DUBAI (Arrahmah.com) – Industri global untuk makanan halal dan produk gaya hidup, yang diperkirakan bernilai ratusan miliar dollar terus meningkat bersamaan dengan tumbuhnya populasi Muslim. Produsen dari luar dunia Muslim, mulai dari Brasil sampai Amerika Serikat dan Australia, sangat ingin untuk memasuki pasar tersebut.
Uni emirat Arab (UEA) memposisikan dirinya untuk menjadi pintu gerbang mereka, bagian dari upaya mendorong untuk terbentuknya pusat global bisnis dan keuangan Islam.
Pejabat UEA mengumumkan pada bulan lalu bahwa kota Dubai telah mendedikasikan sekitar 6,7 juta meter persegi tanah di Dubai Industrial City untuk Cluster Halal, untuk perusahaan manufaktur dan logistik yang berurusan dengan makanan halal, kosmetik dan produk perawatan pribadi.
CEO Dubai Industrial City, Abdullah Belhoul mengatakan ide untuk menciptakan zona hanya untuk produsen halal ini didorong oleh meningkatnya permintaan lokal dan internasional untuk produk tersebut.
“Industri ini sendiri, kita tahu telah tumbuh,” ujar Belhoul kepada Associated Press (14/32014). Dia mengatakan industri diharapkan tumbuh dua kali lipat dalam waktu lima tahun.
“Jadi kami pikir ada banyak kesempatan dan kita perlu memanfaatkan ini.”
Populasi Muslim dunia diperkirakan sekitar 1,6 miliar dan mayoritas diyakini mematuhi atau lebih memilih untuk menggunakan produk halal. Pemahaman umum adalah bahwa produk halal tidak boleh terkontaminasi dengan daging babi atau alkohol dan ternak yang disembelih sesuai dengan syariat Islam. Islam mewajibkan membunuh hewan ternak dengan disembelih menggunakan pisau yang tajam, hal ini dimaksudkan sebagai cara agar hewan mati dengan cepat dan meminimalkan rasa sakit mereka, lansir Al Arabiya.
Belhoul mengatakan bahwa jika produk halal diproduksi di UEA, mereka harus disertifikasi halal oleh badan pemerintah yang mengawasi hal ini. Tapi, seperti kebanyakan negara, jika produk halal seperti ternak atau bahan baku, diimpor dari luar negeri untuk diproses di UEA, maka cap persetujuan berasal dari organisasi-organisasi Islam di negara pengekspor.
Di sinilah organisasi seperti Halal Control di Jerman memiliki peran penting, ujar General Manager Mahmoud Tatari. Dia mengatakan bahwa ketika perusahaan dibangun 14 tahun lalu di Eropa, ada sedikit kesadaran atau permintaan untuk produk halal. Hari ini, Halal control memiliki 12 ulama yang menawarkan panduan tentang sertifikasi kepada perusahaan-perusahaan internasional seperti Nestle dan Unilever yang ingin melakukan bisnis di dunia Muslim.
Halal Control yang berkonsentrasi pada produk yang dibuat di Eropa, tidak hanya fokus terhadap daging dan unggas, tetapi hampir segala sesuatu yang lainnya, dari produk susu sampai bahan makanan.
“Ini adalah suatu proses dan ini akan memakan waktu mungkin lima sampai sepuluh tahun (sampai) kami bisa lebih aman memakan makanan halal,” ujar Tatari.
Malaysia adalah pemimpin global dalam pengembangan industri halal dan menempatkan standar tertinggi,” ujar Tatari.
Produsen AS seperti Kelloggs dan Hershey berencana untuk membangun pabrik halal di Malaysia. The Oxford Business Group mengatakan Indonesia dengan populasi Muslim terbesar di dunia, berencana untuk mendirikan pusat industri halal di tahun 2015. Di Thailand, lebih dari seperempat dari pabrik makanan sudah membuat produk halal.
Mark Napier, direktur pameran dagang Gulfood yang menyatukan lebih dari 4.500 vendor makanan dan minuman dari seluruh dunia ke Dubai World Trade Center, mengatakan produsen produk halal ingin melayani pasar di mana pasokan mereka tidak menjaga permintaan. Banyak Muslim di Barat membeli produk halal Yahudi ketika produk halal untuk Muslim tidak tersedia.
“Bisnis makanan adalah bisnis besar,” ujar Napier. “Produsen semakin sadar akan kebutuhan untuk standar halal dan sertifikasi dan membawa itu ke permukaan dalam promosi ekspor mereka.” (haninmazaya/arrahmah.com)