam yang berjuang menegakkan syariat Islam. Aparat keamanan sudah bertindak terlalu jauh dengan memeriksa wanita bercadar dan menciduk kelompok pendakwah.
- Pernyataan bernada SARA Pangdam IV Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto Senin, (17/8) di Mapolda Jateng, yang menyatakan: “Jika ada orang asing memakai sorban, jubah serta berjenggot, laporkan saja ke pihak keamanan. Masyarakat harus lebih peka terhadap hal-hal seperti itu”.
- Tindakan melanggar hukum, seperti pembunuhan tersangka teroris dengan berpijak pada slogan, “Bila tidak didahului maka teroris akan mendahului membunuh polisi’, menyebabkan aparat keamanan bertindak brutal dalam penanganan terorisme. Inilah cara berfikir teroris yang digunakan Densus 88, lalu apa bedanya polisi dan teroris? Dalam hal ini, rakyat memerlukan kepastian hukum terhadap kasus terorisme yang digolongkan sebagai extra ordinary crime (kriminal luar biasa).
Menimbang :
- Sikap over acting Densus 88, menyebabkan keresahan yang meluas di masyarakat, terutama umat Islam di desa-desa, sehingga melarang anak-anaknya mengikuti pengajian karena khawatir jadi obyek rekrutmen teroris.
- Tuntutan rasa keadilan umat Islam terhadap perlakuan pemerintah, khususnya pihak intelijen, kepolisisan dan Densus 88 yang bersikap tidak manusiawi dalam mempertontonkan aksi antiterornya.
- Tidak adanya perlindungan HAM sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan dan perlindungan hukum bagi warganya. 4. Pidato Presiden SBY menyambut delapan windu (64 tahun) kemerdekaan RI, 15 Agustus 2009 yang menegaskan, bahwa akar terorisme di Indonesia adalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan di berbagai wilayah dunia. “Terhadap itu semua, pembangunan yang kita lakukan justru bertujuan mengatasi kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan,” tegasnya
Memutuskan :
- Menuntut DPR RI untuk memanggil presiden guna mempertanggungjawabkan kegagalannya menghentikan terorisme di Indonesia yang disebabkan tiga hal di atas. Juga memanggil Kapolri, karena membiarkan aksi pemberantasan terorisme tanpa prikemanusiaan dan melanggar HAM.
- Menuntut Kepala daerah seluruh Indonesia untuk tidak mengeluarkan peraturan ataupun kebijakan yang bersifat provokatif, menghambat umat Islam menjalankan ajaran agamanya, dan menghasut sesama warga negara untuk saling mencurigai berdasarkan identitas agama seperti sorban, jenggot, cadar, celana komprang, meniru perlakuan intelijen Amerika CIA terhadap rakyat beragama Islam.
- Menyeru umat Islam bangsa Indonesia untuk bersikap tegas menolak stigmatisasi terorisme dengan ajaran Islam maupun ayat-ayat jihad di dalam Al-Qur’anul Karim. 4. Menuntut transparansi dan keberanian untuk melakukan uji sahih terhadap langkah-langkah Pemerintahan SBY menangani kasus terorisme di Indonesia, dalam suatu dialog publik dengan Majelis Mujahidin.
Jogjakarta, Sya’ban 1430 H/19 Agustus 2009 M
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Irfan S. Awwas M. Shabbarin Syakur
(Ketua) (Sekretaris)
Menyetujui Amir Majelis Mujahidin
(Drs. Muhammad Thalib)