BUKITTINGGI (Arrahmah.com) – Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia melakukan advokasi terhadap kasus diskriminasi dan pelanggaran HAM atas cacat prosedur pemberhentian Hayati Syafri, dosen bercadar di IAIN Bukittinggi Sumatera Barat.
Advokasi dilakukan melalui upaya hukum Banding Administratif ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) Badan Kepegawaian Nasional.
Dijelaskan, Hayati Syafri merupakan dosen yang memiliki sejumlah prestasi. Tercatat beberapa prestasi telah diraihnya, antara lain:
1. Meraih Gelar Doktor dengan Predikat Cum Laude GPA 3.83,
2. Meraih gelar Magister dengan Predikat Cum Laude 3.80,
3. Peserta Terbaik dalam Pelatihan TFF Parenting yang diselenggarakan Yayasan Minang Peduli dan Pemko Bukittinggi
4. Makalah terbaik di International Conference on Education “Teacher in Digital Age” oleh Fakultas Tarbiyah dan Teachers Training IAIN Batusangkar, September 2018,
5. Lulus Sertifikasi Dosen dan dinyatakan sebagai Dosen Profesional tahun 2013,
6. Selama tahun 2017 tujuh kali menjadi pembicara di seminar internasional menjelaskan 7 jurnal penelitiannya yang terpublikasi pada proceding ternama ditambah satu penelitian yang terpublikasi di jurnal bergengsi yang terindeks scorpus.
Koordinator Tim PAHAM, Busyra, S.H., menyebutkan bahwa Hayati juga merupakan dosen yang dinilai profesional dan disiplin dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar.
“Dibuktikan dengan Penilaian kedisiplinan dari pihak internal kampus pada tahun 2016 dan 2017 dengan nilai kedisiplinan 90,” jelas Busyra, Senin (4/3/2019), dalam keterangan yang diterima Arrahmah.com.
“Berdasarkan keterangan mahasiswa yang beliau ajar, Hayati merupakan dosen yang baik, cerdas dan jika mengajar mahasiswa cukup mudah memahami apa yang diajarkan. Bahkan beliau berhasil melatih beberapa mahasiswanya tampil sebagai pembicara di seminar internasional sebanyak 6 kali ditahun 2017 saja,” imbuhnya.
Hayati mendapat penilaian prestasi kerja kategori baik dengan jumlah skor 87.14 sebagaimana Formulir Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil bulan Januari sampai Desember 2017.
Busyra menungkapkan, diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap Hayati terjadi disebabkan pemberhentian Hayati Syafri sebagai dosen merupakan suatu proses yang cacat prosedur.
“Pemberhentian dilakukan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin tertanggal 18 Februari 2019 yang menyatakan bahwa Hayati melanggar ketentuan Pasal 3 angka 11 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 karena dianggap melakukan pelanggaran disiplin yaitu tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah,” ujarnya.
Menurut Busyra, terdapat beberapa hal yang menyebabkan Pemberhentian ini dinilai tidak wajar, cacat prosedur dan melanggar HAM yaitu:
Pertama, Hayati diperiksa dan berujung pada pemberhentian oleh Kementerian Agama setelah sebelumnya mendapat teguran karena memakai cadar dilingkungan kampus. Penggunaan cadar dinilai oleh Pihak Kampus sebagai suatu yang radikal dan ekslusif. Selain itu penggunaan cadar juga dikaitkan dengan pelanggaran UUD, Pancasila, sumpah PNS dan Kode Etik Dosen yang pada faktanya penggunaan cadar ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan substansi aturan yang dimaksud.
Kedua, dari sisi penjatuhan sanksi, penetapan sanksi pelanggaran berat tanpa didahului teguran, dan peringatan tertulis merupakan suatu yang bertentangan dengan prosedur penjatuhan sanksi yang terdapat didalam PP 53/2010 tentang disiplin PNS. Penjatuhan sanksi berat tanpa diiringi teguran dan peringatan tertulis tidak mencerminkan adanya upaya pembinaan PNS sebagai tujuan utama dari PP 53/2010. Hal ini menjadi rasional karena dalam hukum administrasi, penjatuhan sanksi pemecatan merupakan suatu upaya terakhir dalam penegakan disiplin PNS.
Ketiga, ketidakhadiran yang dipermasalahkan oleh Kementerian Agama terjadi pada tahun 2017 dan baru dicari cari permasalahannya pada tahun 2018 setelah adanya teguran menggunakan cadar oleh pihak kampus. Kondisi ini menggambarkan adanya upaya penjatuhan sanksi dengan cara mencari cari kesalahan bukan didasarkan pada fakta-fakta yang ada.
Keempat, terdapat pemaksaan dalam penjatuhan sanksi pelanggaran disiplin PNS yang menyatakan Hayati tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah. Faktanya Hayati mendapat izin dari atasan kampus atas ketidakhadirannya. Selain itu walaupun tidak hadir, Hayati tetap menjalankan perannya sebagai dosen sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu mengajar, melakukan penelitian, melakukan pengabdian masyarakat. Sekalipun Hayati tidak masuk kerja, tugas mengajarnya selalu dipenuhi. Bahkan Hayati tetap bisa melayani mahasiswa dalam bimbingan tugas akhir dengan menyediakan waktu konsultasi dikala mahasiswa butuh. Semua itu dapat dibuktikan dengan adanya laporan beban kerja dosen dan laporan kinerja dosen.
“Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dapat disimpulkan bahwa adalah benar telah terjadi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM dalam kasus Pemberhentian Hayati Syafri Dosen Bercadar IAIN Bukittinggi Sumatera Barat,” terangnya.
Pelarangan bercadar, lanjutnya, merupakan salah satu bentuk penyimpangan terhadap hak warga negara dalam menjalankan agamanya yang telah dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945.
“Bentuk upaya paksa pelarangan bercadar tersebut dilakukan oleh Kementerian Agama melalui penjatuhan sanksi Pelanggaran Disiplin PNS dengan prosedur yang cacat dan tidak berdasar,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)