(Arrahmah.com) – Madu Dan Habbatus Sauda (Thibbun nabawi) Dalam Al-Quran Dan Sunnah Masih Bahannya Saja, Perlu Penelitian Dan Pengalaman Thabib Agar Menjadi Obat.
Seorang teman kami ketika sakit, merasa tidak enak di perut dan demam, ia berobat dengan habbatus sauda dan madu karena ia yakin dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kandungan Al-Quran bahwa keduanya mujarrab serta bisa menyembuhkan semua penyakit. Kemudian ia mengikuti petunjuk dilabel kotak habbatus sauda bahwa pengunaannya 3 x sehari 2 kapsul habbtus sauda. ia juga meminum madu 3 x sehari 2 sendok makan. Akan tetapi demamnya semakin tinggi, tidak mereda dan bertambah parah.
Contoh yang lain, seseorang sedang demam tinggi, kemudian ia teringat hadits bahwa demam adalah dari luapan api neraka maka didinginkan dengan air. Maka dengan demam tinggi badannya di basuh dengan air yang dingin. walhasil ia pernyakit bertambah parah dan tubuh dengan demam tinggi tidak mampu menerima air yang dingin. Padahal yang dimaksud hadits adalah demam karena sengatan matahari (nanti ada penjelasan dari ulama mengenai hadits tersebut)
Demikianlah kesalahpahaman yang terjadi pada beberapa orang muslimin yang perlu kita luruskan bersama. Habbatus sauda yang disebutkan dalam hadits dan madu yang disebutkan dalam Al-Quran masih berupa bahannya saja maka untuk menjadi obat perlu penelitian dan pengalaman thabib agar ia menjadi obat.
Logikanya:
Jika ada yang mengatakan kepada kita, buah merah dijadikan berbagai macam obat penyakit oleh orang Papua. Maka berita yang sampai ke kita masih sekedar berita mengenai bahannya saja. Untuk menjadi obat maka kita perlu belajar kepada thabib orang Papua, bagaimana pengolahan buah merah? dosisnya berapa? Indikasinya untuk penyakit apa saja? Perlu dicampur dengan apa saja? Apa saja pantangan yang tidak boleh dilakukan? Dan tentu saja kita juga perlu belajar kepada thabib tersebut bagaimana ia mendiagnosis penyakit. Jika penyakit ini yang ia maksud, maka dosis buah merah sekian dan cara pengolahannya begini dan begitu.
Kita harus yakin dan beriman dengan thibbun nabawi
Yang tidak boleh adalah ketika kita tidak beriman dan meremehkan thibbun nawabi serta bahan-bahan yang disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah ta’ala) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 69)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام
“Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” [1]
Maka kita harus menyakini dan beriman bahwa keduanya adalah obat. Apalagi telah dilakukan penelitian kedokteran bahwa habbatus sauda bisa meningkatkan daya tahan tubuh. jika daya tahan tubuh kuat dan tinggi, maka secara kedokteran semua penyakit ada kemungkinan sembuh.
Ulama dan dokter muslim yang terkenal Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu dalam kitab tibbun nabawi menjelaskan tentang habbatus sauda,
وَهِيَ كَثِيرَةُ الْمَنَافِعِ جِدًّا، وَقَوْلُهُ: «شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ» ، مِثْلُ قَوْلِهِ تعالى: تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّها أي: كلّ شيء يقبل التَّدْمِيرَ وَنَظَائِرَهُ، وَهِيَ نَافِعَةٌ مِنْ جَمِيعِ الْأَمْرَاضِ الْبَارِدَةِ، وَتَدْخُلُ فِي الْأَمْرَاضِ الْحَارَّةِ الْيَابِسَةِ
“Habbatus sauda memiliki sangat banyak manfaat, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “obat untuk segala macam penyakit”, sebagaimana firman Allah, “Menghancurkan segala sesuatu dengan perintahan Rabb-nya”. Yaitu segala sesuatu yang bisa hancur dan semisalnya. Dan habbatus sauda bermanfaat menyembuhkan segala macam penyakit yang bersifat dingin dan penyakit yang bersifat panas dan kering.” [2]
Perlu penelitian dan pengalaman thabib
Seperti dijelaskan bahwa bahan-bahan thibbun nabawi dalam Al-Quran dan Sunnah masih bersifat umum, sehingga perlu penelitian dan pengalaman thabib agar menjadi obat. sebagaimana penjelasan dalam hadits berikut.
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”[3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,
فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[4]
thibbun nabawi juga butuh keyakinan dan keimanan ketika berobat dengannya
thibbun nabawi adalah ibarat pedang yang tajam, hanya saja tangan yang memegang pedang tersebut juga harus kuat dan terlatih. Demikianlah jika kita berobat dengan thibbun nabawi, ada unsur keimanan dan keyakinan orang yang mengobati serta orang yang diobati tidak semata-mata sebab-akibat saja.
Bisa kita lihat dalam kisah sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang terkena gigitan racun kalajengking dengan hanya membaca Al-Fatihah saja. Maka orang tersebut langsung sembuh. Sebagaimana dalam hadits
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyahkarena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al Fatihah. pembesar tersebutpun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah adalah ruqyah?” Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.“[5]
Jika ada orang yang terkena penyakit yang sama disengat kalajengking atau yang lebih ringan misalnya disengat tawon, kemudian ada yang membacakan Al-fatihah ternyata tidak sembuh. Maka jangan salahkan Al-Fatihah jika tidak sembuh tetapi salahkan tangan yang tidak mahir serta kuat memegang pedang yang tajam. Jika iman, amal dan tawakkal sebaik Abu Sa’id Al-Khudri maka kita bisa berharap penyakit tersebut sembuh.
Begitu juga dengan Air zam-zam yang didalam hadits adalah sesuai dengan niat orang yang meminumnya baik berupa kesembuhan, kepintaran dan pemenuhan hajat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zamzam itu sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya”.[6]
Tabi’in Ahli tafsir, Mujaahid rahimahullah berkata,
ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله إسماعيل.
“Air zamzam sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il”.[7]
Ibnul-Qayyim rahimahullah telah membuktikan mujarrabnya air zam-zam, beliau berkata,
وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله
“Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu juga orang lain, berobat dengan air zamzam adalah hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit dengan ijin Allah Ta’ala“[8].
Jika ada orang di zaman ini sakit, kemudian minum air zam-zam dan ternyata tidak sembuh-sembuh walaupun sudah banyak dan lama meminumnya. Maka jangan salahkan Air zam-zam.
Perlu juga penjelasan ulama
Hadits dan Al-Quran terkadang turun dengan lafadz-lafadz umum sehingga perlu penjelasan dan rincian dari para ulama yang mendalaminya. Begitu juga dengan hadits-hadits thibbun nabawi, maka perlu penjelasan para ulama. Salah satunya adalah sebagaimana yang kami jelaskan pada muqadimah. Bahwa demam yang dimaksud dalam hadits yang didinginkan dengan air adalah demam karena sengatan matahari atau dalam ilmu kedokteran disebut “sunburn”, maka terapinya dengan air (dikompres) atau benda yang dingin sesuai dengan ilmu kedokteran modern.
Dari nafi’, dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عن نافع، عن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إنما الحمى أو شدة من فيح جهنم، فأبردوها بالماء»
“Sesungguhnya demam atau demam yang sangat adalah sebagian dari aroma/luapan neraka jahannam; maka dinginkanlah ia dengan air“.[9]
Berikut penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah,
وقد أشكل هذا الحديث على كثير من جهلة الأطباء، ورأوه منافيا لدواء الحمى وعلاجها، ونحن نبين بحول الله وقوته وجهه وفقهه، فنقول: «خطاب النبي صلى الله عليه وسلم نوعان: عام لأهل الأرض، وخاص ببعضهم، فالأول «كعامة خطابه، والثاني: كقوله: «لا تستقبلوا القبلة بغائط» . ولا بول، ولا تسدبروها، ولكن شرقوا، أو غربوا» «2» ، فهذا ليس بخطاب لأهل المشرق والمغرب ولا العراق، ولكن لأهل المدينة وما على سمتها، كالشام وغيرها. وكذلك قوله: «ما بين المشرق والمغرب قبلة» » .وإذا عرف هذا، فخطابه في هذا الحديث خاص بأهل الحجاز، وما والاهم، إذ كان أكثر الحميات التي تعرض لهم من نوع الحمى اليومية العرضية الحادثة عن شدة حرارة الشمس وهذه ينفعها الماء البارد شربا واغتسالا
“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit demam dan pencegahannya. Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan Allah- segi dan maknanya.
Maka kami katakan: Seruan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:
yang umum bagi penduduk bumi
dan yang khusus bagi sebagian mereka.
yang pertama misalnya seruan beliau pada umumnya.
Dan yang kedua seperti ucapan beliau:”Janganlah kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu membelakanginya; akan tetapi menghadaplahh ke timur atau ke barat”.Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang lain. Juga ucapan baliau: “Apa yang ada diantara timur dan barat adalah kiblat”.Apabila yang demikian diketahui, maka seruan beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari. Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin, baik minum atau pun mandi.“[10]
Jika tidak memahami penjelasan ulama, maka bisa dibayangkan (atau anda yang pernah mengalami demam tinggi misalnya karena tipus atau demam berdarah), kemudian mandi atau dibasuh dengan air yang dingin, tentu penyakit bisa bertambah parah.
Demikianlah yang bisa kami bahas, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Walamdulillahi rabbil ‘alamin.
[1] Muttafaqun ‘alaihi HR. Bukhori no. 5687, Muslim no. 2215
[2] Tibbun Nabawi hal 287, maktabah Ats-Tsaqafiy, Koiro, Tahqiq Dr. Hamid Muhammad Ath-Thahir
[3] HR. Abu Dawud no.2072
[4] Fathul Baari 10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H,Asy-Syamilah
[5] HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201
[6] HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320
[7] HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118
[8] Zaadul-Ma’ad 4/393.
[9] mutafaqun alaihi
[10] Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy, Koiro, Tahqiq Dr. Hamid Muhammad Ath-Thahir
@perpus FK UGM, 9 Jumadas Tsani 1434 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
(samirmusa/arrahmah.com)