Pengungsi Suriah di Kamp Zaatari sering menghadapi masalah kekurangan dokumen untuk mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi di Kamp Zaatari, Yordania. Untuk pergi ke Pengadilan Syariah di kota terdekat Mafraq, misalnya, mereka yang berada di kamp tersebut membutuhkan pengawalan khusus untuk meninggalkan kamp serta biaya sekitar $ 42 (sekitar Rp 500.000), lansir WN.
Dengan demikian, banyak diantara mereka yang beralih meminta bantuan kepada tokoh agama dan sesepuh desa, atau syaikh, yang dikenal di tengah masyarakat untuk melaksanakan pernikahan mereka.
Bukti pernikahan mereka adalah selembar kertas yang ditulis oleh seorang syaikh, bukti pernikahan yang dianggap “tidak sah” baik oleh otoritas Suriah maupun Yordania.
Mereka pun menyadari bahwa anak-anak mereka yang lahir dari pernikahan yang dianggap tidak resmi itu terancam tak memiliki kewarganegaraan di masa mendatang.
Kepala dewan hakim syariah di Yordania, Issam Arabiya, juga mengatakan bahwa orang-orang yang menjalankan akad pernikahan di dalam kamp tidak diakui secara sah oleh kedutaan negara mereka.
Dia menambahkan bahwa yang dikhawatirkan ialah bahwa di masa depan akan ada masalah yang mereka hadapi. Masalah yang paling utama adalah pembuktian pernikahan mereka, yang membutuhkan dokumen resmi. Dalam hal ini dikhawatirkan jika seorang suami menyangkal telah menikahi istrinya.
Rumitnya masalah perbedaan dalam undang-undang Yordania dan Suriah juga terlihat dalam “usia sah” untuk menikah. Di Suriah usia sah untuk menikah adalah 17 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki serta tidak ada hukuman di Suriah untuk pernikahan yang dilakukan di bawah “usia sah” tersebut. (banan/arrahmah.com)