(Arrahmah.com) – Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda, diraih melalui pertolongan Allah, dengan kumandang Kalimat Takbir “Allahu Akbar”. Bukan dengan kalimat sekularisme, komunisme, liberalisme, maupun demokrasi. Maka sebagai bentuk rasa syukur bangsa Indonesia kepada Allah, diabadikan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Namun, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada upaya mengaburkan fakta sejarah ini. Berbagai keonaran yang terjadi belakangan ini, akibat tindakan diskriminasi politik pemerintah membuktikan hal ini.
Munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh DPR RI, dan adanya klaim bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, yang diucapkan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, telah memicu kecurigaan dan keonaran dalam negeri.
Dan yang terbaru, adalah tindakan represif dan diskriminatif aparat kepolisian, yang memburu Imam Besar FPI, Habib Muhammad Rizieq Shihab, sehingga terjadi tragedi pembunuhan dan penculikan 6 orang laskar pengawalnya, pada 7 Desember 2020. Peristiwa terbunuhnya Laskar FPI ini, di saat bangsa Indonesia serba kekurangan secara ekonomi, sedang kesulitan dan kesusahan menghadapi pandemi Covid-19, mengundang keprihatinan mendalam.
Oleh karena itu, supaya tidak menimbulkan salah persepsi masyarakat terhadap tindakan represif kepolisian, maka sangat penting bagi pemerintah untuk menjelaskan hal-hal berikut:
Pertama, atas dasar apa polisi membunuh 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang, menurut pernyataan pers FPI, sedang mengawal Habib Rizieq Shihab ke sebuah forum pengajian keluarga?
Pemerintah ingin menghindarkan kematian rakyat dari ancaman virus corona, tapi pada saat yang sama membunuh rakyatnya dengan senjata. Ini hal yang absurd.
Masyarakat tidak yakin, bahwa operasi intelijen memburu HRS dan pembunuhan laskar pengawalnya di Jalan Tol Cikampek pada malam Senin 7/12/2020 itu, karena HRS tidak mendatangi panggilan polisi untuk memberi klarifikasi atas pelanggaran protokol Covid-19. Sebab, di masa Pilkada 2020 ini, kerumunan dan pelanggaran protokol Covid-19, terjadi di banyak tempat dan dilakukan oleh banyak pihak, tanpa diambil tindakan.
Kedua, apa sesungguhnya target politik pemerintah yang memaksakan pendekatan keamanan dan bukan persuasif terhadap kasus HRS, yang sesungguhnya bukan musuh negara, dan tidak menentang Pancasila? Apakah sekadar menakut-nakuti rakyat, membuat jera, atau ingin menindas, menzalimi, dan memberangus FPI yang diposisikan sebagai ormas yang kritis pada pemerintah?
Ketiga, apa motif politik di balik tindakan represif pemerintah yang menerjunkan Polisi, TNI, dengan senjata lengkap, mengepung sekitar kediaman HRS di Petamburan? Sementara pemerintah hanya menggunakan pendekatan kesejahteraan terhadap kejahatan sparatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Padahal OPM telah mendeklarasikan kemerdekaan, ingin lepas dari Indonesia, dan sebelumnya mereka telah banyak membunuh warga sipil, menembak polisi, dan menantang TNI untuk perang terbuka melawan mereka. Pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap kejahatan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), yang secara inkonstitusional mendukung pemberontak Papua Merdeka, seperti terlihat dalam video pernyataan persnya.
Demikian halnya, pemerintah juga membiarkan saja anggota DPR yang ingin mengganti dasar negara Ketuhanan YME jadi Ketuhanan yang berkebudayaan, dan merobah Pancasila jadi trisila atau ekasila melalui RUU HIP, yang sekarang ditunda pembahasannya. Bukankah keinginan mengganti dasar negara dan merobah Pancasila merupakan pelanggaran konstitusi dan pengkhiatan terhadap ujaran, “Saya NKRI dan Saya Pancasila?”
Berdasarkan hal-hal di atas, maka sangat penting bagi pemerintah menjelaskan kepada rakyat Indonesia terkait berbagai keonaran yang terjadi di dalam negeri. Disatu sisi pemerintah bertindak represif, sementara di sisi lain pemerintah terkesan diskriminatif.
Demikianlah pernyataan Majelis Mujahidin, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghindarkan bangsa Indonesia dari perpecahan dan menyelamatkan kita dari ancaman Pandemi Covid-19.
Amin ya Mujibassailin!
Yogyakarta, 22 Rabiul Akhir 1442/8 Desember 2020
LAJNAH TANFIDZIYAH MAJELIS MUJAHIDIN
(ameera/arrahmah.com)