JAKARTA (Arrahmah.com) – Mencermati prosesi pemakaman jenazah Taufiq Kiemas, Majelis Mujahidin punya kepedulian dan mempertanyakan perlakuan Megawati terhadap jenazah suaminya.
Taufiq Kiemas meninggal dunia di Singapura, Sabtu 8 Juni 2013 di Singapore General Hospital, di usianya yang ke-70 tahun. Jenazah mendiang Ketua MPR Taufiq Kiemas itu, tanpa dibawa ke rumah duka, langsung dikebumi di TMP kalibata, di samping kuburan kedua orangtuanya. Sebelum dimakamkan di TMP Kalibata, jenazah Taufiq sempat disemayamkan dan dishalatkan beberapa saat di Bandara Halim Perdanakusuma.
Taufiq Kiemas merupakan suami kedua Megawati. Suami pertamanya, Lettu (Penerbang) Surindro Supjarso, meninggal akibat kecelakaan pesawat di sekitar Pulau Biak, Papua.
Namun, dalam tradisi masyarakat Timur, terutama bangsa Indonesia yang beragama Islam, bilamana salah seorang keluarganya meninggal dunia selalu disemayamkan di rumah duka, guna memberi kesempatan kepada kerabat, tetangga menyampaikan belasungkawa atau dalam istilah Islam: ta’ziyah ke rumah duka. Tujuannya, supaya para penta’ziyah dapat menshalatkan jenazah di rumah duka atau di Masjid yang berdekatan dengan rumah duka.
Kebiasaan seperti ini, dapat kita saksikan misalnya pada mendiang Presiden Soeharto yang meninggal di RS Pertamina. Kemudian di bawa ke rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, guna memberi kesempatan masyarakat untuk ta’ziyah dan shalat jenazah.
Begitu juga Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), kemudian disemayamkan di rumah duka Ciganjur, dan masyarakat datang ta’ziyah untuk shalat jenazah.
Dalam agama Islam, menshalatkan jenazah seorang Muslim adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban bersama yang dapat diwakili oleh sebagian orang sehingga sebagian lainnya gugur kewajibannya. Apabila tidak ada yang menshalatkan, maka seluruh umat Islam menanggung dosa. Ini sudah merupakan tradisi yang dihargai oleh masyarakat muslim Indonesia, mungkin juga oleh umat agama lain di Indonesia.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِلَّا أَوْجَبَ -وَفِيْ رِوَايَةٍ- إِلَّا غُفِرَ لَهُ
“Seseorang muslim yang meninggal dunia lalu dishalatkan oleh kaum muslimin sebanyak tiga shaf, maka yang meninggal itu diampuni dosanya.” (HR. Abu Dawud 2/63, at-Tirmidzi 19/258, dan Ibnu Majah 1/454)
Adapun jenazah yang haram untuk dishalatkan dan dido’akan adalah orang kafir, musyrik dan munafiq. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Wahai Muhammad, janganlah kamu menshalati jenazah seorangpun dari kaum munafik untuk selama-lamanya. Janganlah kamu berdiri di kubur orang munafik untuk mendo’akannya. Mereka itu kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafiran.” [At-Taubah, 9: 84]
Sedangkan Taufiq Kiemas dikenal sebagai muslim yang sudah haji, dan istrinya Megawati pun seorang muslimah yang sudah haji. Oleh karena itu kejadian yang kita saksikan terkait dengan perlakuan terhadap jenazah Taufiq Kiemas yang tidak disemayamkan di rumah duka terlebih dahulu, tapi langsung dibawa ke kuburan, menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslim. Sebab bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, adalah hal yang aib manakala suatu keluarga yang tidak mensemayamkan anggota keluarganya yang meninggal di rumahnya sendiri.
Ada apa sesungguhnya di balik pemakaman jenazah Taufiq Kiemas? Apakah sikap Megawati yang tidak menyemayamkan jenazah suaminya di rumah duka, disebabkan mengikuti prinsip efisiensi yang selama ini menjadi doktrin kaum kapitalis? Bukankah kaum nasionalis di Indonesia dikenal anti kapitalisme? Apabila dihubungkan dengan tradisi masyarakat timur, khususnya umat Islam bangsa Indonesia, maka perlakuan Megawati terhadap jenazah suaminya dipandang sebagai anomaly atau hal yang aneh, karena meninggalkan kepatutan menurut adat dan ajaran agama.
Sebagai muslimah, sekalipun ketua partai nasionalis, seharusnya Megawati menghargai ajaran Islam yang mengajarkan supaya mengundang sebanyak mungkin orang yang ikut shalat jenazah guna meringankan dosa di akhirat kelak. Tapi dengan tidak memberi peluang masyarakat muslim yang berdekatan dengan rumah Megawati untuk beramai-ramai menshalatkan jenazah Taufiq Kiemas, berarti menutup peluang untuk turut memohonkan pengampunan dosanya.
Sekalipun sudah dishalatkan oleh sebagian kecil masyarakat Islam yang menyambutnya di bandara Halim Perdanakusuma, namun masyarakat yang tinggal di dekat rumahnya tidak punya peluang untuk melakukan shalat jenazah berjama’ah.
Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan kesan negatif berkenaan dengan prosesi pemakaman Taufiq Kiemas ini, maka perlulah keluarga besar Taufiq Kiemas menjelaskan pada masyarakat. Sehingga tidak memunculkan persepsi negatif, bahwa kaum nasionalis tidak memperlakukan jenazah seseorang sesuai dengan ajaran agamanya. Ataukah, kaum nasionalis yang mengaku sebagai pendukung sejati Pancasila, mempunyai doktrin sendiri tentang pengurusan jenazah, karena Pancasila memiliki tuhan yang berbeda dengan agama yang dianut bangsa Indonesia?
Yogyakarta, 9 Juni 2013
Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(samirmusa/arrahmah.com)