WAMENA (Arrahmah.com) – Aksi teror kelompok Kristen kepada umat Islam dengan melakukan pelemparan batu hingga pembakaran masjid Baitul Muttaqin di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua saat hari raya Idul Fitri 1436 H, Jumat (17/7/2015) pagi berlangsung begitu cepat.
Kejadian tersebut tentu membuat umat Islam geram. Pasalnya, tuduhan intoleran yang selama ini disematkan pada umat Islam, justru fakta di lapangan yang terjadi sebaliknya. Mereka dizalimi, dilarang, bahkan diserang saat melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri.
Namun demikian, kaum Muslimin di berbagai belahan bumi nusantara kini bisa mengambil hikmahnya. Diantaranya, peristiwa tersebut membuka mata, bahwa ada saudara Muslim kita yang tinggal terpencil di tengah pegunungan Papua. Aksi penyerangan saat hari raya Idul Fitri mengingatkan pada kerusuhan Ambon-Poso yang terjadi pada tahun 2000an silam. Sehingga menarik simpati dan jalinan ukhuwah umat Islam lainnya di nusantara.
Sementara itu, ada kejadian yang luput dalam pemberitaan media massa terkait peristiwa penyerangan jamaah shalat Idul Fitri di Tolikara. Salah seorang saksi mata mengisahkan bahwa ada keajaiban yang dialaminya.
“Kejadiannya itu kalau tidak salah ketika kami melakukan takbir ke tujuh saat shalat Idul Fitri, sekitar pukul 7, pada hari Jum’at tanggal 17 di bulan 7,” kata Nana, salah seorang pengungsi yang kiosnya turut ludes terbakar, pada Selasa (21/7/2015).
Ia mengungkapkan, saat itu dirinya sempat terinjak-injak orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri ketika kelompok Kristen mulai menghujani jamaah shalat Idul Fitri dengan batu.
“Lalu saya dibangunkan seseorang, saya lihat melayang batu-batu seperti hujan batu, tapi tak ada satupun jamaah shalat yang terkena lemparan batu. Mereka juga melempari dengan panah, tapi semuanya meleset. Padahal waktu itu kita tidak ada pasang tenda,” ujar Muslimah pendatang asal Sulawesi itu.
Selain itu, Nana juga membantah bahwa yang dibakar itu hanyalah Mushalla. Namun, yang benar adalah Masjid. Hal itu bisa dilihat dari plang yang tersisa dan tak terbakar meski bangunannya ludes dilalap api.
“Karena bangunan kios itu dari kayu, cepat menjalar. Masjid pun ikut terbakar rata dengan tanah. Tapi anehnya plangnya tersisa, tidak hangus terbakar,” tuturnya.
Meski trauma dan takut ancaman pendudul lokal Kristen setempat, namun peristiwa-peristiwa itu semakin menambah keyakinan Nana, ia pun merasa takjub.
Sebaliknya, pihak Kristen yang meneror dan menyerang jamaah shalat Idul Fitri hingga membakar Masjid Baitul Muttaqin banyak yang mengalami luka-luka.
Setidaknya ada 10 orang diantara mereka yang mengalami luka tembak dan satu orang tewas tertembak. (azm/panjimas.com/arrahmah.com)