JAKARTA (Arrahmah.com) – Membaca pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiAllahu ‘anhu dari kitab-kitab Sunni, itu hal biasa. Namun, kali ini kita akan membahas perkara mut’ah langsung dinukil dari titah imam syiah yang dianggap maksum dalam kitab kaum sesat itu, sebagaimana dikutip Arrahmah dari Hakekat.com, Rabu (6/5/2015).
Bagi syiah, Ali adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.
Bagi syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. Menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.
Salah satu hal aksiomatis (pasti benar, red.) dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan, “Bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”.
Ternyata, bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian, “Beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah.” Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah. Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.
Demikian pula syiah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut syiah. Hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu (tanpa harus repot mengadakan akad nikah sesuai syari’at Islam).
Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat (sebelum Perang Khaibar) pernah dibolehkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar radhiAllahu ‘anhu menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar lah yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari:
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda, “Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.”
Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
- Muhammad bin Yahya: dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946]: guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya].
- Abu Ja’far, tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
- Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
- Husein bin Alwan, tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
- Amr bin Khalid Al Wasithi: tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
- Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya kepada Ummat.
Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, penulis pun ikut kebingungan karena dua hal:
Pertama, bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?
Penulis teringat ayat Al Qur’an, yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela’nati, (QS. 2:159)
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)
Kedua, ketika para ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini. Astaghfirullah.
Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan,
“Syaikh [At Thusi] dan [ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”
Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran? Ini logika paradoks kaum syiah yang sesat dan menyesatkan.
Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu saja sabda imam bisa divonis taqiyah.
Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat, bukan pendapat Ali sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:
“Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.”
Hadits ini juga dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam (sebelum Perang Khaibar) dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syi’ah hari ini.
Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. Contohnya syi’ah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syi’ah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian, penulis mengingatkan para pembaca tentang kenikmatan Jannah beserta bidadari-bidadari yang menyambut penghuninya, beserta isteri-isteri surgawi. Tentunya kenikmatan “Jannah” lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya penghuni jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)
Ayat di atas menceritakan penghuni Jannah bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni Jannah hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu jawabnya!
(adibahasan/arrahmah.com)