BARU SEPULUH hari berlalu, umat Islam merayakan Idul Fitri 1432 H, terjadi lagi rusuh SARA di Ambon, mengingatkan kita pada rusuh SARA sebelumnya di Hari Idul Fitri 1421 H (19 Januari 1999 M) lalu. Modusnya sama, pembunuhan warga Muslim oleh warga Kristen, lalu pihak Muslim menuntut balas, sehingga terjadi konflik horizontal yang menelan banyak korban.
Kerusuhan yang terjadi pada 10 September 2011 ini, bersamaan dengan momentum peringatan Bom WTC 11/9/2011 di Amerika, seakan merupakan rentetan duka kaum Muslim di daerah-daerah yang didominasi aparat atau pemerintahan Non Islam di dunia. Betapa tidak, kerusuhan yang menurut polisi dipicu oleh kecelakaan tunggal Si Tukang Ojek Darkin Saiman di daerah yang mayoritas Kristen, dengan cepat merebak menjadi kerusuhan bernuansa SARA.
Kepala Bareskrim Polri, Komjen (Pol) Sutarman menjelaskan: “Ada seorang tukang ojek (Darkin Saiman) yang sebenarnya kecelakaan tunggal, tapi malah dipukuli kelompok tertentu (Kristen), sehingga terjadi balas dendam setelah upacara pemakaman,” ujar Sutarman di Mabes Polri, Jakarta, (11/9/2011).
Senada dengan itu, kabar dari pihak keluarga korban menyatakan, “Helm milik Darkin Saiman, tukang ojek yang tewas itu dalam keadaan utuh, tapi kepalanya pecah karena adanya benturan pukulan. Begitu juga ada luka tusuk di punggungnya.”
Jelas, kerusuhan dipicu adanya penganiayaan terhadap tukang ojek Muslim di daerah Kristen yang menyebabkan kematiannya. Bukan kecelakaan tunggal atau akibat provokasi. Tetapi aparat keamanan atau pemerintah Daerah, tidak segera menangkap pelaku penganiayaan/pengeroyokan, malah mengalihkan perhatian dengan mengancam provokator SMS. Berdasarkan fakta di atas, maka Majelis Mujahidin menyampaikan pernyataan sikap sbb:
Pertama, Polisi dan aparat keamanan supaya bertugas melindungi kepentingan rakyat, baik Islam dan Non Islam, bukan menjadikan agama sebagai komoditas politik dan alat adu domba.
Kedua, segera menangkap pelaku penganiayaan dari pihak Kristen, bukan mengalihkan perhatian publik dengan menjadikan ekses sebagai obyek penyelesaian konflik. Apalagi mengancam ‘provokator penyebar SMS’, sementara korban dari warga Muslim terus berjatuhan, dan para pihak yang terlibat atas kematian Darkin Saiman tidak tersentuh hukum. Hal ini pasti akan menjadi pemicu konflik baru. Kesaksian Komjen (Pol) Sutarman, pihak keluarga, dan foto korban penganiayaan sudah cukup bagi polisi untuk melakukan tindakan tegas dan cepat
Ketiga, melakukan investigasi forensik terhadap korban-korban meninggal yang terkena timah panas. Siapa yang menembak, aparat keamanan atau sipil bersenjata? Jika dari pihak sipil dari mana mereka dapatkan senjata, dan bagaimana mereka mendapatkan senjata tersebut? Jika dari aparat maka tidak mungkin dia bertindak sendiri tanpa komando atasannya, yang berarti aparat tidak lagi netral dan adil menangani masalah di lapangan, maka perlu diadakan sweeping dan screening dikalangan aparat ataupun sipil bersenjata.
Keempat, mengurangi dominasi aparat keamanan beragama Kristen maupun pemerintah Daerah di Ambon agar tidak menimbulkan diskriminasi sosial, politik dan keamanan.
Kelima, memberitahukan kepada kaum Muslimin Indonesia, manakala kasus ini direkayasa kearah permusuhan terhadap kaum Muslim Ambon, akibat sikap diskriminatif dari oknum-oknum polisi dan keamanan. Maka Majelis Mujahidin menyerukan Jihad melawan siapa saja yang melakukan penyerangan kepada kaum Muslim Ambon. Kesiagaan kaum Muslimin untuk membantu saudaranya di Ambon supaya dipersiapkan.
Demikian pernyataan ini kami sampaikan sebagai kontribusi penyelesaian kasus di Ambon secara tuntas dan bermartabat, tanpa intervensi politik dan sentimen agama.
Yogyakarta, 15 Syawal 1432 H/ 13 September 2011 M
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin