(Arrahmah.com) – Mengapa orang-orang kafir dan kaum penyembah berhala, lebih memilih bermusuhan dengan Islam dan ulamanya?
Perlakuan salah satu ormas Hindu di Bali terhadap pendakwah Islam Ustadz Abdul Somad adalah contoh terbaru. Mereka memperlakukan Da’i Islam Ustadz Abdul Shamad, secara tidak hormat dan Islamophobia. Da’i kondang alumni Al Azhar, yang dirinya suka disebut “Da’i Es Krim” orangnya lembut dan manis ini, berada di Bali untuk menyampaikan ceramah Maulid Nabi Saw, dalam rangka safari dakwah, 8-10 Desember 2017.
Namun kehadirannya mendapat penolakan dari sejumlah anggota ormas Hindu di Bali. Penolakan dilakukan melalui unjuk rasa yang digelar di depan Hotel Aston, tempat Ustadz Abdul Somad menginap. Mereka yang berunjuk rasa itu adalah ormas Hindu yang dipimpin anggota DPD RI, Arya Wedakarna. Menurut berita Tribun, di antara pengunjuk rasa yang sebagiannya mengenakan pakaian adat Bali itu, ada yang membawa senjata tajam, berupa pisau dan golok.
Para gerombolan intoleran ini menyerbu hotel tempat Ustadz Abdul Somad menginap, yakni Hotel Aston, Denpasar. Kemudian digelandang untuk menuruti intimidasi gerombolan massa ini. Selain dilarang menyebut kata kafir dalam ceramahnya, alumni Al Azhar dan dosen UNRI ini juga dipaksa mencium bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sekalipun akhirnya dibolehkan menyampaikan ceramah di Masjid An Nur dan Masjid Sudirman, Denpasar. Namun perlakuan tidak hormat terhadap ulama Islam itu bukan mustahil akan memicu permusuhan antar umat beragama.
Unjuk rasa menolak kehadiran Ustadz Abdul Somad dipimpin oleh Arya Wedakarna, tokoh Hindu yang sudah berulangkali melontarkan tuduhan keji serta pernyataan Islamophobia berbasis SARA.
Di antara pernyataan-pernyataan berbahaya dan bernada permusuhan yang dicetuskan Arya Wedakarna, yang melecehkan dan menyakiti hati umat Islam, adalah sebagai berikut:
“Siapapun boleh datang ke Bali, Pulau Seribu Pura, bahkan Raja Arab Saudi saja tidak masalah datang ke Bali untuk berlibur asal tanpa agenda politik terselubung. Tapi tentu Bali menolak jika ada oknum siapapun yang datang ke Pulau Dewata dengan agenda anti Pancasila. Ngiring kawal NKRI dan Tolak Agenda Khilafah tersosialisasi di Bali,” kata Wedakarna melalui fan page Facebook @dr.aryawedakarna, Jumat (1/12/2017).
“Untuk aparat Polri, mohon diperiksa siapa penyelenggara program ini? Dan apa motif panitia lokal di Bali untuk mengundang atau mau menerima sosok yang tidak disukai oleh umat Hindu sebagai mayoritas? Apa ada skenario adu domba umat? Selain itu dari agenda mereka ada tertera kegiatan di tempat ibadah di tengah kompleks TNI di Jl Sudirman Denpasar. Apakah program ini tidak masuk radar Jajaran TNI baik Kodam atau Korem? Jangan lupa bahwa umat Hindu masih menunggu tindaklanjut kasus pelecehan pecalang oleh M pentolan ormas agama dan kasus penghinaan Hindu oleh ES. Semoga segera diklarifikasi,”
“Aliansi Hindu Muda Indonesia dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) hari ini berdemonstrasi di depan Kantor Bank Indonesia Denpasar untuk moratorium/stop izin Bank Syariah di pulau seribu pura. Bersuaralah anak anak muda Hindu. Pertahankan ekonomi Pancasila ! Lanjutkan !!!”,
“Tentu cafe liar ini dilengkapi dengan SDM para pekerja seks komersial (PSK) yang saya yakini (lagi) didominasi oleh perempuan non-Hindu dan pendatang luar Bali,”
“Dan kini, saya dituntut makin percaya, ternyata gerakan penyebaran HIV/AIDS ini adalah gerakan jihad tersembunyi yang dilakukan oleh kelompok kecil fundamentalis Islam yang sama-sama menjadi sponsor Bom Bali I dan Bom Bali II,”
“Kenapa? Menurut mereka, Bali tidak akan pernah bisa hancur karena Bom, ini di buktikan Bom Bali I dan Bom Bali II. Tidak mampu menghancurkan kekuatan taksu Bali. Bali sebagai pulau Hindu yang disayangi Dunia,”
“Tetapi, kini ada senjata model baru untuk menghancurkan Bali yakni gerakan ekonomi seperti gerakan pecel lele, nasi tempong, nasi pedas, tukang cukur, gerakan labelisasi Halal di setiap Hotel dan restoran di bali (saya akan bahas di setiap tulisan berikutnya),”.
“Mungkin gadis PSK itu sudah di cuci otaknya, agar Bali ini 10 tahun ke depan banyak suami-suami, anak-anak muda yang mati nelangsa karena HIV/AIDS,” tandasnya.
“Belum lagi aksi pemerintah dan program KB-nya yang sukses mengurangi jumlah Krama Hindu dengan paksaan selalu punya anak dua (yang di satu sisi umat lain boleh berpoligami dengan istri maksimal lima orang). Tentu hal ini akan merugikan keluarga Hindu yang terlanjur punya dua anak, tapi putranya mati karena AIDS atau rabies,”
“Saya menghimbau semeton Islam agar tidak menyembelih sapi sebagai kurban. Mungkin bisa diganti dengan dengan hewan lainnya. Ini penting, karena di Bali, Sapi adalah hewan yang disucikan, dan juga dipercaya sebagai kendaraan Dewa Siwa. Dan mayoritas orang Bali adalah penganut Siwaisme,” katanya seperti dikutip Tribunnews.com, Rabu (24/10/2012).
”Karena umat Hindu harus memberi contoh dan teladan sebagaimana tatwa yang diajarkan Sang Sulinggih. Mari hargai perasaan umat Hindu sehingga persatuan bisa dijaga,” ungkap President World Hindu Youth Organization (WHYO) ini.
Arya Wedakarna juga menyudutkan ruang gerak muslim di Bali, para siswi dan karyawati muslim di Bali disulitkan dengan himbauan untuk tidak boleh menggunakan jilbab di beberapa sekolah umum dan perusahaan swasta di Bali. ( muslimdaily.net/tarbiyah.net)
BIOGRAFI SINGKAT :
Nama : Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III , SE (MTRU), M.Si
TTL : Bali, 23 Agustus 1980
Email : [email protected]
Mobile : +62 811 396 028
Facebook : Gusti Wedakarna, Fanpage : Dr. Arya Wedakarna
Instagram : @aryawedakarna
Saat ini sebagai senator dari Provinsi Bali, menjabat sebagai Rektor Universitas Mahendradatta Bali, President The Sukarno Center, President The Hindu Center Indonesia.
Karirnya berawal sebagai model cover boy di Majalah Aneka Jakarta pada 1997.
Berdasarkan propaganda provokatif di atas. Sudah seharusnya umat Islam menolak kedatangannya dimanapun dia melakukan studi banding ataupun kunjungan kerja
Salut untuk Ustadz Abdul Somad, dengan solusi diplomasi, dapat selesaikan problem dakwah yang dihadapinya.
Jogjakarta, 9/12/207.
Irfan S. Awwas